BERITA pengrusakan atas harta benda milik Cina di Surakarta
dan Semarang ternyata demikian cepat menjalar. Sedang media
cetak (pers) Indonesia tidak menyiarkannya. Sebab Pangkopkamtib
laksamana Sudomo ketika itu (27 November) memang menghimbau para
pemimpin redaksi suratkabar di Jakarta agar tidak memberitakan
(black-out) serangkaian peristiwa tadi. Tapi informasi
itu--dalam bentuk tidak lengkap dan sering berlebihan--mengalir
juga antara lain lewat media elektronik (radio) asing,
komunikasi telepon dan percakapan dari mulut ke mulut.
Bertolak dari kenyataan di atas, Jussac M.R. Wirosubroto,
anggota Komisi I DPR, bertanya dalam suatu dengar pendapat (28
November) dengan Dewan Pers. Kenapa arus informasi dibendung?
Jussac, Ketua PWI Cabang Yogya, meniiai kebijaksanaan itu justru
menyebabkan rakyat memperoleh informasi keliru mengenai suatu
kejadian. Pemerintah seharusnya membiarkan pers memberitakannya,
katanya. "Bila benar korban yang tewas tiga orang, koran akarta
tidak akan memberitakan tigapuluh--seperti tersiar dalam
desas-desus."
Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Djafar H. Assegaff
mengemukakan pendapat serupa. "Black-out total adalah suatu
kebijaksanaan yang tidak benar dan tidak menguntungkan
pemerintah," ungkapnya.
"Saya tidak percaya bila black-out selama-lamanya merupakan
tindakan bijaksana. Sebab desas-desus akan cepat merambat dan
merusak stabilitas," kata Kadjat Hartoyo, wakil pemimpin redaksi
Suara Karya.
Chalid Mawardi (Fraksi Persatuan Pembangunan) dalam acara
dengar pendapat Komisi I DPR dengan Pangkopkamtib (4 Desember)
meminta agar keterangan Laksamana Sudomo di DPR itu dianggap
sebagai keterangan resmi. Ia mengingatkan bahwa tindakan
blackout telah menyebabkan berita berkembang dari mulut ke mulut
dan keluar dari proporsinya. "Soal ini (kerusuhan) semakin tidak
jelas dan semakin tidak menguntungkan semua pihak," ujarnya.
Kebijaksanaan itu, jawab Sudomo, dimaksudkan supaya
pemberitaan pers ndak ikut merangsang memperluas peristiwa
tersebut ke tempat lain. Tapi ia mengakui hal itu justru
menyebabkan desas-desus berkembang hebat. "Bla, kout bukan
untuk menutup-nutupi sesuatu," sambung Sudomo, "tapi untuk
melakukan lokalisasi peristiwa dan penyelesaian secara tuntas."
Bila hal tersebut merupakan tujuan pemerintah, sambut
Jussac, pemerintah telah gagal. Sebab tanpa pemberitaan media
cetak, katanya, kejadian itu justru merambat ke berbagai kota di
Jawa Tengah.
Melakukan lokalisasi suatu peristiwa merupakan suatu cara
pendekatan yang mungkin dipandang efektif. Tapi Indonesia,
demikian Assegaff, semakin tidak kebal terhadap perembesan
(penetlation) siaran radio (luar negeri), para pelancong dan
komunikasi telepon yang sulit dibendung.
Karena mengejar aktualitas, penvajian radio (luar negeri)
tidak selalu akurat. Said Budairy, wakil pemimpin redaksi
Pelita, telah merasakannya. Pemberitaan radio Australia (ABC),
beberapa hari setelah kejadian Surakarta, dinilainya merugikan
kepentingan umat Islam. "Pemberitaannya seolah mengesankan ada
sentimen umat lslam terhadap modal Cina," kata Budairy.
Akhirnya, Atang Ruswita, pemimpin redaksi Pikiran Rakyat
(Bandung), memperingatkan "Bila sering ada black-out, rakyat
Indonesia pasti bakal tidak percaya lagi pada pers Indonesia.
Bila kelak rakyat lebih percaya pada siaran radio luar negeri,
ini berbahaya!" Dan jika suatu saat pemerintah menjelaskan
kebijaksanaannya lewat pers, "rakyat tidak akan mempercayainya
lagi," tambah Jussac yang duduk dekat Atang.
Pemerintah tidak ingin peristiwa Semarang dan Surakarta
menjadi masalah nasional. Itulah sebabnya Pikiran Rakyat ditegur
ketika (24 November) menurunkan pernyataan Pangdam VII
Diponegoro Mayjen Soekotjo berkenaan dengan kejadian di
Surakarta. Juga Suara Karya mendapat peringatan karena tajuknya
(29 November) yang mengupas pergolakan di kedua kota tersebut.
Kabarnya Suara Merdeka (Semarang), karena tajuknya (26 November)
menyinggung hal serupa, ditegur pula.
Tapi cara membungkam pers itu terbukti keliru. "Daripada
kami dikenakan black-out, kenapa kami tidak diajak berunding
untuk membantu menenteramkan suasana dengan pemberitaan?" kata
Atang Ruswita. Budairy dari Pelita menambah: "Kami pun mampu
memberitakannya dengan bertanggung jawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini