Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ada Blackout, Ada Desas-Desus

Dengar pendapat Dewan Pers dengan komisi I DPR menganggap tindakan pemerintah memblackout peristiwa Solo & Semarang (kerusakan rasial anti Cina) merupakan kebijaksanaan yang tidak benar. (md)

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA pengrusakan atas harta benda milik Cina di Surakarta dan Semarang ternyata demikian cepat menjalar. Sedang media cetak (pers) Indonesia tidak menyiarkannya. Sebab Pangkopkamtib laksamana Sudomo ketika itu (27 November) memang menghimbau para pemimpin redaksi suratkabar di Jakarta agar tidak memberitakan (black-out) serangkaian peristiwa tadi. Tapi informasi itu--dalam bentuk tidak lengkap dan sering berlebihan--mengalir juga antara lain lewat media elektronik (radio) asing, komunikasi telepon dan percakapan dari mulut ke mulut. Bertolak dari kenyataan di atas, Jussac M.R. Wirosubroto, anggota Komisi I DPR, bertanya dalam suatu dengar pendapat (28 November) dengan Dewan Pers. Kenapa arus informasi dibendung? Jussac, Ketua PWI Cabang Yogya, meniiai kebijaksanaan itu justru menyebabkan rakyat memperoleh informasi keliru mengenai suatu kejadian. Pemerintah seharusnya membiarkan pers memberitakannya, katanya. "Bila benar korban yang tewas tiga orang, koran akarta tidak akan memberitakan tigapuluh--seperti tersiar dalam desas-desus." Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Djafar H. Assegaff mengemukakan pendapat serupa. "Black-out total adalah suatu kebijaksanaan yang tidak benar dan tidak menguntungkan pemerintah," ungkapnya. "Saya tidak percaya bila black-out selama-lamanya merupakan tindakan bijaksana. Sebab desas-desus akan cepat merambat dan merusak stabilitas," kata Kadjat Hartoyo, wakil pemimpin redaksi Suara Karya. Chalid Mawardi (Fraksi Persatuan Pembangunan) dalam acara dengar pendapat Komisi I DPR dengan Pangkopkamtib (4 Desember) meminta agar keterangan Laksamana Sudomo di DPR itu dianggap sebagai keterangan resmi. Ia mengingatkan bahwa tindakan blackout telah menyebabkan berita berkembang dari mulut ke mulut dan keluar dari proporsinya. "Soal ini (kerusuhan) semakin tidak jelas dan semakin tidak menguntungkan semua pihak," ujarnya. Kebijaksanaan itu, jawab Sudomo, dimaksudkan supaya pemberitaan pers ndak ikut merangsang memperluas peristiwa tersebut ke tempat lain. Tapi ia mengakui hal itu justru menyebabkan desas-desus berkembang hebat. "Bla, kout bukan untuk menutup-nutupi sesuatu," sambung Sudomo, "tapi untuk melakukan lokalisasi peristiwa dan penyelesaian secara tuntas." Bila hal tersebut merupakan tujuan pemerintah, sambut Jussac, pemerintah telah gagal. Sebab tanpa pemberitaan media cetak, katanya, kejadian itu justru merambat ke berbagai kota di Jawa Tengah. Melakukan lokalisasi suatu peristiwa merupakan suatu cara pendekatan yang mungkin dipandang efektif. Tapi Indonesia, demikian Assegaff, semakin tidak kebal terhadap perembesan (penetlation) siaran radio (luar negeri), para pelancong dan komunikasi telepon yang sulit dibendung. Karena mengejar aktualitas, penvajian radio (luar negeri) tidak selalu akurat. Said Budairy, wakil pemimpin redaksi Pelita, telah merasakannya. Pemberitaan radio Australia (ABC), beberapa hari setelah kejadian Surakarta, dinilainya merugikan kepentingan umat Islam. "Pemberitaannya seolah mengesankan ada sentimen umat lslam terhadap modal Cina," kata Budairy. Akhirnya, Atang Ruswita, pemimpin redaksi Pikiran Rakyat (Bandung), memperingatkan "Bila sering ada black-out, rakyat Indonesia pasti bakal tidak percaya lagi pada pers Indonesia. Bila kelak rakyat lebih percaya pada siaran radio luar negeri, ini berbahaya!" Dan jika suatu saat pemerintah menjelaskan kebijaksanaannya lewat pers, "rakyat tidak akan mempercayainya lagi," tambah Jussac yang duduk dekat Atang. Pemerintah tidak ingin peristiwa Semarang dan Surakarta menjadi masalah nasional. Itulah sebabnya Pikiran Rakyat ditegur ketika (24 November) menurunkan pernyataan Pangdam VII Diponegoro Mayjen Soekotjo berkenaan dengan kejadian di Surakarta. Juga Suara Karya mendapat peringatan karena tajuknya (29 November) yang mengupas pergolakan di kedua kota tersebut. Kabarnya Suara Merdeka (Semarang), karena tajuknya (26 November) menyinggung hal serupa, ditegur pula. Tapi cara membungkam pers itu terbukti keliru. "Daripada kami dikenakan black-out, kenapa kami tidak diajak berunding untuk membantu menenteramkan suasana dengan pemberitaan?" kata Atang Ruswita. Budairy dari Pelita menambah: "Kami pun mampu memberitakannya dengan bertanggung jawab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus