MEREKA menyebutnya 'aksi keprihatinan'. Mula-mula datang ke
DPR. Lantas mogok kuliah, 3 hari, awal bulan ini.
Mereka, mahasiswa Institut Teknologi Bandung, seperti
dinyatakan Yayat Nurhayat, Ketua DM ITB yang menandatangani
seruan aksi mogok itu, "tidak menghendaki adanya tindakan yang
tidak bersifat mendidik yang justru terjadi dalam lembaga
pendidikan."
Yang dimaksud Yayat adalah skorsing dan pemecatan mahasiswa
di beberapa perguruan tinggi negeri.
Berapa persisnya mahasiswa yang diskors dan yang dipecat,
rupanya tidak menjadi masalah penting bagi mereka. Menurut
Menteri P&K sehabis mengadaian rapat kerja dengan DPR, Selasa
pekan lalu, sekitar 30 mahasiswa yang dipecat. Jumlah yang
diskors tidak disebut.
Skorsing terhadap Yayat Nurhayat dan Eddy Susianto dari ITB
misalnya dilakukan karena mereka dianggap terlibat satu kegiatan
di kampus tanpa izin institut. Begitu juga pemecatan Elbiner
Tobing, mahasiswa UI (TEMPO 22 NOvember). Memang merugikan,
skorsing itu. Apalagi pemecatan. "Bayangkansatu tahun
menganggur. Itu merupakan hambatan bagi hak seseorang," kata
Yayat bersemangat. Toh ia yang terkena skors satu
tahun--terhitung mulai pertengahan bulan lalu--melihat juga
manfaamya. "Saya semakin yakin bahwa tantangan yang dihadapi
mahasiswamakin serius. Dan itu tak bisa dihadapi dengan cara
emosional, tapi harus dengan sikap dewasa."
Kegagalan Komunikasi
Kata-kata Yayat bisa dicurigai sebagai hanya membela
kepentingan pribadi. Tapi seorang dosen Jurusan Teknik Industri
ITB, Wimar Witular, 35 tahun, pernah menjadi ketua DM ITB,
pun melihat skorsing sebagai tindakan tak bijaksana. "Dilihat
dari segi pendidikan, penjatuhan skorsing akan menutup
komunikasi--bahkan bisa terjadi adanya tindakan saling
membalas, yang pada gilirannya bisa menimbulkan radikalisme
di kalangan mahasiswa," menurut dia.
Apalagi kalau skorsing atau pemecatan didasarkan pada
kegiatan mahasiswa yang bersifat kemasyarakatan atau
politik--Wimar menilai itu sebagai "kegagalan kedua pihak untuk
mengadakan komunikasi."
Tapi bagaimana dengan mogok kuliah? Apa bermanfaat?
Daoed Joesoef menyatakan: "Mereka yang mogok tidak akan
diambil tindakan apa pun selama tak melakukan intimidasi
mengajak mogok yang lain. Mereka akan rugi sendiri."
Wimar sendiri melihat aksi mogok sebagai tak merugikan
siapa pun--selamadijalankan mahasiswa dengan kompak. Soal
teknis, kuliah yang tertinggal misalnya, "itu bisa dikejar
kemudiannya," katanya. "Kadang-kadang kegiatan rutin harus kita
tinggalkan untuk suatu hal yang lebih fundamental."
Mahasiswa ITB sendiri memang tak satu suara--tentu saja.
Terhadap aksi mogok ada bermacam pendapat, meski yang
terang-terangan menentang tak ada. Komaruddin, mahasiswa Geologi
tingkat terakhir, mengingatkan pada aksi mogok mahasiswa ITB dua
tahun lalu. Dulu, aksi itu mengakibatkan pendudukan kampus oleh
tentara, dan ini mengakibatkan kerugian besar pihak ITB.
Dikhawatirkannya kalau aksi mogok yang terakhir ini
berkepanjangan alan terjadi peristiwa serupa.
Harga Diri
Tapi ada yang lebih dikhawatirkannva. Menurut dia sebagian
besar mahasiswa bersikap apatis. "Mereka datang ke kampus semata
untuk kuliah," ujar Komar. Karena itu ia khawatir mahasiswa
apatis yang jumlahnya memang banyak itu dipergunakan oleh lawan
gerakan mahasiswa--agar mereka berseru bahwa mereka dirugikan
oleh pemogokan itu. "Secara pribadi saya tak setuju aksi mogok.
Tapi kalau itu sudah jadi kesepakatan bersama, ya saya ikut
mogok," kata Komaruddin sembari tertawa.
Terutama di hari kedua pemogokan, 2 Desember lalu, kampus
ITB memang bersuasana lain. Ruang kuliah kosong, poster-poster
yang mengecam kebijaksanaan Menteri P & K memenuhi setiap
dinding kampus. Mahasiswa berkumpul-kumpul di lapangan basket.
Di luar kampus tentara dan polisi siaga. Kendaraan yang hendak
masuk diperiksa. Tapi mereka tetap di luar, tak mengganggu
mahasiswa.
Beberapa mahasiswa menilai aksi mogok sebagai pelajaran di
luar kurikulum. "Ini merupakan pelajaran pengamatan
kemasyarakatan yang tak ada dalam kurikulum," kata Bernard
Napitupulu, mahasiswa Senirupa. "Mogok itu memang mahal," kata
John Purba mahasiswa Teknik Industri. "Kita bisa merenung untuk
apa sebetulnya kita belajar di ITB ini. Itu untungnya. Ruginya,
cuma soal pelajaran. Dan itu cuma soal waktu" lanjutnya.
Yusman SD, bekas pejabat ketua DM dua tahun lalu, menilai
arti pemogokan karena adanya tindakan skors sebagai terlalu
kecil. Meski ia bisa memaklumi bahwa skors memang menyinggung
harga diri mahasiswa. Tapi Komaruddin, mahasiswa Geologi yang
tadi, melihat satu lagi segi positif aksi ini. Dengan pemogokan
ml muncul suasana yang memungkinkan mahasiswa memilih
pemimpinnya secara spontan --satu hal yang tidak akan bisa
dilahirkan oleh latihan kepemimpinan mana pun. Dengan kata lain,
menurut dia, aksi ini pun merupakan satu pendidikan
tersendiri--untuk punya rasa tanggung jawab terhadap segala hal
yang dilakukan.
Paling tidak mereka telah menaati keputusan bersama untuk
mogok hanya tiga hari. Perkembangan lebih lanjut? Ada pejabat
ketua DM baru -- Iwan Dharma Setiawan, mahasiswa Deparremen
Geodesi. Yayat sendiri mengundurkan diri dari jabatan ketua
Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini