GINO adalah seorang pemuda yang baik dan disenangi orang. Sayang, IQnya tidak terlalu tinggi, sehingga selalu sulit mencari pekerjaan formal. Para pedagang di alun-alun lalu bersepakat untuk memberi Gino pekerjaan yang sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Sekadar amal, untuk saling berbuat baik bagi sesama. Mereka lalu mengumpulkan uang dan membeli sebuah gerobak pengangkut sampah untuk Gino. Tiap hari Gino memungut sampah dan mengangkutnya dengan gerobak itu ke tempat pembuangan. Untuk itu ia mendapat pula sekadar upah. Pekerjaan itu dilakukan Gino dengan baik. Tetapi, enam bulan kemudian, Gino tiba-tiba minta berhenti. Bukan karena ia ingin pekerjaan yang lebih "priyayi'. "Saya menabung uang dan kini saya sudah membeli gerobak sendiri. Saya akan memulai usaha sendiri di bidang pembuangan sampah," katanya. Dengan IQ yang rendah, Gino ternyata seorang wirausaha tulen. Kewirausahaan memang kegiatan yang kini tengah giat digalakkan sebagai alternatif terhadap tekanan masalah ketenagakerjaan. Tetapi, nyatanya, semangat kewirausahaan juga merupakan ancaman terhadap employment. Begitu banyak Perusahaan kehilangan pegawai terbaiknya yang memutuskan untuk berhenti bekerja dan memulai bisnis sendiri. Para entrepreneur sejati memang sulit hidup terkungkung dalam suatu perusahaan besar dengan struktur dan prosedur yang kaku. Lalu, apa resepnya agar perusahaan tak perlu kehilangan pegawai? Padahal, memadamkan semangat kewirausahaan justru akan memandulkan perusahaan. Semangat kewirausahaan para karyawan dalam perusahaan merupakan asset yang sama pentingnya dengan kemampuan teknologi, keterampilan memasarkan, dan keahlian manajemen. Resepnya ternyata sudah ditemukan. Tahun lalu majalah Time sudah menyebut-nyebut istilah intrapreneurship. Apakah intrapreneuring itu ? Gifford Pinchot III, penemu gagasan ini, dalam bukunya yang berjudul Intrapreneuring menulis bahwa istilah itu sebetulnya merupakan kependekan dari intra-corporate entrepreneur. Mereka al dalah orang-orang yang bekerja di dalam suatu perusahaan, tetapi melakukan sesuatu untuk perusahaannya dengan risiko yang sama seperti layaknya kaum wirausaha. Mereka mengambil risiko pribadi untuk mewujudkan cita-citanya dan gagasan bisnisnya dalam perusahaan tempat ia berstatus sebagai karyawan. Intrapreneurship ternyata merupakan jawaban yang cocok terhadap masalah bisnis tahun 1980-an. Perusahaan-perusahaan menjadi semakin besar dan komunikasi pun menjadi semakin berlapis-lapis. Sering kali sebuah gagasan baik tidak berhasil sampai ke telinga direksi karena struktur dan prosedur tersebut. Pencetus gagasan yang tentunya menganggap bahwa gagasannya adalah yang terbaik, tentulah akan menjadi kecewa. Kekecewaan itu lalu disampaikannya kepada orang lain. Dan orang lain itu kemudian akan "menjual" gagasan itu kepada seorang pemodal. Maka, skenario berikutnya dapat kita duga. Orang itu "dibajak" untuk pindah dan mewujudkan gagasannya. Perusahaan yang "kena bajak" tidak saja kehilangan salah satu sumber dayanya yang terbaik, tetapi sekaligus juga kehilangan peluang untuk menghasilkan. Intrapreneuring adalah sebuah sistemyang rcvolusioner untuk menggalakkan pembaruan (inovasi) di dalam tubuh perusahaan. Persaingan yang semakin sengit pada masa kini hanya memberi dua kemungkinan bagi setiap usaha: melakukan inovasi, atau mati. Majalah The Economist yang terbit di London pada 1976 pernah juga mengajukan gagasan agar sebuah perusahaan menjadi semacam konfederasi dari para wirausaha. Tetapi, masalahnya, apakah sistem itu bisa berjalan. Mengapa seorang harus menjadi intrapreneur kalau sebetulnya ia juga bisa menjadi entrepreneur? Awal persoalannya mungkin terletak pada modal. Menjadi seorang wirausaha menuntut modal untuk mewujudkan gagasan. Dan modal bukan merupakan sesuatu yang mudah didapat. Seorang intra-corporate entrepreneur adalah seorang karyawan yang diberi kebebasan, peluang, dan insentif untuk menciptakan dan memasarkan produk/jasa yang digagasnya. Perusahaan menyediakan modal dan sarana, kemudian keuntungannya dibagi dua: untuk pencetus gagasan dan untuk perusahaan sebagai pemodal. Dengan cetak biru semacam itu seorang entrepreneur tidak perlu keluar dari pekerjaannya ketika ia merasa mempunyai gagasan yang bisa diwujudkan untuk mencapai keuntungan. Ia tidak perlu repot-repot mencari modal. Ia juga tidak perlu repot-repot membangun citra perusahaan karena ia sudah memperoleh "sawab" dari nama besar perusahaan yang menggajinya. Sebagaimana layaknya para entrepreneur, para intrapreneur pun selalu penuh dengan gagasan besar yang bila digabungkan dengan kekuatan sumber daya yang dimiliki oleh sebuah perusahaan akan merupakan kekuatan pencipta produk dan jasa baru yang akan memperkaya kehidupan-manusia. Bondan Wirnarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini