Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kolase Tubuh

Nandang Gumelar Wahyudi mengumpulkan foto tubuh manusia dari majalah bekas lalu dipasangkan secara acak.

10 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kolase Tubuh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah-wajah perempuan tampak mendominasi di sela potongan gambar atau kolase yang memenuhi tembok. Paras mereka tak seutuh aslinya seperti pada foto yang tercetak di lembaran majalah bekas. Gambar wajah yang juga digambari itu, antara lain, bermulut monyong, matanya cuma satu, dan ada yang kepalanya kembar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok tubuhnya sampai ke kaki pun beragam. Ada yang tampak proporsional, tapi banyak juga yang seperti karikatur. Umumnya mereka berpakaian lengkap atau cuma sebagian, seperti berbaju saja, hanya bercelana atau rok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya berjudul Homo Carnivalis itu berupa lanskap kumpulan banyak kolase. "Carnivalis ini cerita soal kecenderungan orang untuk ramai, menyukai keramaian, norak-norak bergembira seperti itu," kata Nandang Gumelar Wahyudi alias Nandanggawe, 47 tahun, pembuat karya itu, kepada Tempo, Sabtu pekan lalu.

Mereka berdandan untuk menjadi obyek tatapan. Menurut Nandang, jarang orang berkaca untuk menyederhanakan penampilan, melainkan memaksimalkannya. Setelah itu, mereka bertemu di suatu tempat, berkumpul sambil berjalan-jalan, misalnya di mal. "Dengan aktivitas seperti itu dan pakaian mereka seperti peserta acara festival."

Dalam kondisi itu, kata Nandang, orang keluar dari dirinya sendiri untuk beramai-ramai berbaris dan ingin menjadi bagian dengan yang lain. Dirinya sendiri hilang atau tidak jelas dalam keramaian. "Situasi itu cocok dengan konsep kolase. Ambil secara acak, disatukan, muncul wajah dan tubuh baru," ujar seniman kelahiran Bandung, 29 Oktober 1970, itu.

Pameran tunggalnya di Rumah Budaya Rosid, Bandung, pada 2-15 Agustus lalu itu bertajuk "Preversion". Dalam konsep preversi, kata Nandang, gender menjadi tidak jelas. Lelaki bisa terlihat seperti perempuan dan sebaliknya. Dalam pamerannya kali ini, tampilan unsur selain bentuk, gestur, dan distorsi gambar menjadi tidak penting.

Proses kolase diawali dari pencarian gambar atau foto bagian tubuh manusia dari majalah bekas bertema fashion hingga politik. Ia mengumpulkan kaki, tangan, tubuh, kepala, atau wajah sesuai dengan jenisnya. Lalu kolase gambar organ tubuh manusia itu dipasangkan ulang secara acak.

Bagi dia, kolase bukan hanya kegemaran, tapi juga konsep. "Saya memandang hidup itu sebagai kolase," ujar seniman yang terpilih masuk daftar "10 Terbaik" dalam Philips Morris Indonesian Art Awards VI pada 1999 itu. Mengolah kolase sebagai karya seni sejak 1990-an, Nandang baru serius mengkaji dan menggali kolase lebih jauh sejak 2010.

Pada seri karya lain, ia terinspirasi oleh pengarang Inggris, Mary Shelley, yang menulis cerita Frankenstein, peneliti muda yang menciptakan makhluk baru dari tanah kuburan. Kegagalan manusia menciptakan manusia baru itu mengalir lewat seri karya Ndankenstein.

Seri karya itu berwujud barisan kepala dengan posisi dibalik. Wajah-wajah tampak ganjil karena Nandang menempelkan beragam potongan gambar kulit, lalu perpotongannya digambar seperti benang jahit. Warna kulit cokelat gelap berselang-seling dengan yang muda. Figur itu menjadi sosok baru yang tidak jelas.

Karya lainnya adalah seri Tubuh Sirkus. Judul ini, kata Nandang, masih terkait dengan pameran sebelumnya, yaitu "Sirkus", di Galeri 212 Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pada 22-30 Agustus 2017.

Lewat Sirkus, Nandang menjadikan tubuh manusia sebagai subyek sekaligus obyek. Sosok tubuh manusia digambar ulang menjadi tubuh kolase yang tak bisa lagi dibaca sebagai identitas tunggal. Kompleksitas manusia bagaikan potongan puzzle yang tak selesai dibentuk.

Idenya mengacu pada sirkus sebagai pertunjukan yang menghibur. Di dalam sirkus modern, kata Nandang, biasanya terdapat tiga hal, yaitu akrobat, sulap, dan badut. Keindahan, ketakjuban, ketegangan, dan kelucuan mengalir dalam pertunjukan dengan suasana meriah dan terkesan mewah.

Nandang melihat adanya kesamaan keseharian manusia dengan panggung sirkus: menjalani hidup dengan berakrobat, memainkan trik-trik sulap untuk menipu, serta aneka upaya lain untuk bertahan hidup. ANWAR SISWADI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus