Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nanda Intan dan teman-temannya kini punya kegiatan baru sepulang sekolah: nongkrong di Taman Menteng. Di taman yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada akhir April itu, siswi SMP 1 Cikini, Jakarta, ini bisa bermandi peluh main futsal atau hanya sekadar mengobrol buang waktu bersama teman-temannya.
Bagi Nanda, taman yang terletak di antara Jalan HOS Cokroaminoto dan Prof. Moch. Yamin, Jakarta Pusat, itu bak oase di tengah keringnya tempat bermain terbuka di Jakarta. Nanda tak peduli taman itu dibangun setelah melewati perdebatan panjang karena lapangan bola milik Persija yang dibangun pada 1921 itu dianggap lokasi bersejarah. "Tempat seperti ini lebih dibutuhkan warga," katanya.
Boleh jadi Nanda benar. Taman seluas 3,5 hektare itu menyediakan sejumlah fasilitas yang bisa dinikmati banyak orang. Lahan yang posisinya sejajar dengan Jalan Kediri yang dikeraskan dapat digunakan untuk bermain basket, voli, futsal atau skateboard. Pada lahan berumput di sisinya ada lapangan futsal dan arena bermain anak-anak, lengkap dengan ayunan, dan perosotan. Di antara pepohonan yang baru ditanam juga terdapat bangku taman yang cukup nyaman. Kebisingan jalan raya serasa teredam oleh keluasan taman.
Sedangkan jalur-jalur yang dibuat diagonal dari sudut satu ke sudut membawa para pejalan kaki dari keramaian jalan raya ke Taman Kodok, yaitu taman lingkungan (neighborhood park) yang sudah lama dibangun di Jalan Sidoarjo, dan sebaliknya. Kolam-kolam berbentuk lingkaran dengan air mancur di tengahnya bisa menjadi jeda bagi para pejalan kaki. Lampu penerang Taman Menteng, terutama di area bermain, pada malam hari juga memadai.
Pendeknya, banyak yang ditawarkan taman yang menjadi salah satu impian Sutiyoso itu. Gubernur sebelumnya, Surjadi Soedirdja, menolak alih fungsi Stadion Persija menjadi taman serbaguna karena dinilainya akan mengurangi lahan resapan air. Sutiyoso kemudian mengubah peruntukannya menjadi taman, kendati diprotes pencinta Persija yang tak ingin markasnya digusur.
Pada akhir 2004, Dinas Pertamanan DKI Jakarta menggelar sayembara desain Taman Menteng. "Tujuannya untuk menjaring ide-ide segar," kata Kepala Dinas Pertamanan DKI Jakarta Sarwo Handayani, dua pekan lalu. Yang keluar sebagai pemenang adalah arsitek Subardi Rahim dengan konsep Dual Memory.
Dengan konsep itu, Subardi menginginkan Taman Menteng bisa memadukan modernitas kawasan bisnis di sekitarnya dengan kenangan "Menteng Kota Taman", yang diwakili dengan keberadaan Taman Kodok. Jalur diagonal yang membelah taman-disebut perancangnya sebagai poros kontemplatif-dimaksudkan sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Untuk memperkuat kesan tersebut, Subardi merancang bangunan bergaya kontemporer-sekarang diwujudkan dengan bangunan kaca. Pada awalnya, Subardi juga merancang bangunan perparkiran bawah tanah agar konektivitas antara Menteng Plaza dan taman terkesan mulus. Namun, Karnaya, arsitek yang mendesain ulang Taman Menteng, membuat beberapa perubahan.
Perubahan terpenting adalah memindahkan konsep parkir bawah tanah (di bawah taman). "Ide ini tidak logis," katanya. Sebab, dengan adanya bangunan itu, pohon besar tidak mungkin tumbuh di atasnya. Bangunan parkir akhirnya dibuat tiga tingkat dengan bagian dasar direncanakan sebagai tempat pedagang kaki lima yang semula memenuhi pinggiran Jalan HOS Cokroaminoto. Tempat ini bisa menampung sekitar 150 mobil.
Rancangan lain yang diubah adalah plaza yang seharusnya dibangun di lapangan olahraga yang sekarang. Menurut Subardi, plaza yang memanjang tersebut, selain menghubungkan Taman Menteng dengan Taman Kodok, juga menjadi pusat aktivitas masyarakat. Untuk itulah, semula Subardi merancang panggung kecil di bagian tengah plaza. Tapi panggung kemudian dihilangkan karena penduduk protes, bila ada acara, lingkungan sekitar akan bising.
Sayangnya, beberapa perubahan tersebut tidak membuat Taman Menteng menjadi nyaman dan tepat guna. "Kelemahannya ada pada detail," kata mantan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia DKI Jakarta, Bambang Eryudhawan. Menurut dia, arena bermain anak seharusnya dibangun di atas pasir, bukan rumput seperti sekarang, agar jika hujan, air tidak menggenang.
Selain itu, pengerasan beton memakan lahan terlalu luas. Akibatnya, bagian itu menjadi sangat panas di siang hari. Juga, bangunan kaca tertutup, yang dimaksudkan untuk ruang serbaguna komersial, membutuhkan setidaknya 10 mesin pendingin untuk menyejukkan udara di dalamnya. "Taman seharusnya serba terbuka. Pilihan bahan kaca juga membuat makin panas," kata Yudha.
Walau begitu, tak berarti pembangunan Taman Menteng yang menghabiskan dana Rp 30 miliar ini sia-sia. Paling tidak, taman yang dibangun selama delapan bulan ini menambah luas ruang terbuka hijau di Jakarta. Dalam beberapa tahun terakhir, ruang terbuka hijau di Ibu Kota makin menciut (lihat Agar Jakarta Ijo Royo-royo). Taman Menteng bisa menjadi awal untuk memperluas lahan yang penting untuk resapan air itu.
Sapto Pradityo
Agar Jakarta Ijo Royo-royo
Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta mengamanatkan paling tidak ibu kota negara ini memiliki ruang terbuka hijau 13,94 persen dari luas Jakarta atau sekitar 9.220 hektare. Padahal, saat ini Jakarta baru mempunyai sekitar 6.000 hektare.
Menambah 3.000 hektare ruang terbuka hijau jelas bukan perkara mudah di Jakarta. Harga tanah sangat mahal dan sebagian besar sudah berubah menjadi hutan beton. "Tahun ini kami hanya sanggup membebaskan tanah tiga hektare," kata Kepala Dinas Pertamanan DKI Jakarta, Sarwo Handayani.
Sadar kemampuan pemerintah daerah terbatas, Handayani bergerilya mengajak pihak swasta bergotong-royong membuat Jakarta hijau. Gayung pun bersambut. Sejumlah perusahaan bersedia urunan merawat taman. Penerbit Gunung Agung mengelola Taman Gunung Agung di Kwitang, perusahaan angkutan Arion merawat Taman Arion di Jakarta Timur, Sampoerna mengelola koridor Jalan Imam Bonjol, dan Indosat menjaga jalur hijau di sepanjang jalan Medan Merdeka Barat.
Pemerintah juga berusaha mengembalikan fungsi taman yang menyimpang. Seperti Taman Barito, Jakarta Selatan, yang dikepung penjual bunga dan aneka binatang piaraan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo