Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
The Aristocrats, band fusion rock asal Amerika Serikat, menggelar konser di Denpasar.
Mereka meminta penonton tak mengambil gambar supaya bisa lebih menikmati pentas tersebut.
Sebagian penonton berlatar belakang musikus dan menganggap konser itu sebagai pertunjukan pakar.
Lagu Last Order semestinya mengakhiri konser The Aristocrats di Gedung Dharmanegara Alaya, Denpasar, Rabu malam, 15 Februari 2023. Beat-nya mengalun pelan ditaburi lengkingan suara gitar Guthrie Govan, yang juga pencipta lagu itu. “Lagu ini memang terinspirasi oleh bunyi bel yang menandai order terakhir di sebuah bar sebelum mereka tutup,” kata Govan.
Alih-alih bubar, ratusan penonton bertahan di tempat. Mereka ramai-ramai bersorak minta lagu tambahan. The Aristocrats tak kuasa menolaknya. Di sesi terakhir, mereka bahkan meminta penonton untuk memberi aba-aba dalam tiga sesi dari lagu Blues Fucker.
Interaksi menjadi penanda penting penampilan grup fusion rock yang dibentuk pada 2011 ini. Selain Guthrie, personel lainnya adalah Marco Minnemann (drum) dan Bryan Beller (bas).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guthrie Govan. TEMPO/Rofiqi Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang penggebuk drum bahkan mengawali penampilannya dengan menyanyikan lagu anak-anak berbahasa Bali, Meong-meong, yang akrab dengan penonton. Kontan, tepuk tangan bergemuruh dan suasana langsung mencair.
Mereka lalu bergantian memperkenalkan lagu yang akan dibawakan dengan menceritakan kisah di balik pembuatannya. Sebagian besar ternyata adalah parodi tentang kisah sehari-hari, sebagaimana nama band yang kabarnya merupakan satire dari kehidupan para bangsawan itu.
Sebut saja karya The Ballad of Bonnie and Clyde yang dibuat Bryan Beller. Lagu tersebut terinspirasi oleh pencurian alat musik miliknya. Si pencuri tertangkap polisi, tapi tak satu pun instrumen kesayangan tersebut kembali ke empunya.
Bukan berarti tak ada hal yang lebih serius. Lagu Terrible Lizard, yang berlanjut dengan Bad Asteroid, mengajak pendengar untuk menjelajah ke masa dinosaurus. Lengkingan gitar Guthrie menggambarkan meteor yang menghunjam bumi dan mengakhiri kehidupan pada era itu.
Kekhasan dari grup ini adalah pukulan drum yang begitu variatif. Marco Minnemann memberi tekanan lewat Aristoclub, solo drum yang memiliki aksentuasi kuat pada kecepatan, progresi yang sangat dinamis, dan kombinasi yang penuh simpangan.
Keunikan lain dari konser ini ada di area penonton. The Aristocrats meminta penonton agar tak menghidupkan gawainya untuk memotret dan merekam video. “Mereka ingin penonton benar-benar menikmati musiknya,” kata promotor Agung Bagus Mantra dari M’Cast Pregina. Semua penonton menurutinya.
Pria yang akrab disapa Gus Mantra itu mengatakan tidak ada protes soal larangan tersebut. Sebab, sebagian besar penonton berlatar belakang musikus, sehingga pertunjukan itu menjadi semacam master class untuk melihat keunggulan teknik yang dimiliki band asal Amerika tersebut.
“Bali menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang dipilih The Aristocrats dalam project The Defrost Tour Asia 2023,” katanya. Sebelumnya, grup ini bermain di tiga kota di Jepang. Dari Bali, mereka beranjak ke Mumbai, India.
Kehadiran The Aristocrats di Bali berawal dari pertemanan Gus Mantra dengan tour manager band ini. “Mereka belum pernah ke Bali dan tertarik akan keindahannya," ujar Mantra. "Tapi yang diminta adalah konser yang intimate dengan jumlah penonton terbatas.”
Bryan Beller. TEMPO/Rofiqi Hasan
The Aristocrats tampil perdana dalam perhelatan akbar NAMM Anaheim 2011, yang kemudian menghasilkan album The Aristocrats, dengan lagu populer Boing!, I'm in the Back, Sweaty Knockers, dan Bad Asteroid.
Dalam satu dekade, The Aristocrats memproduksi tiga album, yang dua di antaranya mendarat di Billboard Top 10 Jazz Chart. Mereka juga berkolaborasi dengan para musikus dunia, seperti Steven Wilson, Joe Satriani, Steve Vai, Dethklok, Steve Hackett, John Pettruci, serta Hans Zimmer.
Sejumlah tur dunia mereka diabadikan dalam tiga album live. Yang terbaru adalah FREEZE! Live in Europe 2020. Album ini menjadi semacam catatan sedih dari band rock yang memuncak dengan single You Know What…? tersebut karena digarap hanya dua pekan sebelum Covid-19 meluluhlantakkan dunia.
Tentang pertunjukan di Asia, termasuk Bali, mereka menulis dalam situs web The Aristocrats. "Kami merasa senang dan bersyukur dapat memainkan perpaduan unik musik kami untuk penonton Asia. Dari tempat yang kami kenal dengan baik, seperti Jepang; kemudian pertunjukan pertama kami di Bali; dan selanjutnya melintasi India; serta kunjungan kembali ke Hong Kong, Taiwan, dan Vietnam, sungguh menakjubkan. Betapa pun liar dan eksperimentalnya musik yang kami sajikan, semua dapat dinikmati. Bahasa musik memang universal.”
ROFIQI HASAN (DENPASAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo