Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF0000>Batu Bara</font><br />Bara Hitam Tetap Panas

Harga batu bara berkisar pada nilai keekonomiannya. Bisnis ini tetap cantik.

12 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI tak lagi menjadi Senior Country Officer JP Morgan Chase Indonesia, Gita Wirjawan tak pernah lepas dari dunia investasi. Ia kini membidik industri batu bara. Aksinya di bisnis ini dimulai pada akhir November lalu, ketika Ancora Capital Management—perusahaan investasi yang dia dirikan awal tahun lalu—mengambil alih utang PT Bumi Resources Tbk kepada JP Morgan senilai US$ 72 juta.

Sejak itu, Ancora mendekap lima persen saham Bumi, perusahaan batu bara terbesar di Indonesia yang juga salah satu mesin uang keluarga Bakrie. Meskipun demikian, dalam kesepakatannya, PT Bakrie & Brothers, sebagai induk perusahaan, berhak membeli kembali saham Bumi paling lambat satu tahun.

Satu pekan sebelum libur panjang akhir tahun, PT Ancora Indonesia Resources Tbk. memaparkan agenda mustahak. Mulai tahun ini, perusahaan yang berafiliasi dengan Ancora Capital itu akan bekerja sama dengan lima kuasa pertambangan batu bara di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Di lokasi itu tersimpan cadangan lebih dari 15 juta ton per tahun. Kalorinya di atas 6.000 kilokalori per kilogram.

Siapa lima kuasa pertambang­an yang dibidik, dan berapa nilai investasinya, Direktur Utama Ancora Indonesia Usman H. Darus tak mau mengungkapkan. Ia juga menegaskan, apa yang dilakukan Ancora Indonesia tidak ada hubungannya dengan aksi korporasi perusahaan induknya.

Yang jelas, Ancora Indonesia sudah melakukan pembicaraan dengan calon pembeli dari Jepang dan Malaysia. Perusahaan Negeri Sakura itu butuh 1-3 juta metrik ton per tahun. Yang dari Malaysia minta hingga tujuh juta metrik ton. Harapannya, pada Januari ini sudah dilakukan pengiriman pertama.

Aksi Ancora itu menunjukkan bahwa prospek bisnis bata baru tahun ini, yang menurut penanggalan Cina merupakan Tahun Kerbau Tanah, masih menggiurkan. ”Bisnis berbasis sumber daya alam, seperti batu bara, minyak, gas, serta pembangunan infrastruktur adalah sektor yang paling menjanjikan,” kata Gita seperti dikutip sebuah harian Ibu Kota. Itu sebabnya, ia berfokus di beberapa sektor tadi.

Menurut Direktur Indonesian Coal Society Singgih Widagdo, industri batu bara tidak pernah re­dup karena pasarnya kurang elastis. Buktinya, bila pembangkit sudah didesain berbahan bakar batu bara, pembangkit itu akan tetap memakai batu bara. Karena itu permintaan batu bara tidak pernah surut, meski ada resesi global. Apalagi efisiensi sumber energi ini paling tinggi. Tak mengherankan bila hampir 30 persen konsumsi energi dunia memakai batu bara.

Bahkan kebutuhan akan sumber energi ini di masa depan akan terus meningkat. Ini karena pembangunan pembangkit listrik banyak yang belum kelar. Cina, misalnya, heboh membangun pembangkit 500 ribu megawatt. India menyiapkan pembangkit 40 ribu megawatt. Dan Indonesia dengan proyek 10 ribu megawatt. Tambahan pembangkit itu menyebabkan kebutuhan dalam negeri me­lonjak jadi 82 juta ton pada 2010 atau 2011.

Memang, pembangunan pembangkit baru itu bisa terimbas krisis keuangan global. Tapi, bila pembangunan sudah setengah jalan, pasti akan dilanjutkan. ”Kalau disetop, bisa lebih rugi,” kata Jeffrey Mulyono, Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI). Jumlah pembangkit dalam negeri yang rampung tahun ini ada tiga: Pembangkit Listrik Tenaga Uap Labuan, Indramayu, dan Rembang. Total kapasitasnya 2.100 megawatt.

Karena baru tiga pembangkit yang kelar, permintaan batu bara domestik diperkirakan cuma naik 10 juta ton. Sedangkan produksi naik 15-25 juta ton. ”Selisihnya bisa untuk ekspor,” kata Jeffrey. Saat ini, dari enam miliar ton produksi batu bara dunia, hanya 10 persen yang diperdagangkan antarnegara. Selebihnya digunakan untuk kebutuhan sendiri.

Di sisi lain, transaksi perdagangan batu bara lewat kertas (paper trading) diperkirakan tidak seriuh tahun lalu. ”Dampak riil krisis baru dirasakan para spekulan tahun ini,” kata Singgih. Sedangkan untuk mencari likuiditas hingga dua tahun ke depan tidak semudah dulu. Dengan kondisi itu, kenaikan harga batu bara hanya bersandar pada pasokan dan permintaan.

Itu sebabnya, Singgih memperkirakan, harga batu bara tahun ini tak akan naik ekstrem. Kisarannya sama dengan harga sekarang, US$ 70-80 per metrik ton. Angka itu, menurut Jeffrey, sudah mencerminkan nilai keekonomian si bara hitam. ”Jadi, tidak ada alasan untuk rebound,” ujar Jeffrey.

Justru harga yang diperlihatkan sepanjang tahun lalu sebesar ”US$ 190 per ton pada awal Juni lalu adalah harga tidak normal. Harga yang tidak keruan itu di­picu aksi para spekulan lewat perdagangan secarik kertas.

Karena harganya meroket, banyak pemain baru tidak profesional ikut masuk ke bisnis ini. ”Pokoknya mengeruk untung, tapi tidak punya tanggung jawab,” kata Jeffrey. Gara-gara ulah mereka, produsen batu bara—di tengah likuiditas yang seret ini—kian sulit mencari pinjaman ke perbankan untuk keperluan ekspansi.

Akibat situasi itu, produsen diperkirakan hanya melakukan konsolidasi. ”Produksi sesuai dengan kapasitas terpasang,” kata Singgih. Tidak ada investasi baru buat pengembangan infrastruktur. ”Situasi krisis membuat sikap produsen berubah,” kata Jeffrey menambahkan.

Sedangkan masuknya investor baru masih menunggu kepastian kelarnya peraturan pemerintah, sebagai turunan undang-undang tentang mineral dan batu bara yang baru. ”Tapi jangan harap pemain besar seperti Rio Tinto atau BHP Billiton masuk, karena mereka pasti butuh skala tambang yang besar,” kata Jeffrey.

Meski begitu, BNI Securities dalam analisisnya memaparkan, industri pertambangan memiliki pertumbuhan positif dalam jangka panjang—meski masih ada pelemahan di 2009. Prospek itu didukung oleh nilai laba bersih perusahaan terhadap modal pemegang saham yang rata-rata masih cukup tinggi. Bahkan saham perusahaan batu bara berpotensi menguat lebih baik ketimbang tambang logam.

Melihat harga saham dibanding laba bersih per saham (price earning ratio) dan nilai bu­ku per saham (price to book value)­ yang lebih rendah dari ­nilai rata-rata industri per­tam­­­bang­an,­ valuasi harga saham perusahaan per­tambangan saat ini jauh dari nilai wajar. Peluang investasi di sektor ini jadi sangat menarik. ”Saya percaya, industri ini tetap cantik,” kata Jeffrey.

Batu Bara Indonesia (juta ton) *Proyeksi

2007
1. 212
2. 42
3. 170

2008*
1. 235
2. 48,28
3. 180

2009*
1. 250
2. 58,69
3. 190

Ket*
1. Produksi
2. Kebutuhan Domestik
3. Ekspor

Sumber: Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia dan Indonesian Coal Society

Produsen Batu Bara Indonesia (juta ton)

Kaltim Prima Coal
1. 38,8
2. 43
3. 45

Adaro Indonesia
1. 36,04
2. 38
3. 42

Kideco Jaya Agung
1. 20
2. 22
3. 24

Arutmin Indonesia
1. 15
2. 18
3. 20

Berau Coal
1. 12,05
2. 13,5
3. 15

Indocominco Mandiri
1. 11,7
2. 12
3. 14

Tambang Batu Bukit Asam
1. 8,60
2. 12
3. 12,5

Ket*
1. 2007
2. 2008 (Proyeksi)
3. 2009 (Proyeksi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus