Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edwin Soeryadjaya
Chairman Saratoga Capital
PROSPEK industri pembiayaan di tahun ini sangat baik, meski tak sedikit perusahaan sejenis yang tumbang terkena imbas krisis finansial global. Kesempatan investasi masih sangat besar. Misalnya di sektor infrastruktur dan sumber daya alam, seperti yang selama ini digeluti Saratoga.
Sektor consumer goods juga punya potensi bagus. Pangsa pasarnya penduduk Indonesia yang 220 juta jiwa. Ini ibarat punya permen dibagikan ke semua orang. Investasi yang juga layak dilirik adalah sektor energi, karena untungnya besar. Mustahil, kita tidak menyalakan lampu setelah magrib. Jadi, tinggal bagaimana kita mencari kesempatan.
Kapan dampak krisis akan berakhir? Itu tergantung langkah pemerintah. Kalau saya jadi pemerintah, saya akan menggenjot investasi di infrastruktur, karena ini bisa membangun ekonomi lokal. Pengangguran bisa berkurang tanpa menunggu investasi dari luar. Jadi, pemerintah harus bergerak tanpa harus menunggu bantuan orang lain.
Franciscus Welirang
Vice President PT Indofood
INDUSTRI makanan dan minuman akan memasuki masa-masa sulit. Apalagi krisis keuangan belum berakhir. Pemutusan hubungan kerja mengancam. Daya beli masyarakat kian melemah. Padahal daya beli sangat penting di industri ini. Tak cuma untuk barang yang tahan lama, orang juga sekarang pilih-pilih bila mau beli makanan.
Memang, harga komoditas turun, sehingga ongkos impor bahan baku tidak semahal tahun lalu. Tapi harga komoditas yang turun itu juga menurunkan margin, sehingga profit pun turun, bahkan bisa lebih rendah dari keuntungan 2008. Padahal tahun lalu saja sudah banyak usaha kecil menengah di sektor makanan dan minuman yang tutup akibat harga bahan baku tinggi.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah yang melemah juga menimbulkan masalah buat industri makanan dan minuman di pasar domestik. Karena itu, perusahaan bidang tersebut harus mengontrol belanja modal. Efisiensi produksi perlu dilakukan untuk menghindari pemutusan hubungan kerja. Sistem operasional juga harus diperbaiki. Bila tidak, bisa gulung tikar.
Suryanto Chang
Kepala Divisi Treasury Bank OCBC NISP
PERGERAKAN rupiah tahun ini lebih banyak ditentukan faktor makro-ekonomi, seperti pertumbuhan ekspor dan impor. Ini terjadi karena suplai dan permintaan dolar sudah dikendalikan Bank Indonesia, melalui pembatasan pembelian dolar.
Masalahnya, pertumbuhan ekspor diprediksi akan melemah karena imbas resesi ekonomi global. Di sisi lain, nilai impor masih besar karena konsumsi masyarakat yang cukup tinggi. Apalagi didukung jumlah populasi dan daya beli masyarakat yang tinggi. Bila itu terjadi, neraca perdagangan kita bakal tertekan. Ujungnya, permainan dolar pun naik.
Rupiah belum akan menguat signifikan. Nilai tukar terhadap dolar masih berkisar antara Rp 10 ribu dan Rp 13 ribu. Bila dolar tidak menyentuh Rp 13 ribu, Bank Indonesia bisa leluasa menurunkan suku bunga. Apalagi tekanan inflasi mereda setelah harga minyak dunia turun. Dengan suku bunga yang diperkirakan 8-8,5 persen, akan ada sinyal positif untuk pertumbuhan. Kredit lebih mudah diperoleh. Masalahnya, tidak ada yang bisa menjawab tegas kapan krisis ini berakhir.
Trihatma k. Haliman
Pemilik Agung Podomoro Group
PASAR properti masih cukup baik. Sebab, dengan populasi penduduk Jakarta yang menembus 11 juta-ditambah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi jadi sekitar 18 juta-pangsa pasarnya masih sangat besar. Kalaupun daya beli tergerus, penurunan itu tidak terlalu berpengaruh karena permintaan di sektor ini jauh lebih besar. Sampai kapan pun orang akan selalu butuh papan.
Lagi pula, investasi di sektor ini aman. Harga tanah di Jakarta tidak mungkin turun, malah naik terus. Yang perlu diperhatikan lokasinya. Kalau sekarang kondisi sulit, bisa menunggu sampai kondisi membaik
Memang, akibat krisis keuangan dunia, likuiditas jadi seret. Institusi keuangan masih belum berani memberikan pinjaman. Bunga kredit juga tinggi. Tapi jangan salah, pada zaman Orde Baru, bunga pernah 24 persen selama 20 tahun. Kita bertahan. Sekarang bunga paling tinggi 16-17 persen. Dan bukan kali ini saja kita kena krisis. Pada 1997-1998, kita merasakannya. Tapi sistem keuangan sekarang sudah jauh lebih baik. Bank juga semakin selektif.
Tahun ini, pasar properti akan dibanjiri untuk kelas menengah dan bawah, dan proyek-proyek high end apartment. Mal yang sudah setengah jadi tetap akan diselesaikan karena sektor retail tetap bergairah. Sedangkan pasokan volume properti perkantoran bakal dikurangi.
Soebronto Laras
Bekas Presiden Direktur Indomobil
GONJANG-ganjing krisis keuangan dunia yang berkembang pada tiga bulan terakhir akan kita rasakan pada semester pertama 2009. Penjualan mobil bisa jatuh 35-40 persen. Ini berat buat industri otomotif nasional. Kita harus waswas akan perkembangan ini. Apalagi suku bunga masih di atas sembilan persen. Karena penjualan di industri ini sebagian besar didukung faktor pembiayaan, bunga tinggi pasti akan jadi masalah.
Masalahnya sulit menebak kapan krisis berakhir. General Motors yang besar saja bisa terancam bangkrut. Belum lagi soal nilai tukar rupiah terhadap dolar. Padahal komponen di industri ini bergantung pada pihak luar. Industri otomotif domestik kebanyakan dikuasai pabrikan dari Jepang. Masalahnya, mata uang yen juga terapresiasi. Situasi ini menyebabkan ongkos produksi lebih tinggi. Harga mobil akan naik.
Sayang, sebagian pemain industri otomotif nasional terbuai dengan penjualan melimpah pada 2008-naik 40 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Pelaku menggenjot investasi. Kapasitas ditambah. Tidak tahunya terkena imbas krisis pada triwulan keempat. Itu sebabnya industri otomotif harus diamankan. Produksi jangan sampai turun. Ongkos produksi ditekan. Lalu buka peluang ekspor ke negara yang tidak terimbas krisis. Jangan bergantung pada pasar dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo