MANUSIA, karena pemikiran besar, teknologi tinggi, dan kekuasaan, terus-menerus mengalami perubahan. Tapi sebuah gunung tetap menjadi sebuah gunung, berdiri tegak sebagai bagian dari alam. Itulah yang dikatakan Youn Duck Kyung melalui karyanya berjudul Tari Gunung, yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta awal pekan silam. Dimulai dengan suara Ka ya Kum, Keo Moon Ko, dan A jeang, tiga macam alat gesek Korea, lantas keluarlah delapan penari cantik ke panggung. Berbeda dengan penampilan tarian Korea tradisional yang biasanya memakai kostum berwarna mencolok, pakaian para penari Tari Gunung, meski tetap berlapis-lapis, warnanya putih dan hijau temaram. Gerak-geriknya yang menyesuaikan diri dengan bunyi tabuhan lebih menunjukkan gerakan-gerakan kontemporer -- kaki, tangan, dan tubuh bergerak dengan dinamis: meloncat, kemudian menelungkup, lalu mengangkat wajah perlahan-lahan dengan lemah gemulai. Ini yang disebut koreografer Youn sebagai "kekuatan di dalam kelembutan". Karya yang diciptakan selama bertahun-tahun itu, menurut Youn, berbicara tentang pengaruh Barat di negara-negara oriental, seperti Korea Selatan. "Gunung adalah sebuah lambang oriental, dan ia tetap berdiri tegak sendirian apa pun yang terjadi, sedangkan masyarakat di sekelilingnya cenderung berubah karena pengaruh-pengaruh Barat," katanya. Gaya dan gerakan yang ekpresif dalam Tari Gunung itu memang cenderung memperlihatkan elemen gerakan tarian kontemporer yang dinamis, tapi tentu saja tidak istimewa bagi mereka yang mencoba mencari eksotisme Korea. Sesungguhnya Tari Gunung, menurut Youn, adalah sebuah kontemplasi khas Korea yang akhir-akhir ini mencemaskan pengaruh Barat. Youn memang dianggap koreografer dan penari yang revolusioner di dunia tari Korea. Sebagai penari Korea sendiri ia tentu saja harus melalui pendidikan dasar tari tradisional Korea. Setelah sepuluh tahun bergabung dengan kelompok tari terkemuka Chang Mu Dance Company dan mengadakan pertunjukan di berbagai negara, Youn memulai kelompoknya sendiri dengan menggunakan namanya Youn Duck Kyung Company. Dari kelompok Youn inilah khazanah tari Korea lantas bertambah dengan karya-karya yang menerobos pakem tarian tradisional. Lihat saja, misalnya, Tari Gharima yang menggambarkan bagaimana seorang wanita lahir, tumbuh, dan berkembang. Lalu Dissapeared Fence, sebuah modifikasi dari tari tradisional Khang Khang Suwollae, yang menggambarkan wanita Korea yang menari di bawah bulan. Sayang, kedua karya ini tidak dipertunjukkan di Jakarta. Sebagai gantinya, Youn menampilkan Tari Salpuri karya Han Young Sook. Tarian tentang pengusir roh jahat ini (Sal berarti roh jahat, dan Puri berarti pengampunan) bukan tarian yang tercipta semata-mata untuk kepentingan seni. "Tari Salpuri adalah bagian dari ritual rakyat desa-desa Korea guna mengusir roh jahat," tutur Youn. Tarian solo yang dibawakan di atas panggung berlatar lampu spot itu menampilkan bayangan penari Lee Hye Hyun yang jelita. Ia hanya mengenakan baju panjang putih longgar bertali pinggang merah. Seperti menyaksikan sebuah pertunjukan wayang, kita melihat tubuh penari sekaligus bayangannya yang meliuk-liuk mengikuti irama alat tiup Dea Kum, Piri, Hoon, dan Dan So yang memekik-mekik. Pertunjukan tari Korea tidak akan lengkap jika tidak ada Tari Kipas yang terkenal itu. Inilah tarian dengan kostum warna-warni, kipas besar berbunga yang telah memberi banyak inspirasi kepada berbagai koreografer modern di Asia, termasuk Indonesia. Dibanding dengan Tari Gunung atau Tari Salpuri yang lembut dan kontemplatif, tarian tradisional Korea, seperti Tari Kipas atau Tari Kendang Kecil, tampak lebih menyegarkan mata. Tari Kipas, misalnya, memfokuskan pada warna-warni pakaian yang mencolok dan format posisi para penari. Dalam tarian ini kipas tidak hanya tampil sebagai alat pengusir hawa panas, tapi juga bisa menjadi bunga atau gelombang laut dengan cara meletakkan kipas itu berdempetan. Sementara itu, kendang Book, Jang Gi, dan Kang Ka Ri yang diiringi gong menjadi musik penentu hentakan dan loncatan empat penari Tari Kendang Kecil yang berbaju merah jambu mencolok di atas panggung. Seperti Tari Salpuri, Tari Kendang Kecil pun tercipta ratusan tahu silam sebagai bagian dari ritual para petani di Provinsi Chonrak. Tari Kipas dan Tari Kendang Kecil memang tidak mementingkan filsafat mendalam atau renungan-renungan seperti halnya Tari Gunung. Tapi secara visualisasi, mereka akan lebih mudah menarik penonton asing, seperti Indonesia. Tak aneh jika kedua tarian inilah yang mendapat tepuk tangan meriah dari penonton yang memenuhi Gedung Kesenian Jakarta. Melalui kelompok tarinya, yang sudah mengadakan pertunjukan di Amerika, Hongaria, Jerman, Kanada, Meksiko, dan kini In donesia, Youn berusaha mempersembahkan Korea bukan hanya melalui kipas warna-warni dan gadis-gadis cantik yang telah menjadi ciri khas kesenian Korea, tapi juga melalui renungan-renungan panjang dalam karyakaryanya tentang manusia dan alam. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini