Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran Natasha Tontey mengangkat hubungan antara manusia dan primata di Sulawesi.
Karya-karya itu diciptakan berdasarkan hasil observasi Natasha di kampung halamannya di Minahasa.
Eksplorasi ini membawa Natasha kepada Donna Haraway dan teorinya tentang primatologi.
GAPURA kecil itu menyambut pengunjung salah satu ruang pamer di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara atau Museum MACAN. Gapura melengkung itu tampak rimbun ditutupi rambut-rambut berkelir hitam pekat. Daun-daun merambat menghiasi bagian atas lengkungan gapura. Di tengahnya terdapat pintu dengan dua daun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anehnya, terdapat dua lingkaran berwarna merah muda keputihan bersebelahan di pintu itu. Penampilan gapura dengan sepasang pintu itu menggelitik. Instalasi gapura berukuran 250 x 372 sentimeter berjudul Deep Time: Alter-Destiny ini rupanya mirip dengan pantat monyet. Jika kedua pintu itu dibuka, “pantat monyet” tersebut tampak seperti lorong pendek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seni instalasi tersebut menjadi karya pembuka pameran seni rupa tunggal Natasha Tontey bertajuk “Primate Visions: Macaque Macabre” yang berlangsung pada 16 November 2024-6 April 2025. Dalam pameran ini, ia menyajikan karya-karya yang mengeksplorasi yaki dan relasinya dengan manusia. Yaki adalah sebutan bagi monyet wolai atau monyet hitam Sulawesi. Monyet tak berekor itu satwa endemis Indonesia yang hanya terdapat di Pulau Sulawesi bagian utara dan sejumlah pulau di sekitarnya.
Beberapa langkah dari gapura, terdapat kursi mungil berwarna merah muda yang disulap Natasha menjadi sosok manusia kerdil yang merangkak. Penambahan dakron, busa spandeks, dan lateks membuat struktur kursi plastik kecil itu tampak lebih gemuk dan berdaging.
Lebih ke dalam, Natasha menampilkan sejumlah instalasi seni lain, seperti Cellular Being yang tampak seperti setumpuk lemak hewan yang digantung pada tiang. Tumpukan lemak itu tersambung dengan kabel-kabel yang bertaut pada beberapa monitor berbagai ukuran.
Ada juga Imago's Working Desk yang berupa meja kerja dengan selimut kain hijau di atasnya. Di atas meja terdapat garpu, gunting, dan beberapa boneka. Selain itu, Natasha memamerkan lima busana unik yang digantung pada pipa-pipa besi yang dirangkai membentuk tempat menjemur baju.
Sekilas kostum-kostum itu mirip busana pesta Halloween. Ada dua kostum yang mirip dengan rupa monyet. Tiga sisanya adalah busana perempuan. Di tengah ruang pamer, terdapat layar lebar yang memutar film karya Natasha. Perempuan perupa 35 tahun itu menyuguhkan film surealis berdurasi 31 menit.
Kostum-kostum itu dipakai para pemeran dalam film pendek tersebut. Film ini berlatar distopia di masa depan yang dibuka dengan pengenalan karakter fiktif bernama Imago Organella, seorang ahli primatologi eksperimental dengan spesialisasi studi kera dan monyet. Bersama kedua rekannya, Xenomorphia dan Madame Chauffeur, mereka membebaskan dua yaki dari kurungan.
Instalasi Imago's Working Desk. Tempo/Jati Mahatmaji
Dalam film pendek itu, Natasha menyuguhkan perjalanan surealistis tokoh-tokohnya, seperti saat mereka berkumpul dalam perjamuan makan, berkunjung ke fasilitas penelitian biologi, serta menjelajahi alam bawah sadar satu sama lain. Ia memadukan berbagai gaya sinematik, dari unsur horor teatrikal sampai komedi surealis yang dipengaruhi gaya teater di Prancis pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Tak lupa ia mencampurkan elemen budaya kampung halamannya, Minahasa, ke dalam film.
Natasha Tontey dikenal sebagai seniman visual, desainer grafis, dan peneliti yang lahir di Minahasa, Sulawesi Utara, pada 1989. Penerima HASH Award dari ZKM, Center for Art and Media Karlsruhe and Akademie Schloss-Solitude, Jerman, pada 2020 ini lebih sering tinggal dan berkarya di Jakarta dan Yogyakarta.
Pameran “Primate Visions: Macaque Macabre” berangkat dari hasil pengamatannya terhadap ketegangan antara manusia dan yaki di Minahasa. Sebagai spesies endemis, yaki memiliki hubungan yang sangat kompleks dengan manusia di Minahasa. Sejumlah orang memandang yaki sebagai bagian integral dari ekosistem yang lebih luas. Beberapa yang lain melihat yaki sebagai masalah karena kebiasaan mereka mencuri buah-buahan dan tanaman.
Dari pertemuan dengan dinamika yang rumit itu, Natasha mulai mengeksplorasi pertanyaan besar: “Apakah mungkin melihat hubungan ini tidak dalam situasi hitam-putih, tapi melalui kompleksitasnya—sebagai bagian dari kosmologi hubungan yang lebih luas antara manusia dan spesies lain secara umum?”
Lewat karya berjudul Cellular Being, Natasha ingin menunjukkan bagaimana manusia membedah dan mempelajari makhluk hidup lain demi pengetahuan. Ihwal yaki, manusia ingin mencari hakikat evolusi dan pengetahuan ajaib yang tak terduga di baliknya.
Hal itu terlihat pula pada Imago's Working Desk saat Natasha ingin menunjukkan fasilitas riset yang membedah sisi biologis yaki. Lewat instalasi itu, ia memunculkan beragam pertanyaan yang menantang pandangan antroposentris. Misalnya apakah bulu rambut di lengan manusia menandakan asal-usul sisi hewani? Apakah manusia dan yaki memiliki leluhur yang sama? Juga mungkinkah manusia dan hewan punya persekutuan DNA?
Eksplorasi ini membawa Natasha kepada buah pikiran Donna Haraway dan teorinya tentang primatologi. Haraway adalah cendekiawan terkemuka di bidang kajian sains dan teknologi. Perempuan asal Amerika Serikat itu menulis buku Primate Visions: Gender, Race, and Nature in the World of Modern Science (1989) yang menjadi pijakan berpikir Natasha.
Haraway berpendapat bahwa studi mengenai primata dapat berfungsi sebagai cara pandang untuk mengurai isu-isu ras dan gender pada manusia sekaligus memperdalam pemahaman manusia terhadap alam. Menurut Natasha, Haraway memandang primatologi, sebagai sebuah bidang, pada dasarnya dibangun atas narasi. “Sebagai seniman, saya menganggap elemen penceritaan ini penting untuk diamati dan dilibatkan dalam karya saya,” kata Natasha lewat wawancara tertulis pada Senin, 23 Desember 2024.
Hubungan kompleks antara masyarakat Minahasa dan yaki tecermin dalam sebuah ritual yang disebut mawolai. Natasha percaya ritual ini mencerminkan cara orang Minahasa memandang yaki dalam konteks estetika dan membayangkan hal yang terjadi jika manusia menjadi wolai atau yaki.
Twin Stars of Thence (kanan) dan Yaki Armchair. Tempo/Jati Mahatmaji
Ritual mawolai dipraktikkan selama beberapa generasi. Kompleksitas hubungan antar-makhluk di dalamnya tidak terbatas pada yaki dan manusia, tapi juga terkait erat dengan kosmologi Minahasa, yang dibentuk oleh kombinasi tradisi adat dan pengaruh agama Kristen yang dibawa para misionaris. “Warisan budaya Minahasa ini, menurut saya, selaras dengan cara kita membayangkan masa depan yang seharusnya merangkul keberagaman yang lebih besar.”
Dalam film pendeknya, Natasha beberapa kali menyelipkan kalimat, “Biasanya, kesadaran dianggap berasal dari otak. Tetapi bagaimana jika kita membayangkan bahwa dunia bermula dari bokong?”. Kalimat ini juga terwujud dalam instalasi gapura bokong monyet di pintu ruang pameran.
Natasha mengaku menyukai gagasan tersebut. Ia mengatakan tidak semua pengetahuan harus diproses hanya di kepala atau pikiran. Menurut dia, pengetahuan dan ide bisa muncul dari mana saja. Toh, itu yang terjadi di alam. Misalnya gurita yang memproses pengetahuan tidak hanya melalui otak, tapi juga lewat masukan sensorik dari tentakelnya. Demikian pula organisme seperti jamur lendir yang memproses informasi melalui sentuhan.
Peserta program Human-Machine of the Junge Akademie dari Akademie der Künste, Berlin, pada 2021-2023 ini menghabiskan waktu sekitar sembilan bulan dalam proses kreatif untuk pameran tunggalnya kali ini, yang melibatkan Audemars Piguet Contemporary dan Museum MACAN. Namun, Natasha menjelaskan, proses produksi dan penelitian “Primate Visions” membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak dibanding pada pameran sebelumnya.
Ini adalah pameran tunggal ketiga Natasha. Pameran tunggal pertamanya, “ALMANAK”, digelar pada 2018 di Cemeti Institute, Yogyakarta. Pameran tunggal keduanya, “Garden Amidst the Flame”, diadakan pada 2022 di Auto Italia, London, Inggris. Adapun pameran kolektif ia ikuti di Seoul Mediacity Biennale, Seoul, Korea Selatan, pada 2023; Singapore Biennale pada 2022; Stroom Den Haag pada 2022; Protozone8 Queer Trust, Zürich, Swiss, pada 2022; Arko Art Council, Seoul, pada 2022; dan Leeum Museum of Art, Seoul, pada 2022.
Kurator pameran dari Audemars Piguet Contemporary, Denis Pernet, mengatakan karya-karya Natasha menciptakan lingkungan fantastis dan imajiner yang mengeksplorasi pembalikan dinamika kekuasaan. Karya-karya tersebut mengacu pada teks-teks teoretis dari para penulis, termasuk Donna Haraway, yang diterjemahkan melalui cara bercerita yang menyenangkan untuk membedah interaksi rumit antara yaki dan masyarakat Minahasa.
Pernet mengatakan, dalam karyanya, Natasha berupaya mengungkap bias dan hubungan manusia dengan hewan yang berdampingan di alam dan membayangkan pemahaman antarspesies menjadi lebih memungkinkan. “Ini adalah momen yang mengasyikkan bagi praktik Natasha dengan menggabungkan instalasi dan video multisaluran untuk pertama kali,” ucapnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul Ketegangan Manusia dan Primata