SEMUT-semut merah berkeliaran mencari makan. Seekor anjing menggondol sepotong tangan manusia. Permulaan yang mencekam. Tiba-tiba adegan yang mirip adegan dalam film Yojimbo karya Akira Kurosawa itu dientakkan oleh lagu koboi yang dinyanyikan dengan suara sumbang beraksen Jepang. Ternyata itu cuma adegan film karaoke. Dan suara sumbang tadi berasal dari Eddie Sakamura (Carry-Horioyuki Tagawa), anak pemimpin perusahaan- induk raksasa Jepang. Cheryl Attstin (Tatjana Patita), cewek berambut blonda, pacar Sakamura, segera hengkang, bosan mendengarkan suara yang jelek itu. Malam itu juga, sehabis berkaraoke, mereka menghadiri sebuah resepsi pembukaan Gedung Nakamoto, sebuah gedung pencakar langit milik pengusaha Jepang di Los Angeles, Amerika Serikat. Dan ketegangan segera muncul: malam itu juga, Cheryll ditemukan mati dicekik di meja di dalam gedung itu. Inilah film Amerika yang diputar di Jakarta pekan ini, yang Agustus lalu menghebohkan Amerika: sejumlah orang Jepang- Amerika memprotesnya sebagai film yang rasialistis. Apa boleh buat, film ini diangkat dari novel karya Crichton, seorang dari generasi Amerika yang resah dengan dominasi ekonomi Jepang di Amerika. Chrichton, yang menjadi populer karena Jurassic Park, novel tentang hidup kembalinya dinosaurus yang juga difilmkan dan juga sudah diputar di Indonesia, mencoba memperingatkan bangsanya agar memasang strategi yang lebih ampuh terhadap orang Jepang. Tapi, mengapa baru setelah menjadi film, Rising Sun diprotes? Bukankah novelnya, yang sebenarnya lebih keras bau rasialistisnya, sudah terbit tahun lalu? Coba lihat, Philip Kauffman tak mentah-mentah mengangkat novel Chrichton itu ke dalam bahasa gambar bergerak. Kauffman, sutradara idealistis yang pernah belajar filsafat Timur, dalam film-film terdahulunya, misalnya The Unbearable Lightness of Being yang dibuat berdasarkan novel Milan Kundera, dan Henry and June berdasarkan biografi novelis Amerika Henry Miller, lebih menyorot hubungan antarmanusia. Demikian pula dalam Rising Sun, ia memfokuskan cerita pada konflik antarmanusia akibat latar budaya yang berbeda. Itu sebabnya Kauffman mengganti tokoh detektif Web Smith, yang dalam novel adalah seorang Amerika kulit putih, menjadi seorang detektif Afro-Amerika (diperankan Wesley Snipes). Ini mestinya untuk mempertajam bahwa ketegangan rasial di Los Angeles tidak hanya terjadi antara kulit putih dan Afro- Amerika, tapi juga antara imigran Asia-Amerika dan Afro- Amerika. Dalam novel, yang disajikan adalah perang bisnis antara Amerika dan Jepang, dan penggambaran praktek bisnis Jepang yang licin, licik, dan berbahaya. Dalam film, gambar-gambar bercerita tentang perang bisnis akibat konflik latar budaya yang berbeda. Tokoh-tokoh Jepang yang baik diperkuat. Tokoh pengusaha Amerika yang korup dan bermuka dua menjadi lebih nyata. Detektif Amerika yang bersikap rasialistis macam Letnan Graham (Harvei Keitel) dengan jelas dianggap sebagai the bad guy. Kauffman pun menggambarkan kedua protagonis, Smith dan Connor (Sean Connery), bukan sebagai pahlawan yang suci: mereka adalah detektif yang pernah menerima suap. Jadi, sebenarnya Kauffman memperhalus tudingan Chrichton terhadap perilaku binis orang Jepang. Tapi tampaknya gambar lebih cepat memancing emosi daripada tulisan. Dan sebuah adegan dalam film Rising Sun menggambarkan bagaimana orang Jepang dibantai di sebuah perkampungan kumuh masyarakat Afro-Amerika. Detektif Web Smith dan John Connor dikejar-kejar gangster Jepang. Mereka tersesat di perkampungan orang hitam. Lantas Smith meminta kawan-kawannya untuk ''membereskan'' gangster Jepang itu. Kontan Michael Ishii, ketua gerakan koalisi perlawanan terhadap film Rising Sun di New York, melihat adegan itu dengan tafsiran begini: ''Adegan ini seperti memberikan pesan bahwa menyerang orang Asia itu boleh-boleh saja.'' Yang menarik, masyarakat Jepang di Jepang tenang-tenang saja. Kritik yang dilontarkan hanya melalui resensi film. Misalnya, kritikus film Jepang ternama, Yoshio Shirai, menulis dalam majalah Shukan Yomiuri ''...orang AS memang cenderung menganggap budaya asing sebagai budaya aneh.'' Toh film Rising Sun tetap beredar di seantero Amerika, dan menjadi semacam tes: ternyata masyarakat melting pot Amerika masih menyimpan masalah rasialisme, yang tak selalu terlihat di permukaan. Dari sudut ini Amerika mestinya berterima kasih pada Kauffman, yang tak sepenuhnya berhasil mengangkat persoalan hubungan antarmanusia dalam Rising Sun. Persoalan yang kompleks digambarkan secara simplistis. Adegan berkelebat ganti-berganti antara gelandangan di Los Angeles dan ketinggian gedung-gedung pencakar langit milik Jepang di Amerika adalah visualisasi dari pertanyaan novelis Crichton: bagaimana orang Jepang bisa hidup begitu mewah di Amerika, sedangkan orang-orang Amerika sendiri hidup menderita? RISING SUN Sutradara: Philip Kauffman Skenario: Philip Kauffman, Michael Crichton, Michael Backes, Pemain Sean Connry, Wesley Snipes, Cary-Horioyuki Tagawa, Produksi: Twenty Century Fox Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini