Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kritik Dogma Seni Kontemporer, Zazu Gelar Pameran Tunggal di Orbital Dago

Zahra Zubaidah tidak menyangka, sekolah seni ternama itu terbatas hanya mengandalkan seni kontemporer.

28 Agustus 2021 | 17.54 WIB

Pameran tunggal Zahrah Zubaidah alias Zazu bertajuk Studi Karantina. (Dok.Orbital Dago)
Perbesar
Pameran tunggal Zahrah Zubaidah alias Zazu bertajuk Studi Karantina. (Dok.Orbital Dago)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Bandung - Seorang pelukis muda Bandung, Zahrah Zubaidah alias Zazu, 26 tahun, mengkritik soal ajaran seni kontemporer di almamaternya. Kritikan itu ia cetuskan saat menggelar pameran tunggal di galeri Orbital Dago sejak 20 Agustus hingga 9 September 2021. Pada pameran bertajuk Studi Karantina itu, kekaryaannya digarap di masa pandemi dengan menonjolkan estetika keindahan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Di ruang galeri, lukisannya terlihat semarak oleh aneka warna cerah. Obyeknya tentang orang, tanaman, bunga, lanskap, juga abstrak. Pilihan corak lukisanya itu berdasarkan pencarian dan kegelisahan Zazu selama kuliah di Glasgow School of Art di Skotlandia sejak 2016 hingga 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Mereka tidak mengajarkan seni tradisional, gambar yang baik seperti apa, komposisi, dan estetika lukisan,” katanya kepada Tempo, Jumat, 27 Agustus 2021.

Materi kuliahnya di sana berbasis seni kontemporer. Meninggalkan seni tradisional, sejarah seni rupa yang diajarkan mulai dari era seni post-modernisme. Padahal Zazu ingin belajar tentang estetika dan tujuan berkarya seperti pada seni terdahulu. Apalagi dia tertarik dengan seni abad pertengahan.

Seri lukisan Zazu yang terinspirasi dari lingkungan dan alam. (Dok.Orbital Dago)

Kondisi seperti itu membuatnya kaget hingga muncul penolakan dari materi kuliah yang diajarkan. Dia tidak menyangka, sekolah seni ternama itu terbatas hanya mengandalkan seni kontemporer. Zazu merasa ada nilai penting yang hilang seperti nalai-nilai estetika seni. “Saya tidak mengingkari keberadaan seni rupa kontemporer, tetapi mempertanyakan penalaran dan sarana ekspresinya,” kata dia.

Sambil beradaptasi menjalani studi, Zazu menelusuri sendiri pengetahuan tentang seni yang diyakininya sambil membaca buku-buku filsafat. Filosofi seni Zazu sangat dipengaruhi oleh karya seorang filsuf Inggris Roger Scruton yang tulisannya meluas dari estetika hingga filsafat politik. Dia percaya bahwa seni adalah bentuk penting dalam menghadirkan citra kehidupan manusia, dan mengembalikan keseimbangan moral.

Selain itu, keindahan menjadi aspek paling dasar dari sifat manusia yang membimbing ke arah harmoni dengan diri dan orang lain. Pandangan itu ikut membantunya dalam berkreasi melukis. “Saya ingin melihat karya secara subyektif dan obyektif,” ujarnya.

Inspirasi lukisannya berasal dari pengalaman keseharian dan lingkungan sekitarnya di Bandung. Hasilnya seperti pada lukisan berjudul Plant I dan II, serta In the Garden. Pada tema seperti itu warna hijau yang mendominasi senagaja ditampilkan untuk menguatkan kesan alami dan mengalirkan ketenangan. 

Selama pandemi, Zazu mendambakan sesuatu yang lebih otentik dan menemukan pelipur lara dari alam. 

ANWAR SISWADI

Istiqomatul Hayati

Istiqomatul Hayati

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus