Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Narasi Kritis tentang Kebangsaan

Pelukis Kokoh Noegroho mengkritik berbagai aspek kehidupan dalam karyanya yang dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia. Ia menyoroti isu kebangsaan hingga politik. 

2 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pameran Solilokui karya R. Kokoh Noegroho di Galeri Nasional, Jakarta, 29 September 2022. TEMPO/Magang/Haninda Hasyafa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lukisan berukuran panjang 11,75 meter dan lebar 1,39 meter terpampang di salah satu sudut ruangan Gedung A Galeri Nasional Indonesia sejak 7 September lalu. Jika dilihat dari jauh, panjang lukisan di atas kanvas itu mirip panjang bus Transjakarta. Lukisan tersebut merupakan bagian dari 108 karya lukis R. Kokoh Noegroho dalam pameran tunggal berjudul “Solilokui”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lukisan berjudul Dunia di Bawah Kawanan Gagak itu sekilas mirip relief pada candi. Sebab, lukisan tersebut menggambarkan sebuah perjalanan kisah di bumi jika dilihat dari kiri ke kanan. Dari kiri, terdapat gambar dua serdadu dan dua kepala kuda yang beradu. Itulah gambaran perang salib yang terjadi ratusan tahun silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berikutnya, Kokoh melukis wajah Gavrilo Princip, seorang nasionalis Serbia yang membunuh Pangeran Franz Ferdinand dari Austria-Hungaria di Sarajevo pada 1914. Pembunuhan itu menjadi salah satu penyebab pecahnya Perang Dunia I. Di bawah lukisan wajah Gavrilo Princip, Kokoh membubuhkan kalimat “I'M NATIONALISM!!”

Selanjutnya, Kokoh menggambar sebuah pesawat tempur kuno bermesin baling-baling yang terbang di atas seorang serdadu yang merayap sembari membidik senapan panjangnya. Pada bagian berikutnya, Kokoh melukis tiga orang dengan pakaian hazmat dan masker dengan latar lukisan tengkorak besar. Lukisan tersebut menggambarkan kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal 2020 hingga kini mereda.

“Dunia Dibawah Kawanan Gagak” karya R. Kokoh Noegroho di Galeri Nasional, Jakarta, 29 September 2022. TEMPO/Magang/Haninda Hasyafa

Narasi karya tersebut berakhir dengan sosok wajah mirip Presiden Rusia Vladimir Putin yang tertawa. Di bawah sosok Putin tergambar prajurit berbaris yang menggambarkan invasi militer Rusia ke Ukraina. Sesuai dengan judulnya, terdapat belasan gambar burung gagak berkelir hitam di sudut atas lukisan panjang tersebu

"Bhineka Tanpa Eka" karya R. Kokoh Noegroho yang dipamerkan dalam pameran Solilokui Galeri Nasional, Jakarta, 29 September 2022. TEMPO/Magang/Haninda Hasyafa

t.

Kokoh juga punya lukisan lain berukuran besar. Salah satunya berjudul Bhineka Tanpa Eka yang ia bikin pada 2020. Karya itu berukuran 340 x 580 sentimeter. Lukisan tersebut menampilkan 11 orang yang berbaris dengan raut wajah berbeda. Bahkan ada dua orang yang digambarkan menghadap ke belakang. Kesebelas orang itu berdiri di atas perahu panjang yang terbuat dari kayu. Kokoh menambahkan tulisan “Nusantara” yang terbalik pada perahu itu.

Lukisan Bhineka Tanpa Eka itu merupakan bentuk kegelisahan dan keresahannya tentang kondisi bangsa Indonesia saat ini. Menurut Kokoh, Indonesia hari ini sudah luntur akan nilai kebersamaan dan perbedaan, yang sejatinya menjadi arti kata bineka. “Kebinekaan bukan lagi nilai yang bisa dibanggakan oleh warga negara Indonesia,” kata Kokoh ketika dihubungi, Kamis lalu.

Alih-alih terwujud toleransi atas perbedaan, sentimen etnis, ras, dan agama justru menjadi hal paling menonjol saat ini. Walhasil, Kokoh menambahkan, manusia Indonesia saat ini tak lebih dari orang-orang egois. Bahkan cenderung mencintai kekerasan fisik ataupun verbal hanya karena menganggap orang lain berbeda dengannya dan kelompoknya.

Karena itulah Kokoh menggambar orang-orang di atas perahu dengan mimik muka saling curiga, bahkan ada yang menghadap belakang. “Dua sosok itu (yang memunggungi orang lain) gambaran generasi milenial yang sering kali menghadap gawai dan tidak mempedulikan orang lain,” tutur pria berusia 46 tahun itu.

Selain itu, ada lukisan Kokoh yang berjudul Republik Adikuasa, yang ia bikin pada 2019. Lukisan berukuran 340 x 580 sentimeter itu menampilkan seseorang berpostur tinggi hendak menyampaikan sesuatu. Namun di sekitar orang jangkung itu berseliweran kepala-kepala melayang dengan ekspresi tersembunyi dan dingin.

Sosok jangkung itu sedang menghadap orang lain yang lebih kecil yang menyatu dengan sosok besar mirip babi hutan dengan taring menjulang. Babi hutan itu tampak seakan-akan mudah menyeruduk sosok jangkung yang berdiri di depannya. Warna biru dan merah menjadi kelir dominan dalam lukisan tersebut.

“Republik Adikuasa” karya R. Kokoh Noegroho dalam pameran Solilokui di Galeri Nasional, Jakarta, 29 September 2022. TEMPO/Magang/Haninda Hasyafa

Dalam lukisan itu ia menyoroti gambaran pemerintah dan negara Indonesia saat ini. Menurut pria kelahiran Semarang itu, pemimpin Indonesia tidak bisa lagi dengan bebas mengedepankan konsep bernegara yang benar. Kokoh mengkritik langkah pemimpin yang terganggu kepentingan politik setiap kali mengambil keputusan.

“Selama sistem pemilihan presiden dan anggota legislatif masih didorong partai politik, selama itu pula pemimpin kita hanya boneka dari partai politik.”

Kokoh mengaku mayoritas karyanya merupakan wadah menuangkan kritik terhadap apa pun yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Entah itu isu politik, sosial, agama, atau lainnya. Pria lulusan Universitas Negeri Semarang itu beralasan seni adalah salah satu bentuk strategi untuk mengkritik keadaan.

Kokoh menambahkan, karya seni merupakan gambaran keadaan zaman sebagai pengingat buntuk masa yang akan datang tentang realitas dan keadaan yang terjadi pada satu masa. “Jadi, bukan cuma lukisan, bisa juga karya di luar seni lukis. Bisa sastra, teater, dan lainnya,” kata dia.

Kurator pameran, Djuli Djatiprambudi, mengatakan pameran “Solilokui” merupakan bentuk kepercayaan Kokoh pada kedalaman rasa dan intuisi. Kokoh justru mempertajam rasa dan intuisinya serta menambah kepekaan untuk mengeksplorasi ungkapan visual, baik denotatif maupun konotatif. 

Rangkaian karya lukis yang dipamerkan itu menegaskan bahwa Kokoh selalu peka terhadap tanda masa lalu, masa kini, dan masa depan. Pameran ini, Djuli melanjutkan, merupakan proses percakapan dunia dalam diri Kokoh. “Percakapan ini bukan didasari metode kognitif, melainkan jauh dari itu hingga ruang dialog batinnya.”

INDRA WIJAYA | FEBBYENTI SUCI RAMA TANIA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus