Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ku klux klan jawa

Dua kelompok musik rock tampil di teater terbuka tim. dengan berbagai cara kelompok gabril dan bani adam membuat variasi.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNCUL lagi kebiasaan lama itu. Menjual penyanyi pribumi dengan cap mancanegara. Maka anak muda yang bernama Farid diberi gelar 'Elton John Indonesia', lantas dilepas di panggung Teater Terbuka TIM - 7 Mei yang lalu. Yah sebagai jerat untuk menggaet penonton, bolehlah. Tapi Far,id nampaknya lebih baik bernama Farid saja daripada John ini-itu. Kan sudah bagus. Malam itu ditampilkan 2 kelompok musik rok. Namanya seram-seram. Generaton of Brilliancy, disingkat Gabril, satunya lagi bernama Bani Adam. Bayangin. Yang pertama turun dengan 3 orang awak: Yuke (vokal, bas), Tandry (dram) serta Daniel (keyboard). Sejak awal sudah jelas gelagat mereka mau meniru Emerson Lake and Palmer (ELP) dengan mencoba membawakan lagu Toccata. Disusul dengan lagu Yerusalem yang hampir saja membuat mereka antara kurung pingsan. Masih sempat ditambah lagu kepunyaan Beatles yang bernama Let It Be. Sampai di sini sudah jelas bahwa grup ini masih sangat lemah. Kelemahan tersebut mereka coba angkat dengan gaya Ku Klux Klan. Seseorang mengenakan kerudung putih menyeruak dari panggung sambil berkoar-koar. 4 orang anak pun meletakkan tubuh seseorang ke dalam peti mati yang sudah ditulis: G'Brill. Kemudian Ku Klux Klan itu menyemburkan api dari mulutnya, yang lantas menjilat tumpahan minyak pada peti. Musik mengganas. Api berkobar-kobar. Setelah berangsur Padam. tampaklah apa yang mau mereka kerjakan. Tokoh putih itu segera mengangkat sebuah kerangka manusia dari dalam peti. Segera pula benda itu ditutup kain. Mulut pun komat-kamit di sudut panggung kayaknya baca mantera. Tokoh putih itu tiba-tiba pula membentak. Bersamaan dengan gebrakan itu, kain tersingkap, serta anak yang ada dalam peti itu tahu-tahu saja sudah nongkrong di papan. Tetap segar bugar. Lepas sulapan tersebut, tibalah giliran Bani Adam. Di sinilah muncul Farid Hardja yang sudah berusia 26 tahun itu. Ia mengenakan celana putih ketat berkilat seperti pinjaman dari Elvis Presley. Langsung melemparkan lagu Smokie (Boston Group). Tubuhnya yang nyaris bulat menggelinjang kian-kemari. Ia bukan penari, ia bekas mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pasundan Sukabumi. Ia pun sesungguhnya agak sungkan dikasih nama Elton John. "Itu gara-gara banyolannya Rudy Djamil di Bandung tempo hari", ujarnya. "Saya nggak mau disebut Elton John ah. Kalau dia itu nabi, saya baru mau". Farid yang juga menyanyikan lagu: Give it every thing we got ciptaannya sendiri boleh dibilang agak konyol. Apalagi tatkala ia mencoba memanfaatkan kepalanya yang agak botak untuk menyamar jadi Elton John yang botak itu. Dengan celana jin, baju berwarna beler, kaca mata serta sebuah gitar, ia menyanyikan Come Back to Louisiana. Kemudian ia jelaskan yang dimaksudnya dengan Louisiana adalah kota Sukabumi. Rupa-rupanya ia punya bakat untuk melucu, di samping juga sebagai tukang sulap. Dengarlah sementara penonton menyangka ia sedang menarik sebuah Iagu asing, tak tahunya temyata lagu Melayu tentang ular naga yang bemama Panglima Amri -- jadi bukan Panglima Abri seperti didengar beberapa orang. Farid masih belum selesai. Ia masih sempat menukar lagi pakaiannya dengan baju garis-garis, dan topi oranye seperti tukang parkir Jaya. Ia menyanyikan lagu Bani Adam Band -- sebagai lagu penutup acara. Padahal jam baru menunjukkan pukul 10. Tentu saja penonton kalap. Apalagi Denny Sabri, pimpinan Bani Adam, sebelumnya telah menjanjikan akan menyodorkan 2 penari rock'n roll. "Malam ini saya tidak bisa nyanyi rok terus dong. Kalau di nite club, yang publiknya antara 400-500 dan penuh asap rokok sih bisa. Tapi malam ini penonton dari berbagai kalangan. Mereka pengin variasi", kata Farid membela diri. Tapi nyatanya penonton butuh rok. Bukan itu "variasi".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus