SEJAK tahun yang lalu sampai kini, olahraga Indonesia sedang
dilanda krisis, baik kepemimpinan maupun prestasi. Merosot terus
dan kalah terus! Bridge juga begitu. Sudah dua tahun, supremasi
Timur Jauh direbut orang lain. Perama, di Bangkok, diboyong oleh
Hongkong. Kedua di Auckland, direbut oleh Taiwan. Yang terakhir
berarti, kesempatan turut kejuaraan Bermuda jadi tertutup.
Tentu saja tidak puas. Biar begitu, toh tokoh-tokoh bridge di
Indonesia tidak pula lantas berpangku tangan, baik dia itu tokoh
resmi di dalam organisasi, maupun yang tidak resmi. Di Jakarta,
yang tidak resmi ini diprakarsai oleh dua orang. Amran Zamzami
membentuk Sasana Gajah Mada dan Pontoh membenahi Jakarta Lloyd.
Kedua sasana itu saling berlomba dalam memenangkan setiap
turnamen sejak permulaan ini. Bergantian mereka keluar sebagai
juara. Prestasi paling akhir ialah tampilnya Regu Pontoh ini
sebagai juara Piala Jarwn di Semarang, sedangkan pada waktu itu
Regu Amran Zamzami keluar sebagai juara kedua di Singapura.
Paling akhir, sasana Gajah Mada ini memenangkan Piala Hari Jadi
Kartini, 8 Mei yang lalu.
Puncak turnamen nanti telah direncanakan oleh Sasana Gajah Mada
dengan menyelenggarakan Turnamen Gaakindo ke II di Hilton Hotel
tanggal 18 dan 19 Juni. Akan diundang semua peserta PON IX,
berikut Manoppo Bersaudara dari Manado serta Regu dari Medan
yang pernah jadi juara di Singapura.
Itu semua usaha "swasta" di Jakarta. Diam-diam tokoh "swasta"
lainnya di daerah sudah mempersiapkan kuda-kuda gaya mutakhir.
Dari Surabaya, Purbiantoro yang sedang serius menangani Regu
PON, juga terlihat menyiapkan Regu lain. Kedua Regu itu
memperlihatkan kebolehannya di Semarang. Dan Semarang dengan
tokoh Teguh Santoso tak mau menyerah begitu saja. Begitu pula
dengan pindahnya dua pemain dari Bandung dan Bogor ke Medan,
Medan kini mulai memperlihatkan bijinya. Manado bukan cerita
lagi, biar pun di Semarang dapat nomor tiga.
Kebolehan Mental
Dari tokoh-tokoh itu, membenahi diri dalam kemelut krisis sejak
tahun lalu, tampaknya berdaya upaya untuk memulihkan kepercayaan
dia sendiri. Teknis bermain tidak pula kalah. Kebolehan membaca
dan menganalisa kartu tak diragukan lagi. Disadari, yang kurang
pada olahragawan bridge ini cuma satu, yaitu mental. Nah ke
sinilah mereka bertumpu.
Yang penting untuk diperhatikan ialah mental jika bertanding di
luar negeri. Soalnya begini. Di dalam negeri praktis mereka
punya semangat juang yang meluap dan ingin melalap semua lawan
dengan bagus. Hal ini tampak benar pada regu Nasional yang ke
Auckland dan juga yang ke Bangkok. Di sana, selain oleh faktor
lain, mental ini jadi turun merosot. Jika di Bangkok soal beban
psikologis, maka di Auckland soal kepemimpinan. Kaitannya jadi
latah, sebab di Auckland diturunkan 5 pasangan dari cuma enam
orang pemain. Dan sebagainya.
Karena itulah kita menghargai usaha Amran Zamzami dengan Sasana
Gajah Mada yang menekankan perlu adanya disiplin latihan, baik
latihan teknis maupun organisatoris. Demikian pula dengan Pontoh
yang mau menerapkan pola manajemen. Begitu juga dengan tokoh
lainnya, yang tetap bersemboyan pada adanya aturan permainan
dalam mencapai setiap kemenangan.
Invitasi Nasional
Upaya tokoh partikulir tadi mendapat perhatian yang serius pula
dari para tokoh yang duduk dalam organisasi Gabsi. Dengan adanya
turnamen di berbagai kota dengan hadirnya banyak peserta,
berikut juga peserta yang dianggap punya kebolehan menonjol,
maka didapat gambaran kini, sejauh mana materi pemain bridge
Indonesia.
Untuk itu maka PB Gabsi belakangan ini telah menurunkan satu
aturan baru dalam pengiriman Regu Nasional ke Kejuaraan Timur
Jauh di Manila pada mula Nopember 1977 ini, dengan mengadakan
Invitasi Nasional 1977. Invitasi ini yang intinya bertolak dari
aturan teknik yang sedang digarap oleh Komisi Sembilan sesuai
dengan putusan ongres Yogya, akan diikuti oleh maksimal delapan
regu yang setiap regu terdiri dari hanya empat orang pemain.
Regu tersebut ialan Regu juara I, II dan III PON IX tahun ini,
Regu Gabmo (Sulut), Jakarta Barat dan Jakarta Pusat (ketiganya
sebagai pemenan 1, II dan III antar Gabungan Klas A Kejurnas
1976 di Yogyakarta), dan Regu ke tujuh ialah Regu Manoppo Ber
saudara plus Lasut/Aguw (Eks Juara Timur Jauh 3 x
berturut-turut) dan Regu yang kedelapan akan diundang oleh PB
Gabsi, dilihat dari evaluasi setelah PON IX berakhir.
Dan pembentukan Regu Nasional nanti, pasangan ketiga akan
ditunjuk oleh PB Gabsi, termasuk NPC dan officials lainnya,
setelah mendengar saran dan pendapat dari semua tokoh bridge,
baik partikulir maupun yang duduk di organisasi. Soalnya pada
PON nanti, akan diselenggarakan juga per temuan Pengurus Daerah
Gabsi seluruh Indonesia.
Khusus bagi Regu Wanita, ceritanya agak lain. PB Gabsi telah
menetapkan suatu cara dengan memanggil selurul pemain yang
dianggap punya kebolehan untuk digodok di Pusat Latihan. Dari
jumlah yang dilatih itu, hanya akan diambil enam orang sebagai
anggota Regu Nasional pada saat-saat menjelang keberangkatan ke
Manila.
Tampaknya jatah Regu kedelapan dalam Invitasi Nasional itu akan
bertolak dari prestasi mutakhir dalam setiap kegiatan
pertandingan. Dan dari materi peserta, tampaknya upaya PB Gabsi
ini perlu mendapatkan perhatian, mengingat krisis yang pernah
melanda prestasi olahragawan kita di Kejuaraan Timur Jauh dua
tahun berturut ini. Dengan materi tersebut dan hadirnya Manoppo,
langit cerah membentang di atas memang. Itulah!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini