SEKIRANYA Rumah Sakit 'Undata' di Palu diperlengkapi dengan
alat-alat lebih modern, tentulah para korban tragedi Twin Otter
- yang masih dirawat sampai sekarang lebih cepat sembuh.
Betulkah itu?
Belum pasti, tenu saja walaupu untuk operasi tulang para
penderita kemarin, terpaksa/pihak rumah sakit meminjam peralatan
modern dari RS Cipto Jakarta. RS Undata memang sebuah gambaran
rumah sakit propinsi yang bisa mencerminkan kondisi pelayanan
kesehatan di daerah yang belum sepenuhnya terbuka. Hanya saja,
dengan mengingat kondisi itu, rumah sakit itu mungkin bisa jadi
contoh sukses.
Kesan pertama: ini sebuah rumah sakit yang sedang. Tidak sepi,
dan tidak hingar-bingar. Terasa teratur dan bersih -- dan jauh
dari kemewahan. Tak ada bau kencing atau ludah atau keringat,
tapi juga tak ada bau obat atau kreolin. "Bau obat-obatan itu
mengingatkan pasien bahwa ini rumah sakit", kata dr. M.P.
Simorangkir, Kepala, "padahal kita ingin si sakit merasa seperti
di rumah". Oleh alasan itu pula dinding-dinding tidak dicat
putih, melainkan warna-warna lembut.
Hotel Dan Panti Sosial
Di sini bekerja orang dokter ahli (bedah, kebidanan dan THT), 1
dokter umum tetap, 2 dokter Inpres, 1 dokter gigi, 69 tenaga
perawat, total jenderal 152 orang pegawai.
Apa boleh buat. Persyaratan minimal untuk sebuah RS propinsi
sebenarnya adalah tersedianya empat dokter ahli dan RS di Palu
itu kekurangan ahli penyakit dalam. Di samping itu tenaga
paramedis mestinya lebih banyak variasinya, yakni pegawai
golongan II yang mereka di Palu rupanya tidak mampu mencarinya.
Departemen memang tidak punya beleid untuk mendatangkannya
misalnya dari Jakarta. Kemampuan pihak Undata untuk mendidiknya
sendiri - lewat kursus, sampai sekarang berjumlah 69 orang -
tentu saja terbatas.
Beruntunglah bahwa dari segi lain, waktu Menteri Amirmachmud
bagi-bagi duit menjelang pemilu kemarin, RS ini kebagian pula Rp
50 juta untuk membantu pembangunan beberapa bangsal yang
direncanakan Pemda.
Meski begitu problim lebih penting sudah tentu bukan hanya
kelengkapan atau perluasan melainkan juga kwalitas pelayanannya
berdasar kemampuan maksimal. Dan dr. (spesialis bedah) M.P.
Simorangkir lulusan UI 1971 yang memimpin rumah sakit ini sejak
berdiri, merasa beruntung karena ia merupakan pemula. "Otomatis
orang yang datang di belakang mengikut saya", katanya.
Ini penting khususnya dalam membangun 'watak' rumah sakit
sebagai sebuah tempat yang menurut dokter kelahiran Tarutung ini
merupakan perpaduan antara hotel dan panti sosial. "Sebagai
hotel, tamu yang beruang memang kita layani. Mau enak kasih yang
enak, asal beruang. Tapi sebagai rumah sosial tidak bisa. Orang
yang tidak bisa bayar pun harus dilayani. Tak ada uang buat
obat, harus dikasih obat, walaupun jenis yang murah".
Simorangkir bertugas di sini karena Gubernur Jasin memindahkan
dia. Kebetulan, setelah punya RS Kabupaten Donggala, Pemda
memang menginginkan sebuah RS propinsi yang diharap ideal - dan
kompleks yang dibangun sejak 1970 sampai 1972 dengan biaya 19
juta dari APBD dan 11 juta dari APBN, sudah setahun menganggur.
Di sinilah ia dibantu oleh wakilnya dr. Kamaluddin plus seorang
tenaga perawat yang merangkap kepala TU, seorang juru tik dan
seorang tukang kebun selama 8 bulan pertama menghadapi pelbagai
kesukaran. Tahun pertama itu anggaran dinyatakan defisit. Apakah
untuk mengatasinya terpaksa ditetukan kenaikan tarif perawatan?
5 Butir Telor
Tahun anggaran berikutnya Gubernur mendrop lagi 15,5 juta - dan
jumlah ini berlebih. Tarif pasien sendiri di sini adalah: Rp 0
sampai Rp 500 untuk klas bangsal (sedang biaya riil sebenarnya
Rp 590 sampai Rp 595). Klas II, dengan ruangan juga di bangsal.
Hanya "makan lebih enak", Rp 3.500. Klas 1 Rp 5.000. Dan hanya
kepada pasien yang di bangsal dikenakan kewajiban 'uang panjar'
sebanyak Rp 5.000 untuk 10 hari. Nah. Justru uang panjar inilah
yang biasanya merupakan pokok keributan. Tidakkah pasien yang
gawat siapa tahu meninggal karena soal uang panjar ini ?
"Itu tak pernah terjadi". Simorangkir menjawah. Setiap pasien
yang datang dan tampak parah, katanya, diserahkan kepada dokter.
Hanya apabila penyakit tidak kritis atau masa kritisnya sudah
berlalu setelah perawatan permulaan, keluarganya ditanya.
Tetapi prinsip yang kita tanamkan hersa sejak pemlulaan ialah:
setiap orang sakit. tak ada uang, harus diberi pelayan
kesehatan yang sama .
Ia malah bisa bercerita: ada beberapa orang tani yang akhirnya
dikembalikan uang panjar mereka karena setelah
berbincang-bincang secara pribadi diketahui uang itu hasil
menjual sapi yang digunakannya di sawah sedang waktu datang tak
membawa 'surat tidak mampu dari kelurahan. Ke sini juga pernah
datang seseorang yang anaknya menelan sesuatu yang tidak bisa
dikeluarkan. Apa boleh buat, RS Undata tak punya alat untuk
menolongnya. Jadi disuruh ke Ujungpandang. Tapi si ayah bilang:
kami tak mampu. Rumah sakit lantas memberi uang Rp 60.000 kepada
orang ini buat biaya pesawat pulang-balik - "dan saya pribadi
menyumbang uang makan selama di perjalanan". Saya bekali dengan
surat untuk dokter di sana: tolong, gratis". Nah, "setelah
mereka kembali. apa yang dibayarkan kepada kita? Lima butir
telor" . . . Itu tahun 1975.
Tapi bagaimana 'amal sosial' seperti itu bisa
dipertanggungjawabkan dari segi anggaran? "Karena memang
tersedia dana untuk itu', jawab Simorangkir. Dari keuntungan
kotor per bulan, 15% (sekarang ini berjumlah 600 - 700 ribu
rupiah) diizinkan oleh Gubernur Tambunan untuk dibagi di antara
152 pegawai. Misalnya yang tugasnya berat (dokter ahli, supir
ambulans, kepala dapur, tenaga teknik) semuanya sama: Rp 7,5
ribu. Lainnya kecil-kecil, misalnya penjaga portir mendapat Rp
2.000. "Nah sisa di luar itu disediakan juga untuk cadangan
bantuan sosial".
Mengejutkan Guberur
Di sarnping yang "sosial" itu, dokter ini pernah mengejutkan
Gubernur. Ia pernah mengumumkan nama-nama para penunggak yang
lari sehabis perawatan. Dan mereka bukanlah para pasien bangsal,
melainkan tuan-tuan klas. Namanama itu ditempelkan di papan
pengumwnan di rumah sakit: terdiri dari orang-orang pemerintah
sampai DPRD.
Tentu saja khalayak gempar, "Untung Pak Tambunan mendukung saya"
Simorangkir berkata, "padahal saya sudah beberapa kali minta
berhenti". Itu terjadi tahun 1974, dalam jangka 2 tahun pertama
yang masih penuh kesulitam Dan dalam jangka itu pula, antipati
orang kepada tokoh ini, yang oleh orang tak suka kadang disebut
sebagai "tokoh disiplin batu", berkembang.
Sikap masyarakat pula yang menyebabkannya mengalami kesukaran
dalam membuka sistim asuransi - yang sebenarnya merupakan salah
satu tiang penunjang kehidupan sebuah RS. Karena kesulitan
administratif kepamongprajaan, akhirnya sistim ini hanya
dikenakan kepada pegawai negeri, per dinas. Apakah cara seperti
itu juga dilaksanakan di RS lain?
Ya, dr. Coenawan sudah melaksanakamlya di Yogya -- itu dokter
yang mendapat satya lencana". Bahkan, sistim tersebut
dilaksanakan dr. Goenawan di kalangan penduduk desa. Dan ini
bisa karena di Jawa, walaupun desa, sudah ada administrasi yang
baik. Di Palu misalnya, seperti diceritakan Simorangkir, pernah
Pak Camat menunjuk Desa Lolo sebagai percobaan. "Tapi waktu saya
tanya kepada Kepala Desa, berapa anggota masyarakat yang
diurusnya, ia tidak tahu".
Mungkin kelak akan berbeda keadaannya. Di masa depan RS Propinsi
ini tidak lagi akan seperti yang sekarang. Kota akan berkembang.
Kehidupan akan makin kompleks. Orang barangkali akan berjubel di
pintu rumah sakit -- seperti di Jakarta. Orang memang faham
bahwa untuk menanggulangi hal itu memang diperlukan perencanaan
jauh-jauh hari - misalnya dalam hal penyebaran pelayanan
kesehatan.
"Keadaan akan menjadi kompleks kira-kira sesudah 5 tahun
mendatang", kata Simorangkir. "Sekarang saja tuntutan masyarakat
dan ini antara lain yang menyebabkan biaya perawatan naik -
sudah terasa. Misalnya kalau tadinya orang cukup pakai ruangan
biasa, cukup asal ada angin lewat, sekarang mau pakai AC -- dan
bersedia membayar lebih mahal. Lalu supaya bisa merokok, tambah
pula penyedot udara". Di RS Palu sendiri tentu saja tak ada AC .
"Yang penting sekarang bukan itu".
Yang penting ialan bagaimana membina sebuall rumah sakit dengan
managemen yang baik - dan bisa bertahan dalam fungsinya yang
ideal. Dokter ini sendiri, yang mengaku pada tahun pertama dulu
bertindak sebagai "semi diktator" (sedang pada tahun kedua mulai
membagi wewenang, dan tahun ketiga lebih aktif menampung
saran-saran bawahan), menyebut bahwa sebetulnya sampai sekarang
belum ada mata kuliah 'managemen rumah sakit' di fakultas
kedokteran. Ini memang satu hal yang tentunya bukan cuma dia
yang memikirkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini