Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hukumnya Bayi Terpotong

Turiyem, penduduk Bandar Lampung, melahirkan bayi yang terpotong kepalanya-tertinggal di dalam perut. Pihak keluarganya yang menduga akibat kelalaian dokter melapor ke polisi. Polisi kesulitan mengusut. (hk)

27 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUATU yang mengerikan dialami keluarga Suhairi dan Turiyem di Bandar Lampung. Mendekati kelahiran bayi pertamanya, Suhairi mengantarkan istrinya ke rumah sakit Abdoel Moeloek, malam Jumat, dua pekan lalu. Paginya, bayi yang ditunggu-tunggu itu lahir. Tapi, yang diserahkan petugas rumah sakit kepadanya adalah mayat bayi tanpa kepala. Kepala si anak, yang terputus ketika dilahirkan, baru bisa dikeluarkan keesokan harinya. Peristiwa ganjil itu, sampai pekan lalu, masih menggemparkan penduduk Bandar Lampung. Keluarga Suhairi, yang tidak puas atas pelayanan rumah saht, melaporkan kejadian itu kepada polisi. Sebab, menurut Nurdin Ali, paman si bayi, keluarganya mencurigai bahwa peristiwa mengerikan itu akibat kelalaian dokter dan bidan di rumah sakit. Alasannya, potongan kepala bayi itu, katanya, tidak rata - seperti bekas ditarik secara paksa. Wakil kepala Polres Bandar Lampung, Mayor Nurdin, membenarkan bahwa pihaknya tengah mengusut kasus itu. Tapi ia tidak bersedia menjelaskan secara terinci tentang kemungkinan petugas rumah sakit dipidana akibat peristiwa itu. "Yang jelas, beberapa petugas rumah sakit, termasuk dokter yang menangani kelahiran itu, kini diperiksa," ujar Nurdin. Yang mungkin sudah bisa dipastikan hingga kini, di rumah sakit itu Turiyem - yang sebelumnya dikabarkan bahwa kandungannya mempunyai kelainan ternyata ditangani seorang dokter umum. Kepala Bagian Kebidanan dan Kandungan di rumah sakit itu, dr. Rudi Sondakh, tidak ada di tempat tugasnya ketika peristiwa terjadi. Dokter Zainuddin, yang menangani kelahiran bayi Turiyem, membantah bahwa kematian bayi itu akibat kelalaiannya. Menurut Zainuddin, Turiyem, 20, diantar ke rumah sakit sudah dalam keadaan lemah. Sebab, kata Zainuddin, ketuban waktu itu sudah pecah, dan si bayi disimpulkan telah meninggal 24 jam sebelumnya, dalam posisi sungsang atau terbalik. Menurut Zainuddin, malam itu juga ia memberi "obat pendorong" untuk mempercepat kelahiran. Toh, sampai pagi keesokan harinya, bayi belum juga keluar. Karena itu, ia melakukan tindakan terakhir, yang dikenal dengan perforatie, yaitu mempercepat kelahiran dengan mengempiskan kepala si bayi. Dengan sebuah alat, otak si bayi ditembus, agar cairan di dalamnya keluar. Usaha itu ternyata gagal. Maka, bayi itu dipaksa keluar dengan ditarik. Tapi, malang, kepala bayi putus dan tertinggal di dalam sampai keesokan harinya. "Kami terpaksa melakukan tindakan darurat itu karena bayi itu sudah membusuk di dalam," ujar Zainuddin. Ia tidak melakukan tindakan operasi karena khawatir si ibu akan mengalami pendarahan. Zainuddin, ayah empat anak, mengatakan bahwa tindakan semacam itu sudah biasa dilakukan di kalangan kedokteran. Hanya saja, katanya, kesalahan baru terjadi ketika bidan menyerahkan bayi tanpa kepala. Dokter Rudi Sondakh membenarkan tindakan yang diambil Zainuddin. "Idealnya, memang, ibu dan anak harus diselamatkan. Tapi, dalam kasus ini, si anak tidak tertolong karena sudah meninggal sebelumnya," kata Rudi, yang mengaku sudah 13 tahun berdinas, kepada Antara. Kesalahan Zainuddin dan bidan-bidan itu, kata Rudi, adalah menyerahkan bayi tanpa kepala. Karena itu, ia telah memperingatkan Zainuddin dan bidan-bidannya. "Agar kelak mereka lebih teliti," tambah Rudi. Kepala Kanwil Kesehatan Lampung, dr. J. Djalin, seperti juga Rudi dan Zainuddin, menganggap kematian bayi itu wajar. "Tapi penyerahan bayi tanpa kepala itu tidak manusiawi lagi. Karena itu, harus diambil tindakan tegas kepada mereka yang bertanggungjawab," ujar Djalin. Selain Zainuddin, Djalin juga menyalahkan Rudi Sondakh. Sebab, Rudi - yang tahu bahwa kandungan Turiyem mengalami kelainan - masih menyerahkan tugasnya sebagai dokter ahli kepada dokter umum. "Karena itu, Rudi harus bertanggung jawab," ujar Djalin. Soalnya kini: Adakah unsur pidana dalam kasus itu? Nurdin Ali tidak mempercayai keponakannya sudah mati sebelum dilahirkan - apalagi sudah membusuk. "Mayat bayi itu tidak benar berbau busuk," kata Nurdin. Masalah yang sulit bagi polisi kini adalah memastikan si bayi ketika ditarik masih hidup atau sudah mati. Mungkin, dokter yang memeriksa mayat - untuk visum et repertum - bisa memastikannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus