Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Olivia Zalianty mendadak jadi lebih tua sepuluh tahun. Dengan kebaya hijau dan selendang batik merah, dia menjadi perempuan kampung yang menahan dera. Telah 36 tahun Misna, tokoh yang dibawakan Olivia, menanggung beban hidup bersama dua bocah, Lili dan Tata. Derita yang menghelanya sudah demikian menyiksa. Olivia menjeritkannya lewat bait-bait puisi Sisa Sore di Daster Misna.
Apa yang menjelma seketika/saat langit atapnya runtuh/lantai terjungkit dan/cerobong dapurmu tersedak?
Ini kisah Misna dan hatinya. Hati perempuan seperti badai semalam: sepanas infotainmen yang tak pernah usai.... Badai itu membakar dan menelan dapur, juga Lili dan Tata, juga foto tua, kamar tamu, tubuh tambunnya, jalan raya, dan akhirnya seisi kampung. Sejumlah pemain Teater Kosong berbaris rapat dengan kain merah yang dilambai-lambaikan menyerupai lidah api. Tata gerak yang dirancang Jecko Siompo, koreografer asal Papua, menambah gemuruh kebakaran yang terjadi di kampung Misna.
Begitulah Radhar Panca Dahana merayakan penerbitan kumpulan puisi terbarunya, Lalu Aku. Pertunjukan pada Senin dan Selasa pekan lalu itu berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta dan didukung beberapa seniman sahabat Radhar, seperti Jecko Siompo untuk menggarap koreografi, Jalu G. Pratidina untuk skor musik, Yaser Arafat untuk tata musik, dan Samuel ÂWattimena sebagai penata busana.
Sutradara Radhar juga mendaraskan barisan sajak dari kumpulan puisi keempatnya ini. Sesekali tubuhnya bergoyang, bergerak, berputar, melompat, berlari hingga jatuh bersimpuh bersama irama musik yang mengiringi sajak-sajaknya. Penyair kelahiran Jakarta, 26 Maret 1965, itu memilih 18 dari 45 puisi dari buku Lalu Aku untuk digubah menjadi sebuah pertunjukan.
Pembaca puisinya, selain Olivia, adalah Meritz Hindra, Nugie, Glenn Fredly, dan Yockie Suryoprayogo. Mereka tampil dengan caranya masing-masing dan, tentu saja, dengan dukungan musik serta pemain Teater Kosong pimpinan Radhar. Nugie, misalnya, membaca puisi dengan gaya rapper. Adapun Meritz, aktor kelahiran 1949 yang bermain teater sejak 1970-an, tampil menonjol dengan membawakan puisi tanpa teks. "Saya memang sengaja mengeksplorasi kekuatan mereka untuk puisi-puisi saya. Mereka bebas menafsirkan puisi saya sesuai dengan bidang mereka," kata Radhar.
Jecko Siompo juga terbilang lumayan menafsir puisi Radhar. Dia tak hanya menampilkan puisi melalui gerak tubuh yang gamblang, tapi juga membawa para pemeran masuk ke puisi itu, seperti yang terlihat dalam puisi Hari Penghabisan Itu. Ini merupakan suatu kesatuan yang kuat antara penari, Radhar, dan musik. Penari ikut melafalkan puisi yang dibawakan Radhar, dan musik arahan Yaser Arafat membangun suasana yang pas untuk puisi tentang kiamat itu.
Radhar telah berkolaborasi dengan sejumlah artis dalam setiap peluncuran buku puisi atau cerita pendeknya. Puisinya pernah dibawakan dengan gaya rock oleh Renny Djajusman, atau paduan suara oleh grup Aning Katamsi, atau dibacakan dalam 10 bahasa, termasuk bahasa Sunda oleh Desy Ratnasari, dan bahasa Betawi oleh Rano Karno. Dia juga bekerja sama dengan banyak seniman, dari pelawak Dono "Warkop", perupa Rahmaiani, hingga musisi Tony Prabowo.
Dengan cara itu, orang bisa menikmati puisinya yang relatif sulit. Membaca puisi Batu dan Seekor Ikan, misalnya, kita tak bisa sekali paham: Dinda, dunia berat adalah batu, hitam kering dan bisu. Tapi, begitu puisi itu dinyanyikan Glenn Fredly, kita bisa terbuai. Glenn membawakan puisi Batu dan Seekor Ikan dengan melagukan ulang setiap kata yang dilafalkan Radhar.
"Saya ingin mendekatkan sastra kepada publik," ujar Radhar, yang saat membaca sendiri salah satu puisinya malam itu berakting sembari mengisap cerutu. Hal ini berangkat dari kekhawatirannya melihat makin terpuruknya sastra dalam beberapa dekade belakangan. Masyarakat, menurut dia, makin meninggalkan sastra dan menggunakan bahasa sebatas retorika untuk kepentingan praktis. Peradaban yang meninggalkan sastra, kata dia, berarti bangsa yang menuju kehancuran.
Radhar sudah memperjuangkan itu sejak buku puisi pertamanya, Simfoni Duapuluh, terbit pada 1985. Dia sadar bahwa pertunjukannya masih seperti melempar gula ke laut. "Tetapi harus dilakukan sebagai suatu tanda bahwa upaya ini ada. Namun itu tak membuat saya cemas dan kendur," katanya.
Suryani Ika Sari, Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo