Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semakin zalim pemerintah Malaysia menindak pengunjuk rasa, semakin teraibkan legitimasi kepemimpinan Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak dan Partai UMNO. Taklah mungkin menghadang kerinduan akan demokrasi dan perubahan. Malaysia tidak bisa memungkiri, tuntutan akan kehidupan bernegara yang lebih bebas dan terbuka merupakan kebutuhan dasar masyarakat global.
Beberapa hari belakangan ini kita menyaksikan anak-anak muda Malaysia turun ke jalan menuntut perubahan. Panorama ini tak lagi aneh: sesuatu yang telah terjadi dulu Indonesia, dan dalam beberapa bulan terakhir silih berganti muncul di Tunisia sampai Mesir, di Libya sampai Suriah. Mereka datang dari berbagai etnis: Melayu, Keling, Cina, yang dulu kerap terbelah—tapi tidak untuk momentum ini.
Anak-anak muda itu bukan tak membawa "papan nama". Mereka bagian dari kelas menengah dan kalangan terpelajar Malaysia yang risau dan hirau akan nasib negeri. Fenomena ini meruntuhkan pendapat yang menyatakan mereka yang nyaman secara ekonomi pasti cenderung mendukung status quo. Kemakmuran justru makin membuat warga memiliki harapan tinggi terhadap kualitas bernegara.
Unjuk rasa besar pada 9 Juli lalu merupakan puncak rasa gusar kaum muda Malaysia terhadap segala manipulasi yang dilakukan pemerintah. Meskipun pemilihan umum baru akan berlangsung pada 2013, mereka mengingatkan masyarakat bahwa pemilu yang jujur merupakan awal Malaysia yang sehat. Malaysia menganut sistem multipartai. Namun, setiap kali pemilu digelar, kemenangan selalu di tangan Barisan Nasional yang dihulubalangi UMNO, yang telah berkuasa 53 tahun. Kemenangan ini disangsikan karena sarat money politics.
Tudingan pemerintah bahwa peserta unjuk rasa hanyalah sebagian kecil masyarakat menjadi anakronistis. Untuk ukuran Malaysia, puluhan ribu demonstran bukanlah main-main. Pemerintah Malaysia tidak bisa lagi menyatakan bahwa demonstrasi merupakan cara ekspresi yang kurang beradab. Argumentasi bahwa demokrasi merupakan "produk Barat" dan tak sesuai dengan spirit Islam atau "etika ketimuran" sudah menjadi barang usang.
Tindakan menangkap lebih dari 1.600 demonstran jadinya tidak akan membuat jera kaum muda prodemokrasi Malaysia. Usaha pemerintah untuk terus-menerus menyudutkan Anwar Ibrahim—termasuk usaha menembaknya pada saat demonstrasi—juga akan makin membuat hilang simpati masyarakat global. Ancaman untuk memberlakukan International Security Act, menangkap dan memenjarakan para demonstran—dengan tuduhan makar tanpa harus lebih dulu diajukan ke pengadilan—juga pasti akan diprotes masyarakat internasional.
Malaysia kini berpacu dengan waktu. Hari-hari ini kaum oposisi Malaysia terlihat meneguhkan diri. Pertanyaannya, mampukah mereka membangkitkan silent majority, masyarakat yang selama ini diam tapi sesungguhnya merindukan reformasi? Mampukah mereka menggelorakan gelombang aksi damai yang lebih besar? Secara gencar perjuangan mereka juga pasti disosialisasi melalui media alternatif, seperti Facebook atau Twitter, ketika media dalam negeri sepenuhnya dikuasai negara.
Seyogianyalah pemerintah Malaysia bijak membaca "tanda-tanda zaman". Sikap konservatif akan menjadi bumerang. Tindakan represif terhadap demonstrasi justru akan menghasilkan buah kontraproduktif. Paranoia terhadap demokrasi justru akan membuat pencapaian ekonomi yang telah mereka gapai runtuh. Justru dengan demokrasi, keberhasilan ekonomi akan terarah lebih mantap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo