Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengunjung Museum Oei Hong Djien di Magelang, Jawa Tengah, menyaksikan kurator Enin Supriyanto mulai tampak putus asa ketika pengeras suara di genggamannya berkali-kali ditampik perupa Kelompok Seni Rupa Jendela. Ia berusaha agar kelima perupa asal Sumatera Barat yang menetap di Yogyakarta itu mau berbicara di depan pengunjung dalam pembukaan pameran mereka bertajuk "The Window of Jendela" di museum tersebut, Sabtu tiga pekan lalu.
Semula dia menyodorkan pengeras suara kepada perupa Rudi Mantofani agar bicara. Tapi Rudi menolak dan menunjuk kawannya, Yusra Martunus. Yusra malah menyerahkan pengeras suara ke Handiwirman Saputra. Tapi Handi juga menolak.
Pemilik museum, Oei Hong Djien, berusaha membantu Enin. Dia berteriak memanggil Yunizar. Yang dipanggil tak menyahut. "Tidak ada yang mau bicara. Apa boleh buat, saya minta Alfi sebagai juru bicara mewakili kawan-kawannya dari Kelompok Jendela," ujar Enin.
Pengeras suara pun berakhir di tangan Jumaldi Alfi. Pelukis kelahiran Lintau, Sumatera Barat, 39 tahun lalu ini dengan lancar memberi pengantar untuk pameran mereka pada tahun ke-15 sejak menggelar pameran pertama pada 1997. Keempat kawannya memang berkarakter sedikit berbicara, bukan pangecek, kata orang Minang.
Kelompok Jendela adalah kelompok seni rupa yang masih aktif hingga kini sejak berdiri pada 1996, dan dalam banyak hal berhasil dari aspek ekonomi ataupun pencapaian estetik. Dari segi ekonomi, Handiwirman yang semula paling mengkhawatirkan pun belakangan ikut menikmati kue boom seni rupa. Bahkan Handi kini primadona balai lelang. Apalagi Alfi, Rudi Mantofani, Yunizar, dan Yusra Martunus, yang lebih dulu menikmati boom seni rupa. Mereka pernah mengalami getirnya hidup sebagai seniman. Bahkan salah seorang dari mereka pernah tak punya uang sepeser pun untuk membelikan susu anaknya.
Boom ekonomi seni rupa dan eksesnya tak melenakan mereka. Tiap perupa Kelompok Jendela melakukan pencarian estetik. Mereka terus melakukan perubahan yang membuat mereka secara individual ataupun kelompok bisa bertahan hingga kini dengan karakter masing-masing.
Karya Alfi, misalnya, dari bentuk figur sederhana dengan mengandalkan kekuatan garis yang kadang diisi coretan kata atau kalimat hingga bentuk yang lebih realis, seperti pada karya lukis Pencari Ketenangan, yang terasa lebih bercerita. Bahkan secara ekstrem dia mengeksplorasi bentuk teks tulis di atas kanvas yang dia bentuk bak papan tulis hitam yang umum dipakai di sekolah pada masa lalu. Pada karya ini Alfi juga memamerkan kemampuan teknik realisnya. Dari dekat orang bisa melihat detail tekstur goresan kapur tulis itu.
Karya lukis Yunizar masih lebih dekat dengan kecenderungan naratif Alfi. Pelukis kelahiran Talawi, Sumatera Barat, 41 tahun lalu ini, dengan garis-garis sederhana dalam warna monokrom, membuat rangkaian bentuk yang mengandung unsur dekoratif, baik berupa pengulangan struktur pohon dengan cabang dan rantingnya (Pohon) maupun pengulangan bentuk konstruksi rumah yang memenuhi bidang kanvas (Padat). Bahkan, pada karya lukis berjudul Pohon dan Sekitarnya, Yunizar bak pelukis mooi indie yang menggambar keindahan lanskap dalam versi monokrom.
Bandingkan dengan patung bergaya instalasi karya Yusra Martunus. Pematung kelahiran Padang Panjang 39 tahun lalu ini menyusun benda ready made berupa meja, kursi, dan pegangan pintu menjadi karya sculpture installation. Benda-benda itu lebih merupakan eksplorasi elemen estetik ketimbang struktur narasi yang jelas. Bahkan judul pun hanya berupa deretan angka. Bagi Yusra, karyanya dibuat dengan proses yang sama dengan menjawab pertanyaan yang sulit dan kompleks. Dengan padanan ini, Yusra tampaknya tak hendak bercerita.
Hal yang sama tampak pada karya Rudi Mantofani (Hijau). Orang hanya menikmati sensasi kehijauan artifisial dari citraan rumput berbahan plastik yang membalut permukaan bentuk abstrak geometris. Bentuk segitiga ini diletakkan dalam posisi yang menimbulkan sensasi ketegangan jika benda itu ambruk.
Bagi Rudi, karya seni bisa menyederhanakan sesuatu yang rumit. Dia memulai proses kreatifnya dengan gagasan naratif yang kemudian dia eksekusi dengan mengeksplorasi idiom rupa. Saat itulah kata-kata tak lagi bermakna.
Penyederhanaan pula yang tampak pada karyanya yang bercorak site specific installation. Tapi Rudi membuatnya dengan teknik yang rumit, sehingga yang muncul seolah dia menguak sudut lantai museum bak sesederhana menguak ujung karpet.
Sejatinya dia memang membongkar lantai tegel museum. Dengan perhitungan matematis dia membuat tegel dengan bentuk yang sesuai dengan desain karyanya. Ada yang berbentuk datar, tapi ada yang melengkung. Tegel itu kemudian disusun ulang sesuai dengan ukuran dan struktur lengkungan yang mirip bentuk gelombang ombak di pantai. Di bawah lantai yang terkuak itu tampak onggokan tanah. Dia memberi judul karya ini Melihat Bumi. Ini karya paling menarik dari segi gagasan dan eksplorasi bahan serta bentuk.
Bandingkan dengan karya lukis Handiwirman, yang punya latar belakang pendidikan seni kriya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Karya lukis perupa kelahiran Bukittinggi 37 tahun lalu ini, sebagaimana karya tiga dimensinya, cenderung tak bercerita apa-apa selain hasil eksplorasi elemen kebentukan. Dua karya lukisnya berjudul Akhir Pekan dan Proyek Organik dari Tak Berakar Tak Berpucuk merupakan pemindahan dari bentuk karya seni obyeknya.
Handiwirman sosok yang suntuk bekerja dengan obyek (benda) yang tak merujuk pada bentuk tertentu (non-representasional). Dia membangun kembali obyek yang remeh-temeh itu—bahkan berupa rambut—dengan sentuhan tangan yang tak biasa dalam praktek seni rupa. Hasilnya, orang didorong menikmati sensasi estetik pada benda karyanya, meski dia memberi judul berbau pepatah dalam tradisi Minangkabau yang punya narasi kuat: "Tak Berakar Tak Berpucuk". Hal ini menjadikan Handi sebagai fenomena khas dalam seni rupa kontemporer Indonesia.
Ada kecenderungan yang mengerucut pada karya lima perupa Kelompok Jendela ini. Mereka tidak sedang memaparkan cerita yang utuh dengan mengeksplorasi idiom rupa. Bak teater minikata, penonton menikmati psikonarasi berupa permainan idiom rupa yang menghasilkan reaksi emosional seketika: wah, wow, aduh!
Raihul Fadjri, Faniska
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo