Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Bersih-bersih Lokalisasi ala Surabaya

Pemerintah Kota Surabaya didukung pemerintah Jawa Timur melancarkan program penutupan besar-besaran lokalisasi. Memberi alternatif, meski belum sukses.

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah warung kecil bercat hijau pupus berdiri di tepi gapura gang empat, kawasan lokalisasi Kremil, Jalan Tambak Asri, Morokrembangan, Kecamatan Krembangan, Surabaya Utara. Tak terlalu ramai pembeli siang itu, tapi Diana (bukan nama sebenarnya), 32 tahun, pemilik warung, tetap murah senyum menjajakan kelapa muda dan sosis goreng. "Warung ini punya saya sendiri," kata perempuan itu kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.

Air kelapa muda kini menjadi penghidupannya. Sejak minggu kedua Ramadan lalu, Diana memutuskan pensiun sebagai pekerja seks, yang dia jalani lebih dari empat tahun. Perempuan asal Rembang, Jawa Tengah, ini pernah menghuni Wisma Nomor 41, rumah bordil tepat di belakang warungnya sekarang. "Ingin mandiri, cari uang yang halal," ujarnya.

Penghasilannya memang lebih sedikit. Dari berjualan kelapa muda, ia meraup omzet Rp 200-an ribu sehari. Modal usahanya didapat dari pemerintah Jawa Timur sebesar Rp 3 juta. Dulu, waktu masih berpraktek, dalam sehari Diana sanggup melayani 4-7 pria. Setiap tamu dikenai tarif Rp 50-100 ribu untuk satu "ronde". Sebulan ia bisa mengumpulkan Rp 3-4 juta. Itu belum dikurangi sewa kamar untuk pemilik wisma, per jam Rp 10 ribu atau Rp 15 ribu untuk waktu tambahan.

Tapi ia merasa lebih senang dengan pekerjaannya sekarang. Apalagi warga sekitar Kremil juga menjadi segan kepadanya. Diana merasa warga kompleks yang mengenalnya bangga terhadap perubahan hidupnya. "Setiap Pak Safi’i lewat, saya diacungi jempol," kata Diana menyebut nama salah seorang pengurus Rukun Warga VI, Morokrembangan.

Diana salah satu contoh eks pekerja seks yang dianggap berhasil beralih profesi. Ia satu dari 849 pelacur yang diadvokasi pemerintah Jawa Timur hingga Desember ini. Sebagian besar telah dipulangkan ke daerah asal masing-masing. Menurut Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Jawa Timur Bawon Adiyitoni, strategi pemerintah menutup lokalisasi berjalan dengan baik. "Menutup lokalisasi itu pekerjaan sulit, tapi bukan berarti enggak bisa," katanya.

Selama ini, penutupan lokalisasi cenderung dilakukan dengan instan: penggusuran. Namun Surabaya menempuh cara yang lebih manusiawi, meskipun melelahkan. Hal pertama yang dilakukan adalah penyadaran mental melalui pengajian dan pendampingan. Ada juga pelatihan keterampilan, seperti tata boga, gunting rambut, dan menjahit.

Mereka yang sudah siap akan diberi modal usaha dengan syarat tak kembali ke profesi semula. Jika ketahuan, mereka akan diperlakukan layaknya gelandangan atau pengidap penyakit sosial, lalu diinapkan di panti-panti sosial. Menurut Bawon, pemerintah menerapkan strategi khusus itu mulai 2010. Melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 460 pada November 2010, Jawa Timur membersihkan praktek prostitusi.

Data Pemerintah Provinsi per Desember 2012 mencatat sebanyak 849 orang dari 7.127 pekerja seks sudah dientaskan dari semua lokalisasi di Jawa Timur. Ada lima dari 47 lokalisasi yang sudah ditutup. Dua di Kabupaten Tulungagung dan tiga di Blitar. Akhir pekan lalu, lokalisasi Dupak Bangunsari, Kelurahan Dupak, Krembangan, juga ditutup. Sebanyak 163 pelacur akan dipulangkan dan 58 wisma yang tersisa ditutup. Pemerintah memberi modal Rp 3 juta untuk setiap pekerja seks dan Rp 10 juta untuk muncikari.

Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Surabaya Deddy Sosialisto mengatakan penutupan lokalisasi dilakukan secara manusiawi dan bertahap. Ia mengklaim tidak ada unsur paksaan dalam pemulangan semua pekerja seks di Surabaya. "Pada 2001, cara itu sudah dilakukan, tapi hasilnya tidak signifikan. Sekarang lebih dimatangkan," ujarnya.

Menteri Sosial Salim Segaf al-Jufri pun mendukung program ini. Pada Maret lalu, Menteri mendatangi Dupak Bangunsari dan menjadikannya proyek percontohan penutupan lokalisasi di Surabaya. ­Kawasan ini pernah menjadi lokalisasi besar dengan pekerja seks terbanyak di Surabaya, mencapai 3.500 orang. Tapi program lebih efektif, kata Deddy, karena warga sekitar lokalisasi kompak menginginkan penutupan.

Setelah menutup Dupak Bangunsari, Pemerintah Kota Surabaya menargetkan penutupan semua lokalisasi di Surabaya dalam dua-tiga tahun ke depan. Pemerintah menyiapkan anggaran Rp 3 miliar, yang akan dinaikkan menjadi Rp 6,5 miliar pada 2013. Tahun depan, lokalisasi yang ditutup adalah Klakah Rejo dan Moroseneng di Kecamatan Benowo serta Kremil (Tambak Asri) di Kecamatan Krembangan. Sedangkan Gang Dolly dan Gang Jarak di Kecamatan Sawahan menyusul mulai 2014. Lokalisasi yang masuk program penutupan tidak boleh menambah pekerja seks baru.

Pusat lokalisasi di Gang Dolly dianggap paling sulit ditertibkan. Gubernur Jawa Timur Soekarwo pernah menyatakan akan menutup Dolly pada 2012, lalu mundur lagi hingga 2015.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan penanganan untuk Dolly memang harus lebih khusus dibanding Dupak Bangunsari dan yang lain. Menurut dia, kehidupan di sana sudah menyatu. Pelaku prostitusi dan warga sekitar saling mengambil manfaat dari keberadaan lokalisasi tersebut. "Waktu aku ke sana, yang memprotes itu malah yang jualan kacang. Jadi masalah di sana sangat kompleks," kata Risma kepada Tempo.

Maklum, dalam semalam, perputaran uang di Dolly bisa mencapai Rp 2 miliar. Pelanggan yang datang tidak cuma menyalurkan hasrat biologisnya, tapi juga membelanjakan uangnya untuk membeli makanan, minuman, rokok, dan lainnya.

Risma dan aparatnya harus memutar otak lebih kencang. Nasib para pekerja seks dan warga yang menggantungkan kehidupannya pada bisnis prostitusi ini setelah Dolly ditutup harus diperhatikan. "Masalahnya, kalau Dolly ditutup, bagaimana dia makan. Lalu, kalau dia ke pinggir-pinggir jalan, itu pelacuran sembunyi-sembunyi, kan malah yang kena semakin banyak," ujar Risma. Ia mengaku didesak terus oleh Majelis Ulama Jawa Timur.

Pemerintah Surabaya, misalnya, akan membeli delapan dari 51 wisma yang ada di Gang Dolly dan Gang Jarak, Putat Jaya. Menurut Risma, seperti di Dupak Bangunsari, pemerintah perlahan akan membangun suasana baru di lokalisasi tersebut. Wisma-wisma yang sudah dibebaskan akan diubah menjadi taman bermain, sebagian untuk tempat pendidikan anak usia dini, dan masjid. Risma juga sudah merintis pembukaan taman bacaan di setiap kantor rukun warga. Ia berkeyakinan perubahan suasana itu akan mempengaruhi kesehatan mental dan kemudian fisik warga sekitar.

Program pemerintah selama ini dinilai tak begitu efektif oleh kalangan aktivis pemerhati anak dan perempuan. Menurut Direktur Yayasan Abdi Asih, Lilik Sulistyowati—yang sejak 1992 melakukan advokasi di kawasan Dolly dan Jarak—pemerintah harus benar-benar serius. Menurut dia, pelatihan keterampilan oleh pemerintah seperti formalitas. "Dilatih tiga hari, dikasih duit, terus selesai. Itu nonsens," ujarnya.

Kartono, eks muncikari yang kini mengabdikan diri sebagai aktivis perlindungan anak, memiliki penilaian senada. "Mendidik mbak-mbaknya itu susah. Ya namanya mereka tiap hari mabuk dikasih pelatihan 2-3 hari, percuma saja," kata Kartono kepada Tempo. Ia mengelola perpustakaan umum Kawan Kami di kawasan lokalisasi Gang Jarak, Putat Jaya IIA. Menurut Kartono, kebanyakan pelacur berhenti karena sudah tua, sementara sebagian kecil dijadikan istri oleh orang-orang kaya. Namun ia percaya setiap orang punya alasan untuk berhenti, seperti dia yang memutuskan berhenti karena merasa berdosa.

Latifah, 62 tahun, bekas pemilik Wisma Puntadewa di gang tiga Dupak Bangunsari, mengaku menyesal menutup wismanya. Ia mendapat pesangon Rp 10 juta. Uang itu dimanfaatkannya untuk membeli sejumlah barang dan kebutuhan usaha merias. Tapi, kata Latifah, karena ia tak punya keahlian wirausaha, uang hasil usaha tersebut hanya cukup untuk makan sehari-hari, sedangkan modal terus tergerus. Tak sampai setahun, uang pesangon itu pun habis.

Ia kini menganggur dan hanya mengandalkan pemberian anak-anaknya. Toko yang sempat dibukanya di teras rumah pun sekarang tertutup. Hanya ada sejumlah sabun cuci yang tersisa, karena belum terjual. "Mau gimana lagi? Itu keinginan pemerintah," ujarnya tentang alasan berhenti.

Agus Supriyanto, Agita Sukma Listyanti, Budi Santoso, Permata Romadhonita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus