Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang Sinis dan Cemas di Era Pascasejarah

Pameran Aminudin T.H. Siregar mengolok-olok seni rupa Indonesia.

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah ribuan karya seni, sekian banyak pameran, dan bejibun perupa yang kita miliki tak ada gunanya? Juga berbagai macam profesi dan institusi yang terlibat dalam medan sosial seni? Bagi Aminudin T.H. Siregar (dikenal sebagai Ucok), semua itu memang demikian. Beberapa tahun lalu, dia menerbitkan Blup! (Pasir Impun Institut, The End of ­Publisher, Bandung, 2000), yang menyatakan kesia-siaan seni rupa (di Indonesia). Blup! ingin menyudahi perjalanan panjang seni rupa Indonesia (sic!). Seni rupa kita penuh ketiadaan makna. Itulah manifesto kenihilan seni Blup!.

Pernyataan kesia-siaan Ucok rupanya belum selesai. Bersama perupa seangkatannya, Ristyo Eko Hartanto, 39 tahun, dia menggelar karya di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Tajuk pamerannya, "Mencari Saya dalam Sejarah Seni Rupa Saya", memelesetkan esai terkenal "Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia" yang ditulis Sanento Yuliman (almarhum) pada 1969. Seni, ujar dia, hanya bermanfaat untuk nasionalisme. Di luar itu, seni rupa Indonesia adalah kesia-siaan yang terus dipelihara agar kegilaan seolah-olah menjadi "kewarasan".

Ucok, 39 tahun, lulusan Jurusan Seni Grafis Institut Teknologi Bandung, memamerkan kebolehan lamanya bekerja dengan medium grafis (etsa dan aquatin), juga gambar-gambar cat air bertarikh 1997-1999. Seri karya grafisnya yang berwarna sepia antara lain menampilkan serombongan petani uzur yang kepayahan (Musim Kering Tahun 1997) atau parodi petani-pahlawan dalam lembaran mata uang negara (Seratus Ribu Rupiah 1, 2).

Pada karya lain digambarkan oknum-oknum beraut babi dan fajar komunisme (Bayang-bayang Komunis, 1999), penyiar televisi resmi yang malang (Dunia dalam Berita, 1998), serta sosok Nietzsche, filsuf yang agaknya mengilhami sang seniman perihal kenihilan, (Genealogy of Morals, 1999). Kekuasaan adalah wahyu atau pulung, mengalami sakralisasi, dibayangkan sebagai Dewi Sri yang menentukan hidup-mati petani (Menghadap Dewi Sri, Menghadap Birokrasi, 1997). Bahan-bahan "revolusioner" itu menautkan yang estetis dengan yang politis agar seni tidak menjadi representasi esoteris. Begitulah kira-kira Ucok.

Pada Ucok, mantra nasionalisme "dari bawah" itu berkembang menjadi sikap sinikal terhadap perkembangan seni rupa belakangan ini. Di masa kini, menurut Ucok, identitas nasional agaknya hanya dibutuhkan seniman di ruang imigrasi. Para seniman sekarang merasa hidup di era "pascasejarah". Estetika mereka tak lain adalah entropi. Bagi mereka, seni sudah "melampaui" sejarah. Kebebasan seniman yang nyaris sempurna di masa inilah yang dikritik Ucok sebagai kesia-siaan belaka.

Maka "saya" dalam pencarian Ucok adalah identitas yang ingin pulang ke "nasionalisme". Seri foto dengan tulisan "Seni Rupa Indonesia Tidak Ada" di depan Museum Guggenheim, New York (2002), dan olok-olok berupa 21 sampul bacaan untuk pemula pada "Seri Seni Rupa Idiot" (2012) tentu menunjukkan semacam dislokasi atau kalau bukan negasi total terhadap kebebasan berseni rupa. Tapi, soalnya, bukankah representasi bergaya parodi semacam itu juga mengandaikan kebebasan penuh senimannya?

Pencarian sekaligus gugatan mengenai "saya" pada Ristyo Eko Hartanto (Tanto) menghasilkan sesuatu yang lain, yakni ketaksaan mengenai identitas kedirian, antara kesatuan, otonomi di satu sisi, dan keterpecahan atau fragmentasi pada sisi lain. Yang mana yang layak disebut diri yang otentik dan apakah kedirian semacam itu bagi seniman perlu menjadi syarat kemungkinan di dalam seninya?

Tanto menulis: "Saya membayangkan ada banyak 'Hartanto kecil' yang sedang berdebat dan bertengkar di dalam kepala saya, entah memperselisihkan apa. Yang lucu adalah, saat saya secara sadar memisahkan kesadaran saya dari suara-suara pikiran saya sendiri dan berusaha meng­amati 'mereka' dari jauh sambil berusaha tidak menilai atau bereaksi apa pun secara emosional, mereka seperti tersadar sedang diperhatikan dan suara-suara mereka pun melembut, keburukan yang mereka suarakan memudar. Dan hubungan sosial saya rusak. Kondisi ini menggerogoti mental dan menurunkan kualitas hidup saya."

Kecenderungan untuk mencari semacam kedalaman ("inwardness") dalam ranah subyek ini pada karya Tanto direpresentasikan melalui bahasa potret orang lain. Seri karya fotografi Homunculus (2011)—secara harfiah berarti "manusia kecil"—misalnya adalah potret orang-orang yang didandani dan mampu memperlihatkan mimik lucu atau ganjil menurut arahan atau tafsir maknawi sang seniman. Seluruh latar foto ini gelap, mengesankan sebuah wilayah yang tak dikenali. Ekspresi homunculus ini seakan-akan menjelma sebagai sebuah kanal bagi Tanto untuk membaca berbagai kondisi mentalnya sendiri yang tidak stabil.

Pada Untitled (2012), identitas manusia dikaburkan oleh daya kehidupan dan bayangan kematian yang saling bertaut. Raut itu mengekspresikan kebekuan, wajah ­keras topeng-kematian, tapi raga dan ­seikat kembang tentu lebih dekat pada simbol kehidupan. Tanto ingin menghadirkan kecemas­an mengenai keotentikan "saya" pada kar­yanya, tapi tentu saja kecemasan adalah kondisi nir-obyek. Bagaimana yang nir-obyek dapat direpresentasikan? Pada 99 Wajah Variasi No. 2 (2011), ia menjejerkan bermacam potret orang dari berbagai usia, jenis kelamin, bahkan suku. Semua foto yang mengandung berbagai ekspresi wajah itu membuang pandangan ke samping; ­seakan-akan mereka cuma ingin ­menemukan "yang lain" pada subyektivitas ­masing-masing.

Tanto tidak sinikal seperti halnya Ucok. Ketika ia mengatakan bahwa depresi cenderung menjadi gejala global dan ada 11,6 persen orang Indonesia di atas usia 15 tahun mengalami gangguan kejiwaan, Tanto agaknya tengah berusaha menemukan apa makna kecemasan untuk dirinya sendiri. Kondisi pascasejarah agaknya memang tak perlu ditakutkan karena selalu ada kemungkinan untuk keluar dari jebakannya.

Hendro Wiyanto, pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus