DINGIN menikam Soviet. Salju memeluk jalan dan pohon-pohon. Toh tak ada yang merintih dengan gigi gemeretak. Bila ada teriakan sengsara di Moskow, Leningrad, atau di kota lain, semata-mata itu memang karena lapar. Ketika perut melagukan keroncong resah ke seantero negeri, rakyat pun menyerang perestroika, glasnost, dan demokratia. Keadaan ekonomi Soviet tambah payah. Beleid ekonomi Gorbachev tidak berhasil mengubah keadaan dalam sesaat. Nilai uang rubel merosot parah. Yang ramai tumbuh malah pasar gelap. Di sini bahan makanan gampang didapat, tapi harganya sangat mahal. Dalam dua bulan terakhir bahan makanan sudah langka dan susah diperoleh. Untuk mendapatkan sepotong roti, orang harus antre panjang dan siap saling sikut. Banyak toko kosong melompong. Presiden Gorbachev berteriak. Ia mengetuk pintu bantuan dari siapa saja. "Krisis kami sudah stadium akut," ujar Edward Shevardnadze. Akhir tahun lalu ia minta mundur sebagai menteri luar negeri. Kemudian datang bantuan Jerman -- negeri yang pernah diganjal masalah Berlin oleh Soviet -- berupa ribuan ton makanan, susu, dan obat-obatan. Amerika Serikat, Masyarakat Eropa, dan negara lain juga mengapalkan bahan makanan dalam jumlah besar. "Tuhan masih mengizinkan saya melihat makanan," kata Anna Nakkarova, 72 tahun. Nenek di sudut Kota Moskow ini tidak henti bersyukur dan menciumi tangan perawat, ketika regu palang merah membagikan gula, kopi, dan kue. "Bantuan itu bisa mempercepat tumbuhnya demokrasi di negeri ini," ujar Sergei Stankevich. Sialnya, tak semua orang di kawasan kelaparan kebagian jatah. Orang jompo bergelimpangan. Gelandangan berserak di emper-emper toko yang masih saja kosong. Karenanya, Pravda, harian resmi Partai Komunis Uni Soviet, menulis, "Bantuan berdatangan, tapi Moskow mengapa tetap kelaparan?" Didik Budiarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini