DEAD POETS SOCIETY Sutradara: Peter Weir Pemain: Robin Williams, Robert Sean Leonard, Ethan Hawke, Josh Charles Skenario: Tom Schulman Penata Musik: Maurice Jarre Produksi: Touchstone Pictures APAKAH Dead Poets Society itu? Di tengah lapangan sepak bola, ketujuh murid sekolah Welton berjongkok mendengarkan John Keating (Robin Williams) dengan mata ingin tahu. "Pada masa lalu, kami biasa berkumpul di sebuah gua dan bergumul dengan Whitman, Shelley, Thoreau, Byron, serta penyair romantis lainnya. Kami menghirup sumsum tulang dan menikmati madu kehidupan dengan penuh berahi." Ketujuh pemuda itu terpesona. Mereka pun mengikuti jejak guru yang unik dan eksentrik itu. Malam hari, mereka berlari di atas bukit menuju sebuah gua. Entah bagaimana, puisi menjadi sebuah tenaga gaib yang mampu mengubah mereka menjadi anak-anak muda yang penuh gelora. Mereka tidak membaca puisi untuk sekadar menjadi elok, tapi mereka mengubah kehidupan menjadi sebuah puisi. Sekolah preparatory seperti Welton Academy -- sekolah persiapan seusai SMA menuju universitas bergengsi di AS -- adalah lambang kemapanan. Bukanlah kebetulan jika sutradara Peter Weir memilih tahun 1959 sebagai latar belakang film karena masa itu adalah periode ketika bibit gerakan anti kemapanan mulai berkembang. Kemapanan itu digambarkan dengan baik oleh Weir melalui adegan pembukaan saat kepala sekolah Welton (Norman Lloyd) bangga karena 75 persen muridnya diterima di Harvard University. Juga diwakili oleh Tuan Perry (Kurtwood Smith) yang dengan otoriter menyuruh anaknya, Neil (Robert Sean Leonard), menghentikan kegiatan ekstrakurikuler "agar diterima di sekolah kedokteran Harvard." John Keating, alumnus Welton yang sempat mengecap pendidikan tinggi di London, datang sebagai "penggerebek" tradisi. Dia masuk ke kelas sambil bersiul dan meminta dipanggil Kapten. Diajaknya para murid meninggalkan kelas dan memandangi fotofoto masa lalu. Dia berbisik mengutip Walt Whitman Carpe Diem, "Rebutlah hari ini, petiklah mawar selagi sempat, karena suatu hari kita akan mati." Keating juga mengajar murid-muridnya membaca satu bait puisi sambil menendang bola dilatari musik Song of Joy dari Beethoven. Dia menyuruh muridnya menyobek 20 halaman yang isinya khotbah Doktor Pritchard tentang bagaimana mengerti sebuah puisi. Dengan gaya yang sinting Keating berdiri di atas meja mengajarkan "bagaimana memandang dunia dari sisi yang berbeda" dan di bawah pelototan kepala sekolah, Keating mengajar anak-anaknya berjalan seenaknya agar mengerti bahaya sikap yang terlalu patuh pada tata cara. Namun, ini bukan sekadar cerita guru eksentrik di sekolah tradisional Amerika. Film ini adalah sebuah pernyataan ulang tentang kekuatan romantika puisi di dalam dunia yang dipaksa menjadi tertib dan seragam. Amerika, dengan segala slogan kebebasan berpikirnya, sebenarnya juga sebuah masyarakat yang konformistis dan menginginkan keseragaman. Welton Academy adalah sebuah dunia ketertiban yang akan menghasilkan calon dokter atau calon pengacara. Sedangkan gua, tempat ketujuh pemuda bertemu, adalah simbol "primitivisme", keinginan kembali ke alam. Gua itu adalah tempat pertama ketika mereka menjelajah diri sendiri. Di sini mereka tak ragu mengungkapkan pemikiranpemikiran yang orisinil meski harus menentang arus tradisi. Menjadi nonkorfomis seperti John Keating bak air sungai yang mengalir di atas gerunjal bebatuan. Keating percaya pada penyair Frost, yang mengatakan, "Ada dua jalan, dan aku mengambil jalan yang tak dipilih orang." Karena keputusan menjadi pribadi yang berbeda dari lingkungannya. Keating harus menerima risiko. Dia dikeluarkan dari Welton Academy karena Neil bunuh diri. Neil, yang dengan semangat berbuih mempraktekkan Carpe Diem, ternyata tak kuasa membantah keinginan ayahnya untuk menghentikan kegiatan dramanya. Dan Welton, sekolah prestisius itu, butuh kambing hitam. Pencarian kambing hitam adalah jalan keluar khas bagi sebuah institusi yang tak ingin dianggap gagal. Dan Amerika, menurut Peter Weir, adalah masyarakat yang tak pernah mau mengakui kesalahan yang pernah diperbuatnya. Itulah sebabnya, kita melihat kepala sekolah Welton memaksa ketujuh pemuda menandatangani pernyataan yang berisi bahwa Keatinglah yang bertanggung jawab atas kematian Neil. Kita tetap melihat sebuah potret yang romantis sebagai akhir bait-bait puisi yang digubah Peter Weir melalui kamera John Seale. Sepanjang film, kita melihat adegan ribuan burung yang beterbangan dengan bebas di musim gugur yang basah, adegan ketujuh pemuda yang berlari ketika butir salju berjatuhan, dan adegan pagi yang basah ketika seorang pemain bagpipe memainkan musik Skotlandia. Itu bukan sekadar potret yang cantik, melainkan bait-bait puisi kebebasan. Seperti pada film Gallipoli dan Witness, Weir menutup puisinya dengan bait yang romantis bukan kepalang. Ketika Keating akan pamit, sementara kepala sekolah mengambil alih posisinya sambil mengajarkan jurus Doktor Pritchard yang nyinyir, sebuah keajaiban terjadi. Todd berteriak bahwa mereka dipaksa menandatangani pernyataan itu. Lantas dia berdiri di atas meja sambil berseru "Kapten, kaptenku" yang kemudian diikuti kawan-kawannya. Ini memang fantasi Weir. Kita tahu, kepala sekolah terlalu galak untuk membiarkan murid-muridnya segila itu. Namun, adegan ini justru memperlihatkan kekuatan emosi sebuah puisi yang tak terbendung. Dan Keating berkaca-kaca matanya. " 'Ku pergi ke hutan karena ingin hidup," katanya mengutip Whalt Whitman, "tetapi di ambang kematian, 'ku tahu aku tak pernah hidup."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini