Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Last Supper di Era Digital

Enam belas perupa menginterpretasikan perjamuan makan terakhir Yesus. Upaya serius, bercanda, atau main-main yang tiada henti dilakukan sejak abad ke-13.

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yesus memegang tas tangan mini ala Chanel. Tangan kiri Bartholomeus juga menggenggam tas. Yudas, yang berdiri di sebelah belakang, memegang tas lain yang diangkatnya tinggi-tinggi. Dan Thomas mencangklong tote bag.

Begitulah Davy Linggar memberikan interpretasinya atas peristiwa kudus perjamuan terakhir Kristus dan 12 muridnya. Karya Davy, yang berangkat dari karya pelukis Italia, Jacopo Bassano, abad ke-16, merupakan satu dari 16 karya yang dipamerkan di CG Artspace, Plaza Indonesia, mulai akhir Maret lalu untuk menyambut hari Paskah pada 10 April mendatang.

Jamuan makan malam terakhir yang kudus bagi umat kristiani ini sudah berulang kali diinterpretasikan. Leo­nardo da Vinci bukan yang pertama, bukan pula yang terakhir. Dua ratus tahun sebelum Da Vinci, pelukis Italia, Giotto di Bondone, sudah membuatnya. Demikian pula Pietro Lorenzetti pada 1320. Tapi versi Da Vinci demikian mendunia dan melambungkan namanya. Para pelukis abad ke-20 pun memberikan versi mereka, termasuk Raymond Poulet, Salvador Dali, dan figur terkemuka pop art Andy Warhol.

Nah, dalam pameran berjudul Revi­siting the Last Supper, penyelenggara CG Artspace dan Umah Seni mengundang ke-16 perupa untuk menginterpretasikan ulang peristiwa yang terjadi di sebuah ruangan bertingkap Gothic di Bukit Zion, Kota Yerusalem, itu, tepat di atas makam Raja Daud—yang dalam tradisi Islam disebut Nabi Daud. Sebagian perupa mengacu pada mahakarya Da Vinci, tapi lebih banyak yang bergerak keluar dengan menginterpretasikannya dengan lebih kontekstual dan kontemporer. Juga dengan mood yang tak jarang main-main dan bercanda.

Seperti Davy. Seakan tak sempurna tanpanya, di atas lukisan akrilik berukuran 150 x 200 sentimeter itu, Davy masih menambahkan coretan bak bolpoin yang kecil, tapi mustahil bila luput dari pandangan. Di atas gelas, ia gambari seorang pria kencing. Robot ala R2D2 Star Wars muncul di meja. Seekor anjing berleha-leha di bantal. Dan seorang bocah perempuan menonton dari pinggir dengan separuh mata.

Mengapa tas, mengapa pria kencing,­ mengapa R2D2? Menurut Davy, perja­muan terakhir dalam karyanya adalah kritik atas perilaku masyarakat mo­dern yang menghadapi ”fetishism atau pemujaan berlebihan terhadap suatu benda atau nilai”. Dari karya Bassano, lebih dari separuh abad setelah karya Da Vinci, Davy mengimbuhi produk-produk konsumerisme kapitalis yang dikenali masyarakat sekarang.

Yang paling pol bercandanya adalah Hamdan Omar, pelukis kelahiran Malaysia yang pernah 30 tahun bekerja di bidang periklanan. Karyanya sungguh komikal. Sebuah sepatu sneakers All Star melayang menuju seorang pria yang menyembunyikan separuh wajahnya di balik kain. Mimiknya penuh amarah dan dengki. Ia memaki kotor. Judulnya Hey Judas! Here’s your supper!

Amy Aragon, pelukis yang ber­asal dari Filipina, tanah umat Katolik di Asia Tenggara, menginterpretasikan­ perjamuan terakhir sebagai sebuah narasi yang tak berhenti diteruskan antargenerasi. Akibatnya, sejumlah elemen di dalamnya menjadi blur. Karyanya berjudul The Last Supper: A Child’s Tale. Dengan komposisi warna yang menarik, Amy melukis tumpukan piring, teko, dan cangkir yang berantakan, lengkap dengan hidang­an mo­dern di atasnya: croissant, ikan, pretzel, dan permen warna-warni. ”Ta­nyakanlah kepada orang sembarang bagaimana ceritanya, dan jawaban mereka akan terdengar seperti datang dari anak-anak,” katanya.

Atau lihatlah karya Do This in Remembrance of Me—dikutip dari kitab Perjanjian Baru, yang juga memiliki banyak versi lukisan—milik Bea­trix Hendriani Kaswara. Ia menggunakan ratu Latin, Jennifer Lopez, sebagai imaji akan mesiah baru yang muncul di televisi. Ia sengaja merusak gambarnya, yang meski terasa mengganggu, ”sebenarnya rusakan gambar video itu seperti lukisan dengan komposisinya”.

Perupa J. Ariadhitya Pramuhendra menampilkan dirinya sendiri sebagai 13 sosok orang yang terlibat dalam perjamuan itu. Berjudul Holy Mass, karya ini menggunakan pendekatan fotogra­fis, dengan Pramuhendra yang bertelanjang dada serta berjanggut dan berkumis bak pria Timur Tengah. Pramuhendra tercengang, memaki, menunjuk, dan menghindar dari balik meja panjang polos. ”Dalam diri saya, mungkin saja terwakili watak dari semua orang yang ada di sana,” katanya tentang karya yang pernah dipertunjukkannya dalam pameran tunggal tahun lalu itu.

Tapi bukan berarti tak ada yang ber­upaya menanggapi tema perjamuan terakhir ini sebagai tema yang sakral. Bila yang dicari adalah karya yang menimbulkan perasaan religius, silakan ­te­ngok karya Omar yang lain. Dalam sebuah kanvas panjang berukuran ­195 x 45­ sentimeter, ia melukis ekspresi wajah ke-13 orang itu bersisian. Dalam kombinasi arang dan akrilik, Omar membuat 12 orang di antara mereka terpejam—seseorang melirik tajam ke sebelah kanan. Ini bisa jadi Yesus yang melirik Yudas, yang dalam versi klasik Da Vinci selalu ditampilkan duduk berselang satu di sisi kanannya.

Atau karya Ronald Manullang yang mencekam. Di atas meja panjang, ia melukis tubuh Yesus yang terbaring melintang tanpa busana, kecuali secarik kain yang menutupi bagian intimnya. Mahkota kawat bertengger di atas kepalanya, dan tangannya terangkat ke atas bak menyerah kalah. Matanya terpejam. Transpose Last Supper judulnya. Dan Ronald memberikan catatan yang membuat kita terdiam membacanya. ”Bahwa sesungguhnya Dia-lah roti dan anggur itu,” tulisnya.

Dan yang mencekam, dari era digital, penggunaan monitor komputer sebagai pengganti wajah. Ini karya fotografi Indra Leonardi, yang menggunakan bantuan komputer untuk membuat efek ruang yang berulang. Seram untuk mengandaikan betapa monitor kompu­ter bisa jadi telah menggantikan wujud manusia dalam hubungan sosial. Bukankah masyarakat kosmopolitan sulit menghindar dari percakapan maya lewat layar? ”Dua ribu tahun lalu wajah Yesus dan murid-muridnya tidak ada yang benar-benar tahu. Dengan monitor saya mencoba memberikan penje­las­an,” kata Indra.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus