Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eep Saefulloh Fatah
Pemerhati politik
Saya yakin hari-hari ini Anda sedang merasa dikepung banyak janji. Janji itu terpampang di poster, spanduk, baliho, bendera, dan beragam atribut kampanye kandidat dan partai di jalan-jalan. Janji itu juga diudarakan lewat iklan televisi, radio, dan media cetak. Sejak 16 Maret 2009 lalu, janji itu juga disuarakan lewat arak-arakan dan panggung kampanye.
Apa sumbangan semua ingar-bingar itu untuk sisi kebahasaan? Sebuah penelitian serius tentu saja diperlukan untuk merumuskan jawaban akurat. Namun jawaban awal bisa kita ajukan.
Saya sungguh khawatir bahwa hiruk-pikuk pemilu tak punya peranan bagi pengayaan bahasa. Alih-alih, prosesi lima tahunan ini justru berperan memperkuat gejala pendangkalan bahasa. Pendangkalan terjadi lewat daya ungkap bahasa yang seragam, kemiskinan diksi, dan kegagalan menampilkan bahasa berdaya tarik. Bahkan, masa pemilu jangan-jangan menandai degradasi fungsi sosial bahasa. Sebab, masyarakat boleh jadi merumuskan masa pemilu sebagai musim semi janji-janji kosong dan kebohongan yang dikemas manis.
Terlepas dari itu, sesungguhnya ada satu aspek kebahasaan yang menarik. Pemilu dalam batas-batas tertentu bisa kita sederhanakan sebagai pertarungan ”akan” melawan ”sudah”.
Di satu sisi, para politikus yang sudah atau sedang berkuasa dituntut menggunakan ”sudah” untuk menegaskan kelayakan mereka. Semakin tandas mereka membeberkan ”sudah”, semakin tinggi kelayakan mereka. Di sisi lain, para politikus yang belum beroleh kesempatan berkuasa akan mendayagunakan ”akan” sebagai semacam permintaan diberi kesempatan.
Dalam kerangka itu, ada dua persoalan kebahasaan mengemuka: tak sensitifnya bahasa Indonesia pada penanda waktu, dan terlampau pendeknya ingatan para pengguna bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia punya kecenderungan menjadi ”bahasa yang tak terlampau sadar waktu”. Bahasa Inggris, sekadar sebagai pembanding, memiliki tata ungkap baku mengenai masa lampau (past tenses), masa kini (present tenses), dan masa datang (future tenses), atau gabungan di antara satu dan lainnya. Tata ungkap baku ini membatin dalam perubahan kata kerja dan penambahan kata penyerta sehingga mudah dikenali dan mengefisienkan pengungkapan.
Sementara itu, bahasa Indonesia tak mengenal tata ungkap baku itu. Alhasil, para penggunanya mau tak mau harus menyertakan tambahan penanda waktu untuk menandaskan titimasa dalam ungkapannya. Hilangnya penanda waktu berpotensi mengaburkan makna. Tapi penambahan keterangan waktu membuat inefisiensi pengungkapan tak terelakkan.
Saya khawatir bahwa absennya tata ungkap baku itu bukan perkara teknis dengan konsekuensi teknis belaka. Jangan-jangan, tanpa kita sadari, tata bahasa itu mewakili penyakit kebudayaan yang lebih luas. Penyair Rendra menyebutnya sebagai ”bangsa yang melulu berkutat dengan masa kini sambil tak pandai menyusun tata buku masa lalu dan rancang biru masa depan”.
Ketidakpekaan pada waktu itu disokong pula oleh pendeknya ingatan kolektif para pengguna bahasa Indonesia. Indonesia terkemuka sebagai bangsa yang gampang melupakan sekaligus gampang memaafkan. Karena itu, seorang diktator yang bau busuk kekuasaannya masih tercium dengan cepat dipahlawankan.
Karena itu, seorang yang gagal mengelola kekuasaannya untuk kemaslahatan orang banyak bisa dielu-elukan sebagai pemimpin rakyat. Karena itulah, orang-orang yang di masa lampau (yang dekat ataupun jauh) menjadi penguasa bisa dibiarkan untuk terus-menerus berkampanye menggunakan ”akan” sambil abai pada ”sudah”.
Begitulah. Para calon pemilih yang tak pandai memelihara dan memanjangkan ingatannya cenderung tak sadar pada perbedaan antara ”akan” dan ”sudah”. Inilah yang hari-hari ini dimanfaatkan para kandidat dengan riang. Pembicaraan mengenai incumbent (pejabat yang sedang berkuasa) melawan para penantang pun berlangsung hitam-putih: Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla melawan sisanya.
Bukankah Megawati, Sutiyoso, Wiranto, Sultan Hamengku Buwono X, Rizal Ramli, Hidayat Nur Wahid, dan Prabowo Subianto pun sejatinya pernah atau sedang berkuasa pada level yang beragam? Jika demikian halnya, bukankah selayaknya kita juga menuntut apa yang ”sudah” dari mereka dan tak membiarkan mereka meninabobokan kita dengan sihir kata ”akan”?
Maka, di tengah kepungan banyak janji hari-hari ini, ada baiknya tak kita biarkan para kandidat menjanjikan banyak ”akan” sambil tak mempertanggungjawabkan segenap yang ”sudah”. Lalu, selepas pemilihan umum, kita dengan sigap menjadi para penagih janji mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo