Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ledakan Dinamit itu Bernama Berandal

Film ketiga Gareth Evans semakin besar, megah, kolosal, dan menggebrak. Melibatkan puluhan aktor papan atas Indonesia dan Jepang.

17 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Raid 2 Berandal
Sutradara dan penulis skenario: Gareth Evans
Pemain: Iko Uwais, Arifin Putra, Tio Pakusadewo, Oka Antara, Ryuhei Matsuda, Kenichi Endo, Kazuki Kitamura, Yayan Ruhian, Alex Abbad, Julie Estelle, Cok Simbara, Donny Alamsyah
Produksi: Stage 6, XYZ Films, Merantau Films

Sebuah dunia cerita. Ini bukan Jakarta. Bukan pula Indonesia. Katakanlah ini adalah dunia antah-berantah. Atau bayangkanlah ini dunia komik hasil goretan Gareth Evans di atas kanvas yang sangat luas bernama layar perak dengan tokoh-tokoh yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan pencak silat sebagai alat bela diri.

Hanya beberapa jam setelah Rama (Iko Uwais) berhasil menggempur preman yang bercokol di satu gedung pimpinan Tama (Ray Sahetapi) pada film The Raid (2011), ternyata tugasnya belum selesai. Bos polisi Bunawar (Cok Simbara) menugasi Rama menyusup ke organisasi gangster pimpinan Bangun (Tio Pakusadewo). "Kota ini dibagi dua: wilayah geng lokal yang dipimpin Bangun dan wilayah Goto, keluarga Jepang," kata Bunawar membuka suasana tidak nyaman itu.

Setelah menemukan mayat para polisi yang habis dihajar (dalam film The Raid) di dalam sebuah truk, dan setelah mengetahui Tama dan pasukannya habis dilibas Rama, maka, "Reza dan anak buahnya akan bertindak," Bunawar mengingatkan Rama. Reza adalah pemimpin polisi korup yang hidup mesra dengan para gangster. "Kalau kita enggak segera bertindak, lu dan keluarga lu akan hilang," ujar Bunawar. Rama merasa tak punya pilihan. Dia setuju menyamar menjadi seorang narapidana bernama Yuda dan menyusup ke dunia mafia mencari bukti bahwa Reza (Roy Marten), bos polisi rekan Bunawar, adalah polisi korup.

Langkah pertama: Rama alias Yuda masuk penjara untuk memperoleh kepercayaan Ucok (Arifin Putra), putra Bangun yang sedang bercokol di situ dan berupaya membangun "kreditasi" kejantanannya di antara para preman dan jagoan. Dengan menerabas puluhan narapidana sendirian dalam sebuah adegan pertarungan terpanjang dan terdahsyat dalam sejarah film Indonesia, Rama akhirnya berhasil menjadi kepercayaan dan diangkat sebagai tangan kanan Ucok. Tentu saja Rama harus melalui uji coba gaya preman kota: ditelanjangi, dicek setiap jejak dalam tubuhnya, siapa tahu ada kabel atau cip yang terselip di organ tubuhnya yang bisa merekam atau melacak segala isi perut organisasi mereka. Setelah itu, beres. Rama berhasil masuk ke jantung organisasi. Dia mendapat sebuah apartemen keren serta mobil dan pakaian yang mentereng.

Problem dimulai ketika Ucok, si tampan anak manja yang merasa berhak memperoleh apa yang diinginkannya kapan dan di mana saja, merengek. Dia menuntut kepercayaan lebih dari ayahnya. Ucok merasa tugasnya sungguh "ringan" (menagih duit dari berbagai "pengusaha" yang mereka beri perlindungan, misalnya rumah produksi film porno). Tapi sang ayah tahu temperamen anak tunggalnya. Permintaan itu ditolak. "Belum waktunya, Cok." Lebih jauh lagi, anak kolokan ini juga tak tahan melihat gaya si bokap yang bisa hidup damai bersama kelompok Jepang pimpinan Goto (Kenichi Endo). Untuk anak yang belum tahu cara membangun sesuatu dari nol, segala problem dia diselesaikan dengan merebut dan membinasakan. Sikap brutal inilah yang justru sedang dihindari Bangun—seperti juga sikap Vito Corleone dalam The Godfather—yang memilih hidup berdampingan dengan damai dengan bos mafia lain adalah pilihan paling bijak.

The Raid 2: Berandal mungkin lebih layak disebut sebagai spin-off daripada sekuel karena ini film yang mandiri yang menggunakan karakter yang sama. The Raid 2 tidak sepenuhnya menjadi lanjutan dari film The Raid, kecuali tokoh Rama tetap protagonis, seorang polisi berhati putih, seorang jagoan yang bisa melumat segerombolan penjahat sendirian cukup dengan ilmu silat. Pisau, golok, machete, pemukul bisbol, palu, pistol, dan kerambit bisa dikalahkannya. Dia masih jagoan kita. Istri Rama juga muncul sebentar. Kini dia sudah melahirkan bayi dan hanya berbicara sekalimat melalui telepon. Masih ada sang bapak (Henky Solaiman) yang menggendong sang cucu. Juga ada abangnya, Andi (Donny Alamsyah), meski hanya sekelebat.

Selebihnya, kita bertemu dengan para penguasa dunia remang kota antah-berantah. Sebuah kota yang dikuasai kelompok Bangun dan kelompok Goto, sementara "generasi baru" bernama Bejo (Alex Abbad) berambisi membantai kedua pemimpin itu dan menjadi satu-satunya penguasa kota. Bejo dan anak buahnya mendekati Ucok, memberi segala senjata dan kesempatan untuk menyelinap, berbalik mengkhianati siapa saja yang menghalangi jalan pada kekuasaan. Bagi Ucok, Bejo yang dikenal memiliki kebrutalan tanpa tandingan ini adalah paspor menuju kejayaan, meski itu berarti dia harus meninggalkan kerajaan ayahnya.

Kali ini sutradara dan penulis skenario Gareth Evans memberikan 148 menit cerita yang padat dengan drama, lebih dari tiga lusin karakter baru (dan ratusan figuran serta mobil-mobil yang hancur ditabrak), juga tentu saja menu penting untuk mencapai puncak "sinemagasme"—ini cuma istilah karangan saya—adalah pertarungan silat yang panjang dan penuh rangkaian gerakan baru.

Evans menyadari bahwa dia tak lagi terkungkung di dalam gedung seperti pada film sebelumnya. Kini dia bisa menjelajahi pertarungan di udara terbuka. Tapi bukan Gareth Evans jika dia tak membuat adegan perkelahian menjadi serangkaian gambar estetik. Adegan perkelahian Rama dan Ucok melawan serombongan narapidana—yang kemudian ditambah lagi sepasukan polisi—di lapangan penjara yang penuh lumpur adalah salah satu adegan kolosal yang dahsyat, keras, sekaligus estetis. Para lelaki yang diselimuti lumpur itu tetap berkelahi bak di lapangan Kurusetra dan kamera menyorot mereka dari berbagai sudut. Ketika kamera menyorot tubuh-tubuh penuh lumpur itu dari atas, layar seolah-olah menyajikan serangkaian patung tembaga yang bergerak dan bergulat. Epik!

Evans tampaknya selalu tertantang menciptakan adegan perkelahian dalam ruang yang sempit dan klaustrofobik. Kali ini, bukan hanya di lorong-lorong gedung rongsok, para tokoh juga harus berkelahi di dalam toilet, dapur, warung mi, restoran (ya, salah satu penjahat wajahnya hancur karena dipanggang di atas oven), dan, yang paling mengesankan, adalah adegan tujuh menit perkelahian di dalam mobil yang sedang berjalan. Sementara Eka (Oka Antara), tangan kanan Bangun, sibuk kejar-mengejar dan tembak-menembak melawan musuhnya, Rama menghantam tiga begundal di dalam mobil sementara mobil tetap berjalan. Adegan ini bagai ledakan dinamit. Keren. Bukan hanya karena saling tabrak dan kejar-mengejar itu bisa terjadi di jalan protokol seperti Jalan Sudirman, adegan ini juga melibatkan runtuhnya sebuah terminal busway hingga hancur berantakan.

Di dalam semua adegan gedebak-gedebuk ini, kita mengenal para penjahat baru yang sesekali mengingatkan kita pada gaya Quentin Tarantino menciptakan karakter-karakter penjahat: keren, jagoan, dan mempunyai latar belakang yang bisa digali menjadi satu subplot tersendiri. Bejo, anak muda penuh ambisi yang selalu mengenakan jas panjang, sarung tangan kulit, dan kacamata hitam, gemar mengiris dengan pisau cutter. Selain itu, ada abang-adik Hammer Girl (Julie Estelle, satu-satunya perempuan dalam pesta testosteron ini), cewek jagoan bisu yang bersenjata dua palu, dan Baseball Bat Man (Very Tri Yulisman), yang menghajar musuhnya dengan pemukul bisbol dengan brutal. Ada Sang Pembunuh (Cecep Arif Rahman), jagoan silat yang menggunakan kerambit, pisau yang bentuknya terinspirasi dari kuku macan. Dan, terakhir, tentu saja kita bertemu lagi dengan Yayan Ruhian, yang kini berdandan seperti gembel dengan rambut jabrik dan punya bekas istri secantik, Marsha Timothy (namanya juga dunia rekaan, ya, kita percaya sajalah). Yayan berperan sebagai Prakoso, pembunuh berdarah dingin yang hanya bergerak jika ada aba-aba dari Bangun.

Begitu banyak jagoan. Begitu banyak pembunuh. Beberapa karakter, seperti Hammer Girl, terasa memiliki napas Quentin Tarantino. Mereka semua muncul dan beraksi seperti di atas kanvas Evans. Berkali-kali dihajar, mereka mampus dan Rama tetap berdiri dengan utuh dan perkasa. Dan saya belum lagi masuk ke wilayah geng Jepang, Goto, yang punya dua jagoan cakep yang diperankan Kazuki Kitamura dan Ryuhei Matsuda. Semula memang kita harus teliti dan berhati-hati, membuat diagram di dalam kepala, siapa tokoh yang barusan muncul dan siapa yang dia khianati. Tapi plot Gareth Evans sangat mulus sekaligus menegangkan hingga kemunculan karakter-karakter baru setiap 15 menit itu sama sekali tak mengganggu.

Evans tak hanya ingin memperlihatkan kemampuannya menyajikan kekerasan sebagai bagian cerita sebuah dunia gelap. Dia menemukan puisi di dalam kehidupan yang brutal. Wajah Prakoso, bapak dengan rambut yang tak pernah kena sampo, memandang foto anaknya dengan penuh kerinduan. Atau kematian salah seorang pembunuh yang berdebam di atas salju itu seperti bait puisi di atas darah. Salju memberi simbol bahwa penonton digiring memasuki wilayah orang-orang keji yang membunuh dengan dingin. Bahwa kini Evans menggunakan teknik slow motion menjelang sebuah adegan pertarungan panjang—tetes air serta gerak-gerik kaki dan tangan yang perlahan bersiap menghantam—yang sudah umum dalam film martial art Wong Kar Wai dan Zhang Yimou tentu menjadi sebuah hiburan bagi penggemar fanatik film silat.

Karakter di dalam film ini, seperti juga di dalam komik, jelas hitam dan putih. Tapi "hitam" dalam bangunan ciptaan Evans menjadi asyik, seru, dan magnetik. Kita jadi ingin tahu apa latar belakang sosok Ucok, Sang Pembunuh, Hammer Girl, dan Bejo. "Kami akan membuat komik yang memfokuskan bagaimana para penjahat itu bisa terbentuk menjadi pembunuh," kata Gareth Evans kepada Tempo. Sedangkan si baik adalah Iko Uwais, yang masih saja seperti malaikat yang tak pernah bisa tersentuh atau tergoda menjadi bandel sehingga dia hampir seperti seorang "super-human".

Hanya ada dua kritik kecil dalam film ini. Pertama, tampaknya Gareth Evans belum mempercayakan peran jagoan silat dengan porsi besar kepada aktris. Meski pencak silat banyak dikuasai perempuan di negeri ini, dan Evans sebagai sineas dokumenter pencak silat sangat mengetahui hal tersebut, Julie Estelle yang sungguh dahsyat itu hanya muncul beberapa kelebat di antara 148 menit. Sungguh sayang. Kami—para penggemar film silat—akan menagih "utang" kepada Evans agar film-film silat berikutnya menampilkan jagoan perempuan. Kedua, Evans, yang menulis skenario dalam bahasa Inggris, mudah-mudahan menyadari bahwa dia membutuhkan penerjemah dan editor bahasa Indonesia yang lebih greng agar dialog tidak terasa gamang. Tentu dialog bisa dipahami dengan baik, terutama ketika mereka berbahasa slang Jakarta. Tapi, begitu tokohnya berbicara bahasa Indonesia, masih ada frasa yang ganjil. Misalnya saat tokoh Pong Hardjatmo mengatakan "Harus!" sebagai jawaban dari tokoh polisi Reza (Roy Marten) yang ingin segera bertindak. Jawaban yang lebih pas mungkin adalah "Siap", "Baiklah", atau "Setuju". Atau saran lain: Evans bisa membiarkan aktornya membuat parafrasa dialog skenarionya dengan bahasa sehari-hari seperti yang dilakukan Ray Sahetapi dalam The Raid. Pasti akan terasa lebih pas.

Gareth Evans sudah meletakkan namanya di peta sinema dunia sejak The Raid (Serbuan Maut) atau The Raid: Redemption tiga tahun lalu. Berandal adalah sebuah dinamit yang bakal meledak. Bersiaplah.

Leila S. Chudori


Gareth Evans
Indonesia Telah Menciptakan Karier Sinematik Saya

Gareth Evans menggebrak. Sekali lagi.

Sutradara kelahiran Wales pada 1980 ini masih berkisah tentang polisi kesayangan kita, Rama, yang diperankan Iko Uwais, melawan dua kelompok gangster.

Dua kelompok mafia ini kebanyakan mengenakan jas dan kacamata hitam. Bahkan ada yang mengenakan jas musim dingin dan sarung tangan kulit. Mereka berbahasa Indonesia dengan slang Jakarta, kota yang menyajikan reog dan menikmati mi instan.

Lalu ada salju yang berjatuhan di sebuah gang yang penuh gerobak dagangan makanan. Di manakah kita?

"Kita di sebuah tempat yang hanya ada di dunia komik, di mana kita bisa mendorong dan melintas perbatasan dunia realisme," kata Gareth Evans kepada Tempo. "Saya ingin mendorong kemungkinan visualisasi yang ekstrem. Salju. Salju... dan penonton akan tahu itu bukan Jakarta. Itu sebuah dunia imajinasi," dia menambahkan.

Evans mengakui dia ingin menekankan nada, warna, dan suara berbeda dalam film ini. Karena itu, saya sengaja memulainya dengan adegan pembunuhan di lapangan tebu yang hening, tanpa perkelahian dan hanya monolog. Ada, "Rasa dingin pada adegan awal," ujar Evans.

Dari adegan yang mengejutkan pada detik pertama film ini, maka mengalirlah kisah Rama dengan segala pergulatannya menyamar sebagai Yuda melawan dua rombongan penjahat. Bagaimana Evans bisa menciptakan adegan mobil yang kejar-mengejar selama tujuh menit di jalan protokol seperti Jalan Sudirman yang sering ramai dan lalu lintasnya macet itu? "Saya minta izin, dan itu tak mudah," katanya, tertawa. "Syuting adegan kejar-kejaran antara Oka Antara dan para musuhnya itu berlangsung 12 hari," ujar Evans. "Tujuh puluh lima persen adegan itu dilakukan Oka dan yang sangat berbahaya dilakukan stuntman," ucap Evans memuji Oka yang sangat profesional.

Dengan begitu banyak pemain papan atas Indonesia dan Jepang serta adegan perkelahian yang memakan banyak benda hancur, film yang proses produksinya berlangsung tujuh bulan itu memakan ongkos US$ 4,5 juta (sekitar Rp 50 miliar). Hak edar film ini sudah dibeli oleh Sony Pictures ke berbagai negara di dunia dan akan tayang serentak pada 28 Maret tahun ini. Sesudah tampil di Sundance Film Festival, film ini akan ditayangkan di SXSW Festival di Amerika Serikat.

Tapi, sementara sibuk dengan segala kegiatan ini, Evans mengaku sudah ada dua produksi film di kantongnya yang sudah harus dimulai. Yang pertama adalah proyek film yang diproduksi Universal Studio, sebuah biopik tentang seorang pegulat UFC. "Ini ide dari mereka yang ditawarkan kepada saya. Saya membaca dan tertarik menyutradarainya." Yang kedua adalah film laga yang diproduksi dari studio Amerika. "Iko dan Yayan akan selalu saya libatkan," ujarnya menyebutkan dua atlet silat yang kini namanya berkibar sejak film pertama Evans berjudul Merantau diproduksi itu.

Meski ada dua film produksi Amerika yang akan disutradarainya, Evans mengaku dia juga menyiapkan film produksi Indonesia berikutnya. "Biar bagaimana, Indonesia telah menciptakan karier sinematik saya. Saya pasti akan selalu membuat film produksi Indonesia," kata suami Rangga Maya Barack dan ayah dari si kecil Sophie ini. "Suatu hari saya juga ingin membuat film anak-anak yang bisa ditonton anak saya," ujarnya, serius. Itu pasti tantangan terbesar untuk sutradara film laga ini.

Evans mengakui kedua seri film The Raid adalah festival "sosis"—demikian dia menyebutnya—meski sudah ada sekelebat tokoh Hammer Girl yang diperankan Julie Estelle. "Suatu hari saya ingin menampilkan Julie dalam peran yang lebih besar lagi," katanya. "Saya berjanji menampilkan jagoan perempuan." Penonton akan menagihnya dengan gigih seperti penagih kartu kredit, Gareth!

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus