Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Instalasi Knalpot sampai Video Spa

Gedung Pos Kota Tua dialihfungsikan menjadi ruang seni. Pameran perdananya sekaligus sebagai pembuka dimulainya proyek raksasa: revitalisasi Kota Tua Jakarta.

17 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBANYAK 300 knalpot rongsokan sepeda motor dirangkai perupa I Made Wianta sehingga menyerupai pepohonan, yang batangnya bercabang urakan-semrawut ke sana-kemari. Instalasi setinggi 3,2 meter itu bertumpu pada satu pokok besi hitam berongga. Pada saat tertentu, ketika raungan mesin yang keluar dari pengeras suara menderu kencang, asap putih akan keluar, menjalar dari pokok hingga keluar di lubang-lubang knalpot. "Ini adalah cerminan hidup kita yang penuh dengan polusi," kata Wianta.

Karya Wianta berjudul Air Pollution ini salah satu karya paling menarik di lantai 2 Gedung Pos Kota Tua Jakarta, yang kini menjadi galeri dengan nama Galeria Fatahillah-Jakarta Art Space. Ada 46 seniman yang memajang karyanya, dari Nasirun, Entang Wiharso, Heri Dono, Davy Linggar, Melati Suryodarmo, Teguh Ostenrik, hingga Nyoman Nuarta. Para seniman dibebaskan membuat dan memilih karya yang hendak dipajang.

Pengalihfungsian lantai 2 Gedung Pos Kota Tua menjadi sebuah galeri adalah bagian dari rencana revitalisasi besar Kota Tua. Pameran ini hasil kerja sama antara PT Pembangunan Kota Tua Jakarta (Old Town Revitalization Corporation) dan Kelompok Pelestarian Budaya Kota Tua Jakarta (Jakarta Endowment for Art & Heritage). Dua organisasi ini baru dibentuk. Keduanya menjadi inisiator dan motor revitalisasi.

PT Pembangunan Kota Tua Jakarta merupakan sebuah konsorsium kolaborasi antara sembilan perusahaan swasta, dua badan usaha milik negara, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Konsorsium ini berniat mengubah wajah Kota Tua dari daerah Harco Glodok, Taman Fatahillah, hingga Pelabuhan Sunda Kelapa.

Pameran dan Pesta Kuliner Fatahillah Food Festival adalah program pertama konsorsium itu. "Ini adalah pameran tanpa kuratorial. Terserah pada seniman bagaimana mereka menginterpretasi kota," ujar anggota panitia pameran Hery Pemad. Hery Pemad Foundation bekerja sama dengan Museum Oey Hong Djien memilih dan mengerahkan berbagai seniman untuk mengisi galeri, yang rencananya setiap enam bulan akan berganti materi. Oey Hong Djien sendiri menjadi penasihat bagi galeri baru itu.

Rata-rata yang dipamerkan pada sajian perdana ini adalah karya lama. Teguh Ostenrik, misalnya, memasang instalasi pecahan wajan di salah satu dinding pameran. Beberapa tahun lalu di Pacific Place, secara fantastis ia mengantung-gantungkan pecahan wajan dari langit-langit plaza yang amat tinggi. Panjang-pendek gantungan itu tidak sama, sehingga menimbulkan komposisi yang mengejutkan. Kini ia menyekrup rangkaian puluhan pecahan wajan ke dinding sepanjang 10 meter.

Atau masuklah ke ruangan tempat Khrisna Murti menampilkan karya video lamanya berjudul Video Spa. Di sana ada dua kursi malas selonjor seperti yang ada di tempat spa atau pijat refleksi. Anda bersama rekan Anda dapat duduk leyeh-leyeh di situ. Dan dua pemijat akan memijat kaki Anda dan rekan Anda. Sembari dipijat, Anda dapat menonton tayangan seorang kerempeng dengan tubuh disaput warna keemasan di alam terbuka tengah melakukan gerakan semacam relaksasi yoga. Lucu.

Sebuah karya baru yang kuat adalah instalasi Aditya Novali mengenai identifikasi Indonesia. Ia menampilkan tiga instalasi, The Contemporary, The Chaos, dan The Process. Dalam The Contemporary, ia menggambar Indonesia dengan lampu-lampu LED. Di bawah layar kaca yang menampilkan kepulauan Indonesia, ada 34 sakelar. Jika satu sakelar dimatikan, satu provinsi akan tak tampak dalam layar. "Kalau saya matikan banyak sakelar, apakah masih terlihat bentuk Indonesia?"

Dalam The Chaos, Aditya membuat 34 lempeng provinsi yang kemudian diceburkan ke akuarium dengan air yang berputar-putar. Kepulauan Nusantara hancur tak beraturan dibuatnya. Adapun dalam The Process, ia menggambar Indonesia dengan lilin yang dipapar di atas lempengan besi. Lempeng itu bisa dipanaskan. Pada suhu tertentu, gambar Indonesia akan luntur seiring dengan melelehnya lilin.

Di sini Aditya menawarkan semacam teka-teki dengan mempermainkan memori tentang gambaran kepulauan Nusantara. Warga Indonesia sudah pasti tahu bentuk pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Namun apa jadinya jika kepulauan itu dipecah sesuai dengan batas provinsi. Adakah yang mengingat bentuk Jambi, Kalimantan Utara, atau Papua Barat? "Saya bermaksud memberi semacam renungan tentang Indonesia melalui instalasi," ujarnya.

Joko Widodo dalam peresmian mengatakan, semenjak menjadi Gubernur Jakarta, ia berharap akan melakukan pembenahan Kota Tua. Apalagi setelah ia berkunjung ke Cina melihat berbagai lokasi heritage. Gayung bersambut. Suatu hari bos Grup Jababeka, S.D. Darmono, bertandang ke kantornya, mengutarakan gagasan mengenai revitalisasi. "Sudah tidak perlu banyak rapat. Langsung kerja," katanya dalam pidato peresmian.

Darmono kemudian mendirikan PT Pembangunan Kota Tua. Ia menghimpun sejumlah konglomerat terlibat dalam konsorsium. Mereka yang tertarik antara lain pendiri Plaza Indonesia, Boyke Gozali; Murdaya Poo; pendiri Saratoga Investama, Edwin Soeryadjaya; CEO Grup Agung Sedayu, Alexander Kusuma; Direktur Grup Ciputra, Budiarsa Sastrawinata; Presiden Direktur PT Ciputra, Surya Harun Hajadi; Presiden Direktur PT Intiland Hendro Gondokusumo; pendiri Grup Podomoro, Trihatma Haliman; dan Presiden Golden Agri Resources Muktar Widjaja.

Darmono sendiri menjadi presiden konsorsium. Adapun Lin Che Wei, analis ekonomi dari Independent Research and Advisory Indonesia dan otak sesungguhnya di balik gagasan revitalisasi, didaulat menjadi CEO baik di PT Pembangunan Kota Tua Jakarta maupun Jakarta Endowment for Art & Heritage. Che Wei mengatakan, kendati bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi, konsorsium tak mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk mengubah wajah Kota Tua.

"Justru konsorsium datang membawa dana," ujarnya. APBD, kata dia, dipakai hanya jika terkait dengan pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan trotoar. "Di konsorsium itu kami bikin rencana, pembangunan mana yang diprioritaskan," ucapnya. Seluruh proyek ini juga melibatkan budayawan Goenawan Mohamad, arsitek senior Han Awal, dan mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil sebagai penasihat pembangunan.

Pada tahap awal, konsorsium berencana merapikan daerah Harco Glodok. "Kalau ada yang jual ruko, kami bisa beli untuk dibangun," ujarnya. Daerah Pinangsia, Taman Sari, hendak diubah menjadi pusat aktivitas keuangan. "Kami utamakan kantor perbankan dan perusahaan yang bergerak di sektor keuangan," ucapnya. Tujuannya agar daerah Kota Tua tetap "berputar" pada hari-hari kerja. Bertambahnya kantor di sana serta-merta akan merangsang pertumbuhan bisnis. "Orang kerja kan pasti butuh makan, nanti akan muncul banyak restoran," katanya.

Gedung Pos Kota Tua terhitung per 1 Januari 2014 sudah berpindah tangan ke Jakarta Endowment for Art & Heritage. Dalam tiga bulan, ruangan seluas seperempat lapangan bola itu disulap jadi ruang pameran. Menurut Andra Matin, arsitek yang dipesan Jakarta Endowment for Art & Heritage untuk merenovasi Gedung Pos, bangunan itu masih sangat kuat kendati dibangun lebih dari seabad lalu. "Materi bangunannya sangat kuat," ujarnya. Dalam merenovasi Gedung Pos, sebisa mungkin Andra tak mengubah bentuk asli bangunan. Dia memberi ruang kosong antara dinding asli dan dinding baru untuk menjaga keaslian bentuk bangunan.

"Setelah Gedung Pos, ada 85 bangunan yang akan menjadi sasaran revitalisasi kami sampai 2015," kata Teten Masduki, anggota Jakarta Endowment for Art & Heritage. Untuk galeri sendiri, Oey Hong Djien, sebagai penasihat, dalam katalog mengatakan, "Semua stakeholder seharusnya bersatu bahu-membahu merealisasi galeri bertaraf internasional di Kota Tua ini. Jika tidak, kita akan tertinggal oleh negara-negara lain, bahkan oleh Timur Tengah."

Ananda Badudu, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus