Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Legenda Sabet Jagat Pakeliran

Dia berani membawa alat musik modern ke dunia pakeliran. Kepiawaian memainkan wayang membuat Ki Manteb Soedharsono memperoleh berbagai penghargaan.

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tepuk tangan membahana di salah satu ruangan di Hotel Imperial Tokyo, Jepang, 19 Mei silam. Para tamu yang menghadiri malam penghargaan Nikkei Asia Prize Award 2010 itu terkesima melihat Ki Manteb Soedharsono memainkan dua wayang kulit: Gatotkaca dan raksasa jahat. Bagi sang dalang, penghargaan itu merupakan kehormatan yang tak pernah terbayang sebelumnya.

Rasa bangga semakin membuncah ketika dia turun dari podium dan memberi hormat kepada Perdana Menteri Jepang saat itu, Yukio Hatoyama, yang duduk di barisan terdepan. Tidak disangka, sang Perdana Menteri ikut berdiri dan membalas hormatnya. Tak pelak, semua ha­dirin pun turut menguja.

Penghargaan semacam itu tidak diterima oleh dua peraih award yang lain. ”Sulit mengungkapkan perasaan saya waktu itu,” ujar dalang kelahiran Jatimalang, Kelurahan Palur, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, ini.

Nikkei Award adalah penghargaan atas prestasi individu atau kelompok di Asia tapi bukan berasal dari Jepang. Penghargaan ini diluncurkan pertama kali pada 1996 oleh Nikkei Inc., per­usahaan yang menerbitkan surat kabar ­bisnis terkemuka di Jepang, Nikkei. ­Perusahaan ini juga bergerak di bidang jasa informasi online, penerbitan buku, dan menjadi nama indeks saham di Tokyo yang banyak diamati investor.

Ki Manteb Soedharsono menerima penghargaan itu atas dedikasi dan peng­abdiannya di dunia pakeliran selama 50 tahun. Pemberian penghargaan Nikkei Asia Prize kali ini merupakan yang kelima belas kalinya. Ki Manteb adalah orang keempat dari Indonesia yang menerima penghargaan ini, setelah ekonom senior Widjojo Nitisastro, aktris Christine Hakim, serta peneliti dan penggiat pelestarian kawasan Kotagede, Laretna T. Adhisakti.

l l l

Mengenakan celana panjang hitam dan kemeja batik cokelat lengan pendek, Ki Manteb Soedharsono masih terlihat bugar di usia 62 tahun. Wartawan Tempo Ahmad Rafiq, yang menemuinya dua pekan lalu, langsung diajak ke ruang di bagian belakang rumah yang menjadi tempat favorit pencinta motor antik ini.

Ruang itu sebuah pendapa yang asri dan cukup luas. Seperangkat gamelan, layar mendalang atau pakeliran, dan sebuah kotak dari kayu jati lengkap dengan koleksi wayang tertata apik di sana. Ditemani perangkat mendalang itulah Ki Manteb biasa bercengkerama dengan setiap tamu yang berkunjung ke kediamannya di Perumahan Permata Buana, Pohudan, Colomadu, Karanganyar, Surakarta.

Di salah satu sudut ruangan terdapat sebuah meja kecil. Di atasnya terletak dua buah mesin ketik elektrik putih. Dengan mesin ketik tersebut, Ki Manteb biasa menggubah sebuah cerita wayang yang merupakan hasil pengembangan dari cerita pakem dalam pewayangan. ”Sudah banyak carangan yang saya buat,” katanya.

Sebenarnya, dua kali sudah istrinya membelikan laptop untuk lebih memudahkannya membuat carangan. Namun dia menggeletakkan laptop itu karena tak terbiasa menggunakannya. ”Naskah yang sudah saya buat sering hilang karena salah pencet,” ujarnya sembari terkekeh. Jadilah mesin ketik elektrik tersebut menemaninya untuk terus menulis naskah pakeliran.

Salah satu naskah carangan yang dibuat dan menjadi kegemarannya adalah Semar Gugat. Lakon tersebut merupakan pengembangan dari salah satu lakon dalam pewayangan: Ismoyo Maneges. Ki Manteb menjelaskan cerita Semar Gugat mencerminkan jeritan rakyat kecil kepada penguasa yang lalai menjalankan tugas. Lakon ini biasanya dia mainkan untuk mengkritik pemerintah ataupun wakil rakyat di DPR.

Politikus saat ini, menurut Ki Manteb, banyak yang mirip tokoh wa­yang Sengkuni. Patih Kerajaan Hastina ini dikenal memiliki sifat licik, penghasut, dan bermuka dua. Dia juga kerap menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya. ”Koalisi-koalisi politik muncul dan bubar karena para poli­tikus tidak memiliki konsistensi,” katanya.

Perilaku politikus serta pejabat pe­merintah yang korup, menurut dia, menjadi pemicu malapetaka di negeri ini. Tak mengherankan bila sempat muncul pemikiran di benak maestro pakeliran ini untuk meruwat bangsa agar terhindar dari segala malapetaka. ”Seperti ramalan Ranggawarsita, bangsa ini tengah dilanda kala-bendhu dan kala-durjana,” dia menambahkan. Namun dia mengurungkan niatnya. Tanpa ada iktikad baik dari para elite politik, ruwatan tersebut menurutnya tidak akan banyak berpengaruh. ”Hanya menghabiskan tenaga serta dupa.”

Dalam soal ruwat, Ki Manteb memang dikenal sebagai salah satu dalang ruwat yang andal. Tak hanya meruwat orang, dia kerap dipercaya meruwat berbagai macam hal. Salah satu ”proyek” yang cukup besar adalah meruwat Hotel JW Marriott Jakarta, yang sering menjadi sasaran bom teroris.

Keahlian meruwat didapatnya dari keturunan dan menjalani lelaku. Dia harus pula memenuhi syarat untuk menjadi dalang ruwat, antara lain tidak boleh jejaka, duda, ataupun beristri lebih dari satu. Syarat itu membuatnya tidak pernah mempraktekkan poligami meski pernah menikah enam kali. Pernikahan keenam dilakukan pada awal 2006, beberapa bulan setelah istri kelimanya meninggal.

Kepiawaian Ki Manteb Soedharsono di dunia pakeliran tak lepas dari peran mendiang ayahnya, Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo, dalang yang cukup dikenal di daerah kelahirannya. Sedangkan ibunya penabuh gamelan atau biasa disebut niyaga. Sejak usia 10 tahun, dia sudah mahir menatah wayang dan memainkan berbagai gamelan. Dalam usia 17 tahun, dia sudah mulai mementaskan wayang kulit.

Untuk mengasah kemampuannya, Ki Manteb juga belajar memainkan wa­yang kulit dari beberapa dalang tersohor masa itu. Dia berguru kepada Ki Nartosabdho yang piawai mengembangkan cerita, Ki Warseno, seorang dalang ruwat yang sangat terkenal, dan Ki Anom Suroto yang mahir olah suara.

Ilmu dari para pakar itu membuat Ki Manteb Soedharsono lebih percaya diri. Namun dia berusaha keras menemukan kelebihan diri sendiri yang tidak dimi­liki dalang lain. Upaya itu berbuah manis. Di tangannya, wayang yang terbuat dari selembar kulit mampu bergerak seolah memiliki nyawa. Dalam dunia pedalangan, teknik menggerakkan wayang itu disebut sabetan.

Teknik sabetan kemudian ­dipelajari dengan lebih serius. Dia harus mempelajari terperinci sifat setiap tokoh wa­yang. Dalam satu kotak wayang, tidak kurang dari 300 tokoh yang harus dia ketahui sifat serta wataknya. ”Tidak sekadar memahami sifatnya, tapi harus mampu menjiwai,” katanya.

l l l

Julukan ”Dalang Oye” didapatnya ketika dia berhasil menjadi juara Pakeliran Padat se-Surakarta pada 1982. Sejak itu permintaan mendalang mengalir dari berbagai kalangan: petani, pejabat, pengusaha, hingga organisasi masyara­kat. Tahun 1990-an merupakan masa ke­emasan mendalang. Bahkan pada 1993 dia pernah mendapat order setiap malam selama tujuh bulan penuh. ”Ke­cuali malam Selasa Legi, karena saya guna­kan untuk istirahat,” ujarnya. Selasa Legi merupakan weton alias hari lahir dalang yang sudah memiliki 15 cucu itu.

Nama Ki Manteb Soedharsono semakin moncer ketika dia berani menabrak aturan baku dengan membawa alat musik modern untuk mendukung keindahan sabetan yang dimainkannya. Tambur, biola, trompet, atau simbal pun sering menemaninya di pentas. Lampu sorot 1.000 watt yang diguna­kannya ternyata juga membuat wayang lebih menarik dan dinamis.

Kepiawaian Ki Manteb dalam olah sabet tidak hanya dalam adegan bertarung, namun juga meliputi adegan menari, sedih, gembira, terkejut, mengantuk, dan sebagainya. Selain itu, ia menciptakan adegan flashback, yang sebelumnya hanya dikenal dalam dunia perfilman dan karya sastra.

Ketenaran membawa Ki Manteb melanglang buana. Dia beberapa kali tampil mendalang di Amerika Serikat, Spanyol, Jerman, Jepang, Suriname, Belanda, Prancis, dan Belgia. Ketika wayang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible of Heritage of Humanity, Ki Manteb terpilih mewakili komunitas dalang Indonesia untuk menerima penghargaan tersebut.

Tak hanya piawai mengarang ceri­ta dan jago sabetan, Ki Manteb dikenal memiliki stamina kuda. Dia pernah me­mecahkan rekor mendalang selama 24 jam 28 menit tanpa henti. Namun dia juga pernah mendalang dengan waktu yang sangat singkat: tiga menit dua ­detik.

Kini jadwal mendalang Ki Manteb sudah jauh berkurang. Bukan karena fisiknya tak lagi mendukung, melain­kan karena permintaan mendalang makin menyusut, terutama sejak era reformasi. ”Mungkin masyarakat lebih memi­lih membelanjakan uang untuk makan daripada menanggap wayang,” bapak enam anak tersebut setengah mengeluh. Sekarang tiap bulan dia hanya mendapat 10 kali panggilan mendalang.

Saat tidak ada panggilan, Ki Manteb menyibukkan diri berlatih di ruang kerjanya. ”Tidak ada kata berhenti untuk selalu berlatih,” katanya. Dia memang telah bertekad menghabiskan sisa hidupnya di dunia pakeliran.

Suryani Ika Sari, Ahmad Rafiq (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus