Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA hakim korup yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Sumber Waras dengan bersemangat menyanyikan paduan suara mars pergerakan. Mereka ingin melakukan revolusi. Revolusi mental, menurut para hakim, belum cukup mengubah negara. Diperlukan revolusi hukum.
Inilah lelucon terbaru Teater Gandrik. Hakim-hakim bermasalah yang kemudian gila menganggap bahwa mereka mampu membenahi negara. Tema rumah sakit jiwa bukan tema baru dalam perteateran kita. Teater Koma, misalnya, pernah mementaskan Rumah Sakit Jiwa. Tema pengadilan juga telah banyak disajikan dalam naskah. Katakanlah Mahkamah karya Asrul Sani. Tapi tema hakim di pusat rehabilitasi sakit Jiwa mungkin baru dipakai oleh Gandrik.
Gandrik bukan jenis kelompok teater realis yang menghadirkan peristiwa dramatis dengan cara menyajikan adegan-adegan yang memiliki sebab-akibat ketat di panggung. Teater ini sekarang lebih banyak memberi porsi kepada "teater pendapat" yang penuh uraian jenaka. Revolusi ini dipimpin hakim Sarmin (Butet Kertaradjasa), yang pernah membebaskan seorang jenderal dari tuduhan korupsi. Sepanjang pertunjukan, sang hakim melontarkan aneka pikiran yang penuh pemutarbalikan logika hukum. Kocak. Juga tentu saja dengan akting yang rileks, keluar-masuk antara tokoh dan diri sendiri khas seni pemeranan ala Gandrik.
Susilo Nugroho, yang memerankan dokter Menawi Diparani, direktur rumah sakit jiwa, adalah "soul mate" Butet. Ia dan Butet adalah motor yang menjadikan plot lancar. Apalagi untuk kali ini pertunjukan Gandrik penuh kor. Seperti Teater Koma, pembukaan saja diawali kor.
Lelucon-lelucon politik Gandrik ada kalanya garing, ada kalanya cerdas. Misalnya saat dokter Menawi Diparani mengetes ingatan hakim Sarmin. Ia bertanya, "Sebutkan nama tiga menteri kabinet sekarang?" Hakim Sarmin menjawab, "Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan Ahmad Dhani." Penonton langsung tertawa. Trik-trik Gandrik membangun kedekatan sesungguhnya gampang ditebak. Sebelum pementasan, awak Gandrik selalu memantau siapa saja pesohor yang datang hingga namanya bisa disebut nanti. Di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, nama pengacara Todung Mulya Lubis menjadi bahan dialog di panggung lantaran ia terlihat menonton pertunjukan.
Agus Noor, penulis naskah, tidak menampik anggapan bahwa Hakim Sarmin menyindir polah hakim Sarpin. Hakim Sarpin menuai kontroversi ketika mengabulkan gugatan Komisaris Jenderal Budi Gunawan atas penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam naskah, sesungguhnya kor paduan suara diinginkan seperti kor klasik Barat, gregorian atau gospel. Tapi tentu itu tidak biasa dilakukan Gandrik.
Banyaknya isu sosial-politik kekinian yang dimasukkan ke pentas membuat obrolan politik terlalu ramai. Tapi, menurut Djaduk Ferianto, di situlah kekuatan Gandrik. Isu-isu kontekstual itu adalah sampiran, tidak mengurangi esensi naskah. "Aktor tidak banyak keluar dari teks, kok. Improvisasi hanya lima persen," kata Djaduk.
Yang menarik, Djaduk menggunakan delapan patung bambu berbentuk orang untuk bidang pengaturan blocking. Cukup artistik. Patung bisa digerakkan ke mana saja. Patung buatan Hary Ong Wahyu itu akhirnya diberi jubah hakim. Bagian inti adalah debat antara hakim Sarmin dan dokter Menawi Diparani tentang demokrasi, keadilan, dan posisi koruptor. Hakim Sarmin menjelaskan panjang-lebar pikiran "ngawurnya" tentang koruptor. Tapi porsinya terlalu banyak sehingga malah terkesan teater khotbah.
Di akhir, hakim Sarmin membebatkan kain merah pada tubuh dokter Menawi. Ia membunuh sang dokter. Hakim Sarmin ingin menguasai rumah sakit jiwa. Lagu Ibu Pertiwi karangan Ismail Marzuki mengiringi adegan itu. "Tidak…," ujar dokter Menawi dengan suara panjang. Ending cukup menarik. Lagu Ibu Pertiwi terasa sebagai sebuah ironi.
Shinta Maharani (yogyakarta), Seno Joko Suyono (jakarta)
Banyaknya isu sosial-politik kekinian yang dimasukkan ke pentas membuat obrolan politik terlalu ramai. Tapi, menurut Djaduk Ferianto, di situlah kekuatan Gandrik. Isu-isu kontekstual itu adalah sampiran, tidak mengurangi esensi naskah. "Aktor tidak banyak keluar dari teks, kok. Improvisasi hanya lima persen," kata Djaduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo