Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMBILAN penari melompat tinggi, lalu menjatuhkan tubuh ke lantai begitu saja di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta. Tubuh-tubuh itu terbanting, bertabrakan, atau saling tersandung tubuh penari lainnya. Mereka seolah-olah tak peduli lagi pada rasa sakit saat tubuh membentur lantai. Di belakang mereka, ribuan angka yang bertumpukan ditembakkan pada tujuh panel putih. Ramai dan awur. Saat seorang penari menabrak panel, menubruk bayangan tubuhnya sendiri, bayangan itu pun langsung menghambur pecah.
Para mahasiswa program studi seni tari Institut Kesenian Jakarta itu membawakan koreografi yang diciptakan Mikuni Yanaihara, koreografer Nibroll Dance Company dari Jepang. Mikuni pernah membawakan koreografi yang sama di Tokyo, Hanoi, dan Solo. Namun inilah pertama kalinya karya itu dibawakan oleh penari yang semuanya bukan anggota Nibroll.
Lewat pentas berjudul Real Reality ini, Mikuni hendak berbicara tentang kemajuan teknologi yang pada saat bersamaan membuat manusia makin terasing dari tubuh sendiri. "Sejak ada telepon seluler, kita bisa melakukan apa saja dengan jari, sementara bagian tubuh lain terabaikan," ujar Mikuni.
Ini adalah persoalan eksistensi yang sudah banyak dibahas. Kehadiran ponsel di genggaman membuat mata melulu terpaku pada layar dan tidak acuh pada keadaan sekitar. "Kita berdiri dalam kekosongan dan membuang waktu untuk hal yang tak nyata," kata Mikuni.
Lewat tarian ini, Mikuni ingin mengajak kembali orang-orang untuk menyadari betul keberadaan diri dan tubuh di tengah teknologi yang membuat segalanya jadi lebih praktis. Penyimbolan problem akibat teknologi ini dibuat mencekam. Di panel, muncul gambar orang gantung diri. Lalu suara anak-anak bergumam dalam gaung, menyuarakan kalimat yang sama berulang-ulang, "I really don't know anything, I have no reality." Pada bagian lain, para penari mendekatkan tangan ke telinga seolah-olah sedang bertelepon. Namun kata yang keluar dari mulut mereka tak berarti apa-apa.
Pertunjukan kali ini lebih sederhana dibanding di Jepang dan Hanoi, tak menggunakan banyak properti. Fokus eksplorasi adalah tubuh para penari yang berkostum hitam-putih. Mereka bergerak tangkas berpasang-pasangan menampilkan gerakan reflektif yang serempak seolah-olah sedang menari di depan cermin. Banyak adegan jatuh-bangun, kadang disertai jeritan dari mulut para penari. "Jatuh-bangun dan hitam-putih melambangkan kehidupan dan kematian," ucap Mikuni.
Di bagian akhir, mereka mendorong panel-panel ke berbagai arah. Tidak dengan penuh energi, tapi sambil menyeret tubuh atau bersandar pada panel seolah-olah kelelahan. Suara dari keseharian, seperti peluit tukang parkir, gesrekan sapu lidi, dan suara penyiar televisi, terdengar saling menimpa hingga sulit dikenali. Layar menampilkan wajah-wajah lelah para penumpang Transjakarta dan kemacetan jalan raya.
"Wajah-wajah penumpang Transjakarta ini hasil workshop dengan mahasiswa FFTV (Fakultas Film dan Televisi) IKJ, sementara yang awal-awal karya saya," tutur Keisuke Takahashi, pembuat video mapping Nibroll. Dia dan Skank, penata musik Nibroll, turut berbagi ilmu tentang video mapping dan musik. Workshop berlangsung cukup singkat, dua hari.
Mikuni menekankan, gerakan inti adalah gerakan yang berasal dari keseharian. "Katanya tak perlu melihat jauh karena tari bukan soal keindahan, tapi bagaimana menemukan kenyamanan saat bergerak," ujar Sylvi Dwinda Aurelia, salah seorang penari.
Seharusnya Mikuni sendiri yang memilih penari yang tampil. Karena keterbatasan waktu, penari akhirnya dipilihkan oleh program studi tari IKJ. "Mereka on time sekali. Kami berlatih lima jam sehari dengan dua kali istirahat yang hanya lima menit," kata Sylvi.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo