Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peluncuran program pembangkit listrik 35 ribu megawatt oleh pemerintah pada Mei 2015 membuat Supriadi Legino harus berhitung ulang. Ketua Sekolah Tinggi Teknik Perusahaan Listrik Negara (STT-PLN) ini tidak dipusingkan oleh masalah konstruksi pembangkit yang ditargetkan selesai pada 2019 itu, tapi bagaimana memasok tenaga kerja untuk mengoperasikan pembangkit tersebut.
Menurut Supriadi, jika semua proyek berjalan, setidaknya dibutuhkan 300 ribu operator bersertifikat dari berbagai bidang teknik untuk menjalankannya. Ia penasaran dari mana bisa mendapatkan tenaga kerja terlatih sebanyak itu dalam waktu singkat. "Lulusan teknik dalam negeri tidak sebanyak itu. STT-PLN juga tak sanggup menyiapkannya," kata Supriadi, Senin pekan lalu.
Setiap tahun, STT-PLN menghasilkan sekitar 1.000 lulusan teknik sipil, informatika, mesin, dan elektro. Jika digabungkan dengan lulusan teknik dari kampus lain sekalipun, jumlah itu tetap tak memenuhi kuota yang diperlukan. "Kalau semua proyek jadi dalam lima tahun, sumber daya manusianya jelas tak siap," kata Wakil Ketua II STT-PLN Djoko Paryoto.
Proyek pembangkit listrik menjadi bagian dari 12 sektor pembangunan infrastruktur yang digenjot pemerintah hingga 2019. Porsi sektor ketenagalistrikan mencapai 17 persen atau setara dengan Rp 980 triliun dari total nilai pembangunan sebesar Rp 5.519 triliun pada 2015-2019. Namun, dari sisi konstruksi, program pembangunan juga sudah dihantui masalah ketimpangan penyediaan sumber daya manusia.
Tahun ini saja diperlukan lebih dari 72 ribu sarjana teknik untuk menjalankan program pembangunannya. Tapi ketersediaan lulusan teknik tahun ini diperkirakan hanya 18 ribu orang. Ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga teknik setingkat diploma 3 (D-3) malah lebih buruk. Tahun ini diproyeksikan sekitar 5.000 lulusan teknik D-3. Padahal kebutuhannya 23 kali lipat.
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti membenarkan adanya masalah dalam penyediaan tenaga teknik untuk mengimbangi program pembangunan infrastruktur. Kondisi ini diperparah oleh minimnya peminat studi di bidang teknik.
Dari 7 juta mahasiswa di Indonesia, separuhnya mengambil bidang studi ilmu sosial dan humaniora. Hanya 16 persen yang mengambil program studi teknik. "Yang meneruskan bekerja sesuai dengan bidang keahlian tekniknya bahkan tak sampai separuhnya. Untuk urusan infrastruktur malah lebih sedikit," kata Ghufron ketika ditemui di kantornya di Jakarta, Selasa pekan lalu.
Akibatnya, untuk memenuhi kuota, Indonesia terpaksa mengambil pasokan tenaga ahli teknik asing. Selain membawa teknologi, sejumlah investor dari luar negeri yang digaet membawa pekerja teknik sendiri. Pada 2015-2025, Indonesia diperkirakan kekurangan insinyur hingga 10 ribu orang per tahun. "Ini untuk sementara sembari membenahi pasokan dari dalam negeri," ujarnya.
Menurut Ghufron, pekerjaan di bidang teknik dinilai tidak menarik karena gajinya lebih rendah dibanding bidang perbankan atau keuangan. Saat ini belum ada standar gaji menurut kompetensi lulusan teknik. Akibatnya, para lulusan bidang studi teknik memburu pekerjaan dengan gaji lebih tinggi di luar bidang keahliannya.
Pemberian insentif dan remunerasi sesuai dengan kompetensi dinilai bisa menggaet tenaga teknik ke proyek infrastruktur. "Gaji lulusan baru teknik sipil enggak jauh dari upah minimum provinsi Jakarta. Jelas ini tidak menarik bagi mahasiswa yang menghabiskan banyak uang dan waktu menempuh jenjang pendidikannya," kata Ghufron.
Jumlah program studi keinsinyuran di Indonesia juga masih sedikit. Kementerian telah memberi penugasan kepada beberapa universitas untuk membuka program studi baru. Penambahan lulusan di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika dinilai bisa mendongkrak perkembangan program pembangunan infrastruktur. "Bidang ilmu sosial tetap diperlukan, tapi komposisinya perlu diperbaiki," ujar Ghufron.
Bukan cuma urusan program studi teknik yang terbatas, sebagian besar perguruan tinggi juga masih gagap menghadapi perkembangan teknologi. Ketersediaan fasilitas, terutama untuk menyokong program studi teknik dan akses teknologi informasi, sangat terbatas. Di Indonesia, ada lebih dari 4.300 perguruan tinggi negeri dan swasta, tapi yang memiliki laboratorium teknologi canggih tak sampai seratus. Jumlah tenaga pengajar di bidang teknik juga belum memadai.
Sejumlah kampus berusaha melakukan inovasi sistem teknologi untuk meningkatkan mutu lulusannya. Menurut Eko Supeno, Direktur Sistem Informasi Universitas Airlangga, Surabaya, teknologi kini tak lagi terbatas pada bidang teknik. "Kedokteran, kosmetik, dan kesehatan punya peralatan lebih canggih," katanya.
Eko mengatakan perkembangan teknologi saat ini masih di level permukaan. Ia memberi contoh, 15 tahun lalu, penyimpan data digital berkapasitas 64 megabita masih menjadi barang mewah yang sulit dicari. "Sekarang kapasitas 1 terabita sudah banyak sekali," ujarnya.
Perkembangan teknologi juga menuntut Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta membuat sistem informasi sendiri sejak awal 2000. Pembenahan sistem oleh institusi yang memiliki inti bisnis di jasa pendidikan dan kesehatan ini memudahkan dosen dan mahasiswa mengakses teknologi informasi via telepon seluler. "Ini untuk mengimbangi perkembangan masyarakat, yang sebagian sejak lahir sudah terpapar teknologi. Anak kecil sekarang kalau mau menyalakan televisi tapi tidak menemukan remote control pasti bingung," kata Kepala Biro Sistem Teknologi Informasi Atma Jaya Danny Natalies.
Atma Jaya juga membangun sistem pendidikan dan fasilitas lintas disiplin. Ada kombinasi pembelajaran di fakultas bioteknologi, kedokteran, dan elektro. Danny mengatakan teknologi--termasuk kecerdasan buatan yang semakin canggih--adalah alat bantu meningkatkan kualitas hidup. Teknologi dan kecerdasan buatan tidak akan mengambil alih total peran manusia.
Inovasi STT-PLN dilakukan pada penyusunan program dan silabus pendidikan. Program khusus ketenagalistrikan jenjang D-3 elektro dan mesin yang dibuat bersama PLN itu sudah menjadi standar kompetensi personal dan didistribusikan ke semua politeknik di Indonesia. "Kami punya laboratorium dasar komplet. Kalau untuk praktek mahasiswa bisa magang di instalasi PLN," kata Djoko.
Ghufron menilai perlu ada pengaturan program studi agar sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sejumlah program studi, seperti kebidanan dan keguruan, yang terlalu gemuk dengan variasi mutu lulusan yang beragam bisa dimoratorium. Indonesia memiliki lebih dari 600 ribu tenaga bidan dan 400 program studi kebidanan. "Suplainya sudah sangat berlebihan," ujarnya.
Pembukaan program studi, kata Ghufron, seharusnya dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan pembangunan, tenaga kerja siap pakai, dan potensi pekerjaan masa depan. Pembangunan akademi komunitas yang disesuaikan dengan kebutuhan industri daerah juga bisa membantu meminimalisasi kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan tenaga kerja. "Komposisinya juga bisa disesuaikan dengan prioritas pembangunan saat ini di bidang infrastruktur dan teknologi."
Gabriel Wahyu Titiyoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo