SEORANG guru yang baik tentu akan risau jika prestasi anak didiknya tiba-tiba merosot di hampir semua mata pelajaran. Kemampuan belajar mereka -- di rumah maupun di sekolah -- sangat berkurang. Hampir tak ada pelajaran yang mampu mereka serap. Seperti ada tabir yang menutup, begitu pelajaran disorongkan pada mereka. Padahal anak-anak ini, bukanlah bocah yang kurang cerdas. Menurut kamus ilmu jiwa, mereka mengalami kesulitan belajar. Penyebabnya yang umum ialah hambatan emosional, yang timbul akibat pengalaman tak menyenangkan di masa lampau. Bisa juga karena rasa bosan, akibat pendidikan yang terlampau keras. Anak-anak lalu tak bersedia menyimak pelajaran. Mereka menolak semua jenis kegiatan belajar. Mereka mogok diam-diam. Namun penolakan yang menyeluruh, bukanlah satu-satunya gejala kesulitan belajar. Terdapat hambatan yang spesifik, manakala otak menutup pintu hanya untuk pelajaran tertentu. Kesulitan khusus ini bisa terjadi dalam pelajaran matematika saja misalnya, -- dikenal sebagai diskalkuli. Atau kesulitan menulis yang disebut disgrafia. Bisa juga muncul sebagai gejala kurang terampil dalam menggunting, melipat, menempel. Sebagian lagi mengalami hambatan dalam berbicara (disfasia). Sungguh mengherankan bahwa anak-anak yang mengalami hambatan spesifik ini, sedikit pun tidak mengalami kesulitan pada mata pelajaran lain. Prestasi mereka di bidang lain bahkan acapkali gemilang. Masalah hambatan belajar spesifik ini Rabu dan Kamis pekan lalu, dibahas dalam seminar "Ketidakmampuan Belajar Spesifik, atau Specific Learning Disabilities" di Jakarta. Penyelenggaranya Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). Muncul sebagai pembicara, tiga ahli psikonerologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: dr. Soemarmo Markam, dr. Sidiarto Kusumoputro, dan dr. Lily Sidiarto. Sebagai pembicara tamu, tampil ahli psikonerologi dari Amerika Serikat, Dr. Robert C. Hardy. Dr. Lily Rilantono, dari YKAI, mengutarakan, kesulitan belajar spesifik dan penyebabnya, masih belum umum diketahui di sini. Karena itu anak-anak yang mempunyai kesulitan ini, praktis luput dari perhatian. Atau, disamakan dengan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar secara umum. Sekalipun begitu, orangtua dan guru tak bisa disalahkan, karena kesulitan belajar spesifik termasuk kendala belajar yang belum lama ditemukan. Hingga kini pun, hambatan itu masih merupakan fenomena yang belum seluruhnya terungkap. Namun dari data statistik terlihat, gangguan, umumnya, diderita oleh murid-murid sekolah dasar. Di Amerika Serikat -- berdasarkan penelitian yang intensif -- ada sekitar 15% murid SD yang mengalami hambatan belajar. Hal ini agak mencemaskan, karena persentasenya naik terus dari tahun ke tahun. Persentase anak-anak yang mengalami kesulitan belajar akibat retardasi mental, umumnya tetap. "Di Indonesia, penelitian semacam ini belum pernah dilakukan," kata Dr. Lily Rilantono. Kendati masih samar-samar, masalah kesulitan belajar spesifik sudah semakin jelas seluk-beluknya belakangan ini. Menurut Soemarmo Markam, penyebabnya sudah bisa dipastikan, yakni kerusakan kecil di otak, yang dalam bahasa medis disebut disfungsi minimal otak. "Kerusakan kecil ini terjadi karena ada kelainan dalam perkembangan otak, akibat macam-macam gangguan." "Pada garis besarnya, otak terdiri dari dua belahan yang mempunyai kegiatan dan fungsi yang berbeda," kata Markam. Fungsi utama belahan otak kanan adalah mengkonstruksikan hasil penglihatan dan juga membangun persepsi. Otak kiri, secara garis besar, bertugas mendiskripsikan pengertian, karena itu sering kali disebutkan sebagai pusat kemampuan berbahasa. Selain terbagi dua, otak juga terbagi ke modul-modul, yang masing-masing mempunyai tugas berbeda-beda. Ada modul yang hanya berhubungan dengan perasaan, ada modul yang mengurusi respon, ada pula modul yang tugasnya memerintahkan tindakan. Proses berpikir, dari mulai menyusun persepsi sampai membuahkan kesimpulan, adalah hasil kerja sama semua bagian otak. Baik kerja sama antara belahan otak kiri dan kanan, maupun interaksi modul-modul otak yang letaknya tersebar di seantero otak. "Artinya, kerja otak mengenal sebuah sistem," kata Dr. Robert C. Hardy. Inilah yang dikatakan organisasi otak. Walaupun, pada garis besarnya, kerja pusat-pusat pikiran pada otak tidak berbeda pada setiap orang, pengorganisasian pikiran, ternyata, tidak sama pada setiap individu. Pada orang dewasa, sistem organisasi pikiran yang khas, biasanya, tercermin pada karakter. Pusat-pusat pikiran ini, menurut Dr. Hardy, terbentuk pada masa bayi di bawah pengaruh faktor-faktor genetik (keturunan). Juga perkembangan kondisi kimiawi otak yang, antara lain, ditentukan oleh pertumbuhan bayi. Begitu seorang anak mulai bisa berpikir, terlihat dengan jelas, kerja pusat-pusat pikiran itu mulai spesifik. Pada anak-anak usia sekolah dasar, sistem organisasi pikiran berada dalam masa pembentukan. Penelitian menunjukkan, kematangan pusat-pusat pikiran terjadi tidak serentak. Inilah sebabnya, mengapa seorang anak lebih cepat berbicara, namun lambat dalam menulis dan membaca. Pada percobaan dengan kucing, terlihat, seekor anak kucing, pada umur dua minggu, hanya mampu menangkap garis-garis vertikal. Garis-garis horisontal dan miring, praktis tidak telihat. Percobaan ini menunjukkan pada masa kanak-kanak sering kali kerja otak belum terorganisasi dengan baik, karena salah satu pusat pikirannya belum mencapai kematangan. Ini gejala normal. Kesulitan belajar spesifik, menurut Dr. Hardy, adalah semacam disorganisasi kerja otak yang tidak normal. Ada sebab yang menghambat perkembangan salah satu pusat pikiran. Disorganisasi semacam ini, bila tidak ditangani dengan baik, bisa menjadi permanen. Percobaan dengan otak burung menunjukkan, bagaimana seekor anak burung betina yang tak mampu mempelajari siulan burung jantan, ternyata, tak akan mampu mendengar siulan itu seumur hidupnya. Kemungkinan inilah yang paling mencemaskan dan kesulitan belajar spesifik itu. Penyebabnya yang terkategori paling berat adalah kerusakan patologis jaringan otak tertentu. Misalnya, akibat gegar otak, operasi, atau panas tinggi di masa bayi. Kerusakan ini, umumnya, sulit disembuhkan. Penderitanya, biasanya, mengalami kelainan epileptik. Penyebab lain adalah tidak sempurnanya metabolisme sel-sel jaringan otak, akibat kurang sehatnya pertumbuhan bayi. Manifestasi kerusakan ada pada otak yang mengalami defisit senyawa kimia tertentu. Toh, kelainan ini masih bisa disembuhkan. Memang masih baru pada tingkat percobaan, tapi sudah ditemukan terapi untuk mengatasi disfungsi otak ini. Intinya adalah mengembalikan keseimbangan senyawa-senyawa kimia di otak. Salah satu percobaan yang dilakukan Di Amerika Serikat ialah, menata intake senyawa-senyawa kimia tertentu melalui makanan -- terdapat makanan yang kandungannya bisa langsung mencapai otak. Namun kesulitan belajar spesifik, tidak selalu diakibatkan oleh kerusakan fisik di otak. Kelainan ini bisa juga terjadi karena kesalahan persepsi. Inilah dilema pendidikan, yang hingga kini masih terus menjadi masalah. Metode terapinya sulit ditentukan, karena sulit memastikan kapan sebuah kesalahan persepsi terjadi pada seorang anak. Dan tidak mungkin disusun sebuah standar baku untuk mengukur persepsi melalui kerja otak, karena sistem organisasi otak senantiasa individual. Di samping itu, informasi yang masuk melalui persepsi tidak diolah di satu pusat pikiran saja, tapi menyebar di berbagai penjuru otak, sebelum menyatu dalam sebuah kesimpulan. Pada setiap orang, penyebaran ini lain. Toh para peserta seminar YKAI tidak pesimistis, dan masih mempunyai saran untuk mengatasi kesulitan belajar spesifik. Pendidikan, menurut para pakar dalam seminar itu, perlu memperhatikan pendekatan individual. Selama ini, pendidikan pada masyarakat kita cenderung menyamaratakan murid. Selain itu, perlu dicari metode mengajar yang kaya aspek. Kemampuan matematik misalnya, tidak hanya dilatih dengan menyajikan hitungan, tapi juga melalui alat peraga dan gambar. Dengan demikian, kerja otak terorganisasi lebih baik. Jim Supangkat, Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini