Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Logika kartun sebagai jembatan komunikasi

Mungkin teater kami merasa masalah dalam naskah jack hibberd ini asing bagi penonton Indonesia, ditempuhlah pementasan dengan bahasa dan logika mirip film kartun.

16 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HATI-hati menerima anggota baru dalam rumah tinggal Anda. Ia bukan hanya bisa merebut sebagian ruang hidup, tapi bisa lebih jauh dari itu: mendominasi semua hal yang ada dalam rumah Anda. Problem khas yang dialami kaum urban ini digarap dalam cerita tentang tiga lelaki penghuni sebuah apartemen, atau rumah kontrakan. Naskah satu babak yang ditulis oleh Jack Hibberd, pengarang naskah drama Australia ternama, ini diwujudkan secara menarik oleh Teater Kami di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, Kamis dan Jumat malam pekan lalu. Di pentas, salah satu grup teater di Jakarta yang pementasannya biasanya layak dilihat sebagaimana Teater SAE dan Teater Kubur ini membuat cerita dan peralatan panggung berubah menjadi kartun. Di tengah jarangnya pementasan teater di Jakarta dalam beberapa tahun ini, dibandingkan misalnya pada masa akhir 1960- an sampai awal 1980-an, pergelaran Teater Kami pekan lalu bagaikan sebuah pernyataan bahwa dunia teater modern di Jakarta masih kreatif. Lihatlah pentas yang warna-warni itu. Semua properti dan panggung diberi warna pastel yang mencolok. Tak kurang dari 11 warna berbeda mewarnai bangku, sendal, ranjang, handuk, celana, sarung, hingga gelas, dan roti. Secara fisik, semua bentuk yang ada di panggung mengacu pada kenyataan keseharian. Tapi, itu tadi, warna-warnanya yang menyilaukan dan meneror menjadikan suasana panggung kehilangan kesehariannya. Misalnya, roti yang mestinya enak dikunyah itu diwarnai dengan warna merah darah. Pelan-pelan penonton pun merasakan bahasa dan logika film kartun, dan itu makin kuat setelah para pemain berdialog, bergerak, bermain dengan properti. Kata-kata atau kalimat sederhana diubah intonasi, tekanan, dan volumenya menjadi suara yang keras, melengking -- pokoknya tak biasa. Lalu ketiga "pemain" (Harris, Amato, dan Mogan) mengeksplorasi tubuh mereka menciptakan gerak dan komposisi tidak lumrah. Sebagaimana kartun dalam pita seluloid, kertas cetak, atau pita video, panggung Teater Kami ini juga menggunakan siasat "mempermainkan logika", sehingga kemungkinan apa pun, termasuk yang tidak logis, bisa terjadi. Penafsiran Teater Kami yang demikian itu sebenarnya mengandung risiko: cerita yang disampaikannya masih menggunakan logika umum. Memang, Teater Kami pun tampaknya menyadari risiko ini. Dan itu sudah dicoba diatasinya dengan menyadur secara bebas naskah aslinya. Saduran itu demikian banyak dialek Betawinya, dan dimasukkan pernyataan yang sepintas masuk akal tapi setelah dipahami menjadi sangat janggal. Umpamanya pernyataan macam ini: "Pagi ini, sakit ginjal gua bener-bener serius, kayak kena rematik akut rasanya!" Soal penyakit ginjal yang dihubungkan dengan rematik itu diucapkan oleh Harris sambil batuk-batuk berat -- sebuah kesatuan yang melawan akal sehat. Panggung memang tak harus mencerminkan keseharian, dan pementasan teater di Indonesia sudah jauh melangkah dalam hal ini. Naskah-naskah absurd macam Menunggu Godot atau Biduanita Botak tak lagi mengejutkan penonton. Bisa jadi, kenyataan sehari-hari memang juga sudah absurd. Toh, ketika Amato, sang pendatang dalam drama Who ini, dengan seenaknya tinggal di rumah Harris dan mengusir pemiliknya, rasanya akal sehat kita ikut melintir. Begitu juga ketika Mogan, yang sebelumnya juga numpang, lalu dengan mudah membunuh Amato karena alasan tidak mau bertukar tempat tidur. Tapi karena "suasana film kartun" pelan-pelan menyebar ke seluruh ruangan, semua yang melawan akal sehat itu pun kita terima. Dan pelan-pelan pula masalah yang sebenarnya menjadi mencuat. Rupanya, masalah yang disampaikan oleh naskah Jack Hibberd -- persoalan rumah tinggal, kesehatan, lingkungan, atau sosialisasi -- adalah khas masalah di Australia. Mungkin Teater Kami merasa persoalan itu akan janggal dipanggungkan di Jakarta. Maka, diambillah kebijakan menghadirkan suasana kartun itu tadi, sebagai jalan mengomunikasikan masalah. Dan tengoklah, dalam buku acara, ketiga pemain tak disebut sebagai "pemain" tapi "penafsir". Hasilnya, naskah tragedi pun menjadi sekadar parodi. Tapi bila ada kritik terhadap pementasan ini, itu bukan karena "kebijakan" mengubah tragedi menjadi parodi itu, melainkan hal yang umum terjadi pada grup teater kita dewasa ini: kurang baiknya materi pemain. Namun, sejauh ini, inilah pementasan yang menggunakan simbol- simbol dan logika film kartun atau kartun pada umumnya. Meski tak secara utuh hal itu dilakukan. Lihat, pemanfaatan bentuk panggung prosenium, yang mau tak mau mengikat pertunjukan pada pola logika cerita yang lazim, yang tunduk pada dimensi waktu, ruang, dan kejadian, menjadi tidak pas dengan ide bergaya kartun itu. Entahlah, apa komentar Jack Hibberd andai ia datang menonton. Mungkin ia akan senyum-senyum saja. Sebab, penulis naskah drama yang dokter ini rasanya santai-santai saja dalam hidup. Dalam usia 34 tahun, pada tahun 1974, ia memutuskan berhenti praktek dokter, untuk hanya menulis naskah drama. Sepuluh tahun kemudian ia memutuskan berhenti menulis naskah drama, dan dua tahun kemudian memutuskan kembali berpraktek dokter sambil menulis novel. Belakangan ini ia kembali menulis naskah drama.Radhar Panca Dahana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum