ANGKANYA memang tak sefantastis skandal kredit Bapindo. Tapi untuk ukuran tiga kabupaten di Jawa Tengah ini, itu cukup besar untuk membuat puluhan orang antre di Kantor Kepolisian Resor Blora. Dan hal itu berlangsung hampir tiap hari dalam tiga bulan terakhir ini. Hitung saja: sampai pekan lalu, di Kabupaten Blora, Purwodadi, dan Rembang, sekitar 12.000 sapi tak kembali pada 7.000 pemiliknya. Jadi, pukul rata sehari 130 sapi tak pulang ke pemiliknya. Selain ke kantor polisi, sejumlah pemilik sapi pun melaporkan ihwal kehilangan ini ke DPRD Blora. Ini semua berkaitan dengan yang disebut belantik, istilah tradisional untuk calo atau pialang sapi di pedesaan di Jawa. Sudah menjadi tradisi, perdagangan sapi di pedesaan di Jawa sebagian besar lewat belantik itu. Pemilik menetapkan harga yang diinginkan, dan belantiklah yang akan membawa sapi ke pasar -- setelah memberikan uang muka sekadarnya. Nah, sebelum cerita kehilangan, adalah cerita boom sapi, dimulai sekitar sembilan bulan lalu. Para pemilik sapi yang membutuhkan uang waktu itu senang: perdagangan sapi di tiga kabupaten tersebut menjadi meriah dengan munculnya belantik bernama Yanto. Lelaki berusia 30 tahun itu -- warga Tunjungan, Blora -- meski hanya lulusan SD, dan baru kali itu menjadi belantik, dalam waktu singkat menjadi buah bibir di desa-desa karena kesuksesannya. Bayangkan, konon, hanya dengan modal Rp 100 ribu, ia berhasil mengumpulkan puluhan sapi dari penduduk sekitar tempat ia tinggal. Dengan memberi uang muka hanya sebesar Rp 5.000 sampai Rp 10.000 per ekor, ia sudah dipercayai para pemilik sapi. Padahal, rata-rata harga seekor sapi sekitar Rp 800 ribu. Tapi memang dua atau tiga pekan kemudian Yanto kembali datang, dan membayar harga yang sudah disepakati. Sementara di awal-awal kerjanya ia hanya dapat menggiring 10-15 ekor sapi, berikutnya giringannya menjadi puluhan. Maka, tak lama kemudian Yanto sudah merekrut 20 orang anak buah. Dan singkat kata, jadilah ia jutawan baru: memiliki sebuah rumah mewah untuk ukuran kota kecamatannya, dua mobil, serta satu sepeda motor. Dampak sukses Yanto pada awalnya dapat dikatakan positif: beberapa anak buahnya ingin berdiri sendiri. Dimulai oleh yang bernama Kholil, yang beralih profesi dari sekadar membantu Yanto menjadi belantik dengan 50 anak buah, lalu disusul oleh Mungin dan beberapa anak buah yang lain. Syahdan, dalam tiga bulan belakangan ini makin banyak orang mendatangi pemilik sapi, menawarkan menjualkan sapi. Mereka, kalau tak mengaku sebagai anak buah Yanto, ya, anak buah Kholil atau Mungin. Dan terjadilah ini: para anak buah belantik itu, baik yang baru maupun yang lama, setelah ditunggu dua, tiga, bahkan empat pekan kemudian, tak juga datang membawa uang. Sunardi, penduduk Dusun Keser, Desa Keser, Tunjungan, dan 75 orang warga dusun tersebutlah, antara lain, yang tertipu. "Kami selama ini sudah percaya sama mereka," kata Sunardi yang petani itu kepada Faried M. Cahyono dari TEMPO. Bagi penduduk desa, sapi adalah satu-satunya harta mereka yang berfungsi sebagai tabungan: perlu uang, sapi dilego punya uang, dijadikan sapi. Maka, sapi hilang, darah pun naik. Ahad dua pekan lalu, rumah Yanto didatangi ratusan orang yang menagih pembayaran sapi mereka. Untung, tidak terjadi bentrokan fisik. Dan polisi segera bertindak dengan membawa Yanto ke kantor polisi. Selain menahan Yanto, polisi juga menahan Kholil, Mungin, dan 11 belantik lainnya, dengan tuduhan penipuan. Polisi menyita sebagian harta milik para belantik itu. Dari sang pemula saja, si Yanto itu, polisi menyita harta senilai Rp 400 juta. Menurut Kepala Kepolisian Resor Blora Letnan Kolonel Drs. Singgih Hartono, masih dibutuhkan waktu lama agar uang masyarakat tersebut kembali. Tentu saja, bila harga seekor sapi rata-rata Rp 800 ribu, dan yang lenyap 7.000 ekor sapi, uang yang mesti diadakan adalah Rp 5,6 miliar -- 14 kali Rp 400 juta. Tapi mengapa sapi tak kembali, uang pun tak di tangan? Mungkin pada awalnya para belantik tak berniat menipu. Namun, meningkatnya jumlah belantik menjadikan pasar jenuh, dan sapi pun tak laku, atau harga jatuh. Bangsatnya, sapi yang tak laku tak dikembalikan, dan uang pun tak datang. Untunglah, polisi tak ragu menahan pelaku skandal sapi ini -- meski masyarakat yang dirugikan masih tetap rugi.Rustam F. Mandayun (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini