EUGENE Ionesco, penulis drama absurd terkemuka kelahiran Rumania, adalah juga milik Indonesia. Ia yang menjadi masyhur di Prancis dan menulis dalam bahasa Prancis itu, termasuk yang karya-karyanya banyak digemari sutradara teater Indonesia, sejak tahun 1960-an. Karya Ionesco yang pertama populer di kalangan dramawan Indonesia agaknya yang diterjemahkan sebagai Kereta Kencana. Menjelang pertengahan 1960-an, naskah ini banyak dipentaskan di samping karya-karya Anton Chekov. Mungkin karena dalam naskah mereka ada persamaannya: banyak banyolan -- meski banyolan Chekov dan Ionesco tentunya berbeda maknanya. Penulis inilah, dua pekan lalu, meninggal dunia di Paris dalam usia lebih dari 81 tahun. Bila banyak yang kemudian mengenangnya, mungkin Ionesco adalah penulis naskah drama yang disebut absurd, yang paling berpengaruh pada abad ke-20 ini. Di samping itu, ia adalah anggota Academie Francaise, lembaga intelektual di Prancis yang bergengsi, sejak tahun 1970. Maka, kematiannya lebih menjadi urusan Menteri Kebudayaan Prancis daripada Rodica, istrinya, yang kini berusia 58 tahun. Sikap kritisnya terhadap kesewenang-wenangan sudah muncul sejak ia muda. Ketika ia masih duduk di Universitas Bukarest, Rumania, hubungan dengan ayahnya terputus. Ia menganggap ayahnya seorang fasis dan pengikut Stalin, sedangkan ia sendiri mengaku sebagai "anarkis", tapi menolak dicap sebagai oposisi. Sebab, menurut Ionesco, oposisi dalam dunia politik hanyalah bentuk lain dari sebuah kekuasaan yang siap menggantikan kekuasaan yang dilawannya setelah jatuh dengan kesewenang-wenangan yang sama. Ide ini tampaknya menjadi obsesi Ionesco, dan pada awal tahun 1970-an, setelah belasan tahun, ia wujudkan dalam sebuah naskah drama berjudul Macbett, mengacu pada Macbeth karya Shakespeare, pujangga yang dikaguminya. (Tahun 1975 naskah ini dipentaskan Arifin C. Noer di TIM, Jakarta). Ionesco, menurut banyak pengamat, memperoleh nama internasional pertama kali berkat La Cantatrice Chauve, yang diamerikakan sebagai Bald Soprano, dan diindonesiakan menjadi Biduanita Botak. Drama yang dipentaskan pertama kali di Paris pada tahun 1950 ini begitu populernya, hingga teater-teater di Paris mempertunjukkannya secara rutin hingga lebih dari 12.000 kali pertunjukan. "Inilah yang menarik dari drama-drama Ionesco," kata sutradara Teguh Karya, yang pernah menampilkan Kereta Kencana dan Le Chaises (Kursi-Kursi), "karyanya transendental, penuh absurditas, tapi bersamaan dengan itu kejenakaannya tetap menghibur." Kejenakaan dan kepedihan, rasa sakit dan keriangan dalam drama-dramanya, menurut Ionesco sendiri, adalah refleksi dari hidup. Makanya, drama Rhinoceros (Badak-Badak) lantas saja oleh para kritikus dihubung-hubungkan dengan kritik Ionesco terhadap penindasan di Rumania. Sebuah drama yang agaknya lahir dari pandangannya bahwa semua orang adalah badak, kecuali Anda. Dan badak-badak itu heran, bisakah manusia memimpin dunia. Sedangkan Anda sendiri ragu: benarkah dunia ini dipimpin manusia? Satu pandangan yang gelap dan pahit, yang bisa jadi bermula dari pengalamannya di Rumania. Pada tahun 1970-an Ionesco berhenti menulis drama, tapi melanjutkan menulis artikel yang mengkritik kediktatoran Nicolae Ceausescu, penguasa Rumania. Di Indonesia, menurut Teguh Karya, Ionesco menyelinap diam- diam di tubuh teater Indonesia. Pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, berbagai kelompok teater mempertunjukkan karya-karyanya, di antaranya, Jim Adilimas (yang kini menetap di Prancis) dan Teater Perintis di Bandung mementaskan Badak- Badak, tahun 1965. Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer mementaskan Macbett dan Raja Mati. Studiklub Teater Bandung pimpinan Suyatna Anirun mementaskan Biduanita Botak. "Para seniman Indonesia sedang muak pada ideologi dan ide- ide yang didesak-desak ke dalam kesenian mereka pada tahun 1960-an. Karena itulah, saya kira, kecenderungan seniman Indonesia untuk terpengaruh Ionesco dan Samuel Beckett sangat besar," kata aktor teater Ikranagara, yang mengindonesiakan Raja Mati. Mungkin, dengan pengalaman di zaman politik sebagai panglima, sebagian dramawan Indonesia tak sulit menangkap kesewenangan kekuasaan dalam drama Ionesco. Bisa jadi memang sulit menangkap hal yang mendasari drama Ionesco yang dibungkus dengan dialog yang kocak. Menurut tulisan William A. Henry III di majalah Time edisi 11 April, orang Amerika salah menafsirkan Badak- Badak, dan meresponsnya dengan gembira sebagai komedi ringan. Padahal, menghubungkan dramanya dengan ucapan-ucapannya dan kritik-kritiknya terhadap kediktatoran di Rumania, "komedi" Ionesco sebenarnya adalah peluit di kehidupan yang gelap.Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini