Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tampee, kata orang-orang Jamaika. Ganja, kata orang sini. Daun berhelai ganjil itukadang lima, tujuh, atau sembilanbaru-baru ini menjadi perhatian publik setelah se¡©orang lelaki Sanggau, Kalimantan Barat, ditangkap polisi lantaran menanam Cannabis sativa demi pengobatan kista di sumsum tulang belakang istrinya. Sang istri merasa sedikit demi sedikit sehat tatkala rutin memakai ganja. Tapi kemudian meninggal setelah ganja mereka disita. Dan terjadilah diskusi bahwa tidakkah sebaiknya ganja diturunkan menjadi psikotropik kelas dua dan diperbolehkan dikonsumsi bila untuk penyembuhan.
Entah karena ada isu ganja untuk kesehatan tersebut, Tommy Tanggara, pelukis lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, kemudian berani menjadikan ganja sebagai obyek lukisan dalam pameran tunggal di CG Artspace, Rumah Miring, Jakarta Selatan. Ia terang-terangan mengaku pernah menjadi pengisap ganja. Sebuah lukisannya berjudul Happiness Does Grow on Trees menampilkan wajah orang di pucuk-pucuk daun ganja. Mata mereka terpejam. Bibir mereka menyunggingkan senyuman. "Ganja memberikan kebahagiaan bagi banyak orang," kata Tommy, provokatif, saat pembukaan.
Sebuah lukisan lain berjudul Aksi Damai 420 menampilkan orang-orang dari berbagai profesi, dokter, perawat, polisi, hakim, dan petani, mengangkat spanduk bertulisan legalize it. Di antara para demonstran itu, ada dirinya sendiri mengangkat kanvas bergambar daun ganja.
Tak kurang dari 20 lukisan Tommy tentang ganja bergaya ala "pop art" dipajang dalam pameran sampai 7 Mei nanti. Sebagian di antaranya lukisan baru, tapi ada juga lukisan-lukisan bertahun 2013, tepat setahun setelah Tommy keluar dari penjara.
Lima tahun lalu, Tommy masuk bui. Dia tertangkap menyimpan beberapa linting ganja berikut bong pada Januari 2012. Saat itu dia sedang berada di bengkel lukisnya di Yogyakarta. Hendak melukis untuk pameran tunggal di Singapura, ketika tiba-tiba sekelompok polisi menangkapnya. "Saya kaget sekali. Saya sudah 25 tahun menggunakan ganja, tapi baru kali itu saya ditangkap," kata Tommy.
Dia diadili dan harus tinggal di balik jeruji besi selama tujuh bulan. Untunglah, Magnificat Gallery di Singapura mau menunggunya. Tak sampai setahun kemudian, dia menggelar pameran tunggal bertajuk "Love" di sana. Sebuah pameran yang cukup lumayan. Ia menggarap citra, teks, dan simbol dengan pendekatan seperti konsep desain grafis.
Kini Tommy memamerkan 16 sketsa tentang ganja yang dibuatnya saat dalam penjara. Sketsa itu dibuat di atas kertas A4. Ada sketsa seorang laki-laki mengepulkan asap dengan bohlam-bohlam menyala di sekitarnya. Ada juga sketsa penari tradisional dengan tangan penuh daun ganja. "Saya justru tahu banyak tentang sejarah ganja dan pemanfaatannya saat di penjara," kata Tommy.
Lukisan Cannabis Medis (2015) memperlihatkan tiga orang tersenyum. Daun ganja dan nama penyakit yang bisa disembuhkannya menjadi latar mereka. Adapun pada Hore Aku Sembuh (2015), Tommy menampilkan tiga pria dengan tubuh transparan yang memiliki pencernaan dan jantung sehat.
Ada lukisan berjudul 4.20 pm. Menurut Tommy, saat sore demikian adalah waktu paling tepat untuk mengisap ganja. Pada lukisan itu tampak sosok lencir sedang duduk di kursi dengan siku menekan meja, menyalakan api untuk mengisap ganja. Teknik garis-garis geometrik dipakai untuk membentuk tubuh, meja, dan kursi.
Tommy juga mencoba merambah tema agama. Dengan melukis daun-daun ganja seperti pohon Natal (Christmas Kush) atau mengutip salah satu ayat tentang tumbuhan berbiji dalam Kitab Kejadian (Inilah Ganja).
Ia juga menyajikan gambar bernada-nada "saintifik" mengenai ganja yang tentunya belum seratus persen teruji. Tengoklah lukisan berjudul Endocannabinoid (2015), yang menampilkan "proses" bagian dalam kepala seseorang tatkala mengisap ganja. Atau Biofuel #2, yang menampilkan lukisan selang bahan bakar dengan gambar ganja di gagangnya. Tommy ingin mengatakan biji ganja bisa dimanfaatkan sebagai biofuel. Menurut dia, Henry Ford menggunakan bahan bakar dari biji ganja untuk prototipe mobil pertamanya. Tidak ada yang betul-betul menggigit dalam pameran ini. Kecuali memang karena ada momen polemik itu. AMANDRA M. MEGARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo