Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lima Dewa Turun di Ancol

Lima gitaris legendaris dunia tampil satu panggung dalam konser Generation Axe di Ancol.

1 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH lewat pukul sepuluh malam saat Yngwie Malmsteen dengan rambut terurai sampai pinggang muncul di panggung. Penonton meneriakkan namanya berulang-ulang, lebih heboh dibanding saat penampil-penampil sebelumnya naik pentas. Terakhir kali Malmsteen hadir di Indonesia adalah 27 tahun lalu.

Tak banyak cakap, Malmsteen langsung memainkan Spellbound, Valhalla, dan Overture. Penampilan satu dari sepuluh pemain gitar terbaik sepanjang masa pilihan majalah Time ini begitu teatrikal. Ia membuat antusiasme penonton memuncak hanya dengan kibasan tangan. Cabikan gitarnya sesekali terdengar seperti gesekan biola klasik. Selama 30 menit bermain sendiri, tak sekali pun energi pria 53 tahun itu kendur.

Malmsteen adalah penampil terakhir dalam pentas Generation Axe di Ecovention Ancol, Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Sebelum dia, empat dewa gitar lain telah memanaskan panggung, dimulai oleh Tosin Abasi, lalu Nuno Bettencourt, Zakk Wylde, dan Steve Vai. Lima orang ini adalah master gitar di bidang masing-masing. Vai adalah legenda rock dan master teknik shredder pemenang tiga Piala Grammy, Malmsteen pionir metal neoklasik, Wylde mantan gitaris Ozzy Osbourne yang cadas, serta Bettencourt menangguk sukses besar dengan band Extreme. Sedangkan Abasi adalah jawara metal progresif yang bermain untuk Animals As Leaders.

Masing-masing mendapat sesi bermain sendiri lebih dulu. Tiap maestro didampingi pemain bas Pete Griffin dan drumer J.P. Bouvet. Warna permainan tiap gitaris yang unik dapat dinikmati sepuasnya pada sesi solo, yang masing-masing berlangsung setengah jam.

Abasi membuka dengan lagu Tempting Time dan Air Chrysalis. Kekhasan gitaris keturunan Nigeria-Amerika ini adalah teknik ketuk dan picking yang tak biasa pada gitar delapan senarnya. Abasi menjaga dinamika permainannya dengan mengharmonikan lagu-lagu tempo sedang dan cepat.

Menjelang akhir penampilan Abasi, Nuno Bettencourt masuk panggung. Duet Abasi dan Bettencourt menggempur penuh energi lewat lagu Physical Education. Pentas kemudian beralih jadi milik Bettencourt. Tak hanya bermain gitar, Bettencourt turut memamerkan vokalnya yang serak-serak adem. Pentas ini jadi yang paling hangat karena Bettencourt pandai berkomunikasi dan memancing gelak penonton. "Aku tidak akan tampil seribet Tosin karena aku SMA saja tidak lulus," ujarnya.

Selain membawakan nomor-nomor tunggalnya, Bettencourt memenuhi hasrat nostalgia para penonton dengan lagu-lagu dari Extreme. Bettencourt duduk santai di bibir panggung dan memetik lembut gitarnya. "Saying ’I love you’ is not the words I want to hear from you…" demikian ia memancing dengan intro More Than Words, yang langsung disambut paduan suara penonton.

Setelah Bettencourt, masuk Zakk Wylde yang gondrong dan berewokan. Seperti penampilannya, permainan gitar Wylde pun garang dan mencabik kuping. Ia membawakan cover lagu NIB milik Black Sabbath, Little Wing dari Jimi Hendrix, dan Whipping Post karya Allman Brothers.

Wylde mempertontonkan teknik main gitar yang nyaris akrobatik. Gitar ia junjung di belakang kepala, lalu jemarinya memainkan nada secara terbalik. Kadang Wylde malah hanya bermain dengan satu tangan.

Barangkali, karena penonton terlalu kalem, Wylde memutuskan turun panggung di tengah-tengah penampilannya. Ia melompati pagar pembatas dan dengan santai bermain di tengah kerumunan penonton. Wylde langsung tak kelihatan dikerubungi ratusan penonton yang hendak melakukan swafoto. Namun pekik gitarnya masih terus membahana seolah-olah tak terganggu.

Selanjutnya giliran si virtuoso Steve Vai. Karisma Vai tak terbendung membawakan Racing the World, Gravity Storm, termasuk Tender Surrender, yang dinominasikan untuk Grammy kategori instrumental rock terbaik. Ia berganti gitar hampir setiap kali berganti lagu.

Pada sesi terakhir, kelima dewa tampil bersama di atas panggung. Mereka membawakan Frankenstein dari Edgar Winter dan Highway Star Deep Purple. Ini adalah pertunjukan kolaborasi teknik tinggi.

Otak supergrup ini tak lain adalah Steve Vai. Pria 56 tahun itu membentuk Generation Axe pada 2016 setelah menyimpan ide tentang supergrup ini selama bertahun-tahun. Ia memilih pemain gitar dengan teknik paling mumpuni pada tiap genre-rock, metal, fusion, dan blues-untuk diajak tur bareng. Terkumpullah Yngwie Malmsteen, Zakk Wylde, Nuno Bettencourt, dan Tosin Abasi, yang langsung mengiyakan ajakan Vai. "Kalau bukan karena Vai, pasti susah ngumpulin mereka," kata gitaris Dewa Budjana, yang malam itu turut menonton konser.

Dalam sebuah wawancara dengan situs musik, www.bandwagon.com, Vai mengaku tak kesulitan meyakinkan para master gitar itu. Susahnya hanya menyatukan jadwal untuk mereka tur bareng. Vai merancang sendiri konsep pertunjukan, daftar lagu, dan sesi untuk tiap gitaris. Ia memastikan pentas para dewa itu tak menjadi ajang kompetisi jawara gitar, tapi pertemanan dan kolaborasi. Mereka memulai dengan tur 27 kota di Amerika Serikat sepanjang April-Mei tahun lalu dan berlanjut dengan tur Asia pada tahun ini. Selain mengunjungi Jakarta, Generation Axe turut menyambangi Tokyo, Seoul, Hong Kong, Beijing, Bangkok, dan Singapura.

Budjana berkesempatan bertemu langsung dengan Vai di belakang panggung seusai pertunjukan. Dia satu-satunya yang diberi kesempatan itu karena album Zentuary Budjana dirilis oleh label milik Vai, Favored Nations. Mereka berbicara tentang album, tur Vai, serta Bali, yang menjadi destinasi favorit Vai dan istri. "Super-humble person," ucap Budjana tentang Vai.

Selain Budjana, banyak gitaris ternama dalam negeri lainnya yang terlihat turut menonton konser. Pentas lima dewa tak pelak adalah hari raya bagi para gitaris. Andra gitaris Dewa 19 dan Andra and The BackBone, Eross Candra "Sheila On 7", Coki "NTRL", dan Bengbeng "Pas Band" adalah beberapa yang terlihat.

Eross mengatakan konser ini ibarat paket hemat yang sangat ia nantikan. "Sekali datang, dapat banyak. Dan mereka datang dengan peralatan yang serius, enggak seadanya," kata Eross, yang mendengarkan lagu-lagu instrumental Vai sejak duduk di sekolah dasar.

Dari tiga kali kedatangan Vai ke Indonesia, baru kali ini Eross berkesempatan menonton langsung idolanya itu. Namun penampilan yang paling mengejutkan bagi Eross justru ditunjukkan oleh Yngwie Malmsteen. "Sudah tua tapi mainnya masih kenceng banget. Dia konsisten sekali," ujar Eross.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus