Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Di Pangkuan Matahari

Film science-fiction yang bertema ekspedisi ke matahari. Sebuah thriller tentang kematian.

16 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sunshine Pemain: Cillian Murphy, Rose Byrne, Chris Evans, Cliff Curtis, Michelle Yeoh Skenario: Alex Garland Sutradara: Danny Boyle Produksi: A DNA Films Production (2007)

Ia meletakkan telapak tangannya di lidah matahari. Ia tahu kematian yang telah ia tunggu sudah begitu dekat. Ke pangkuan matahari akhirnya ia akan kembali. Persis seperti mimpi-mimpinya: ia menyelam ke dalam pusaran bola api.

”Dari debu kembali ke debu,” begitu Searle, sang kawan, berucap.

Capa lalu menengadah, membuka matanya lebar-lebar, dan tersenyum. Ia menikmati tangannya yang segera mengelupas, lalu lepas menjadi debu. Tangan, kaki, dan seluruh tubuhnya kini menghuni angkasa raya yang luas. Sebagai debu.

Riwayat Capa (Cillian Murphy), fisikawan yang merancang pesawat antariksa dalam ekspedisi ke matahari ini, juga Searle (Cliff Curtis) dan enam astronot lain, memang berakhir di surya yang mahapanas itu. Tapi me-reka telah merampungkan misi utama: kembali menyalakan matahari yang sinarnya mulai redup.

Sunshine adalah sebuah film science-fiction. Penulis skenario Alex Garland mengajukan sebuah gagasan: apa yang akan terjadi jika matahari sekarat. Ia mendasarkan fakta bahwa setiap de-tik selalu ada bintang yang padam. Bagaimana jika matahari padam dan cahayanya tak sampai ke bumi?

Sebuah misi kemudian diciptakan. Sejumlah ilmuwan merancang pesawat antariksa Icarus II yang bisa mende-kati matahari. Ini tindakan muskil. Tidak hanya pesawat akan dengan mudah tersedot gaya tarik matahari, tapi juga tak akan tahan terhadap panasnya. Namun apa yang tak mungkin bagi sebuah imajinasi? Jules Verne dulu dicemooh saat melontarkan gagasan bertualang ke bulan. Nyatanya, manusia sampai juga ke sana.

Icarus II dirancang untuk berangkat menuju matahari demi menyelamatkan nasib bumi dan alam semesta lainnya. Delapan astronot itu juga membawa bom nuklir yang akan dilemparkan ke inti sang surya hingga nyalanya kembali menjangkau planet-planet yang jauh. Tapi adakah jalan pulang bagi Icarus II?

Di sinilah sutradara Danny Boyle (28 Days Later) menggali ketegangan di film yang mengambil latar tahun 2057 itu. Icarus I, yang dikirim terlebih dulu, terbukti tak kembali. Misi pun gagal. Kini giliran Icarus II bersiap menjemput maut. Capa pun dihantui mimpi-mimpi buruk tentang kematian: ia berenang di permukaan matahari.

Di angkasa raya yang hampa dan sepi, ekspedisi Icarus II itu menjelma menjadi perjalanan psikologis. Memang film Inggris ini tak menyuguhkan dialog-dialog filosofis seperti dalam film Stanley Kubrick yang legendaris, 2001: A Space Odyssey (1968). Dalam 2001: A Space Odyssey yang lamban itu, Kubrick hanya memanfaatkan ekspedisi ke Planet Jupiter untuk jauh menyelam ke tema batas alam semesta dan pencapaian umat manusia.

Tapi Sunshine juga tak jatuh menjadi melankolis seperti Armageddon (1998). Film Armageddon menjalankan sebuah misi meledakkan asteroid yang tengah bergerak jatuh menimpa bumi, tapi kemudian hubungan romantis antara salah seorang astronot dan seorang gadis di bumi mengisi separuh cerita. Boyle memilih menyuguhkan sebuah thriller di pesawat antariksa dengan para awak yang setiap saat bertaruh dengan kematian.

Astronot Trey (Benedict Wong), misalnya, salah beberapa mili-derajat mengarahkan Icarus II. Akibatnya, panel di punggung pesawat pun memuai dan bola api raksasa segera menghanguskan kebun oksigen di dalam pesawat. Trey mengalami stres dan sisa awak lain berjibaku membendung api.

Panel harus diperbaiki. Itu berarti harus ada awak yang keluar dari pesawat. Itu juga berarti harus ada yang berani menyetor umurnya lebih cepat untuk menjadi santapan api. Begitulah, satu per satu awak bertaruh menghadapi ajal. Dan di tengah misi, ketahuan kemudian bahwa Icarus II ternyata cuma menyisakan oksigen untuk perjalanan pulang bagi empat awak.

Searle memilih menyambut sang maha-api. Ia membuka baju astronot, menggantung topi kesayangannya, memakai kacamata hitam, dan duduk tenang di sebuah bangku. Kini tak ada lagi harapan yang mesti ditunggu. Semua sudah pasti. Juga kematian itu. Dan dari sebuah pengeras suara terdengar suara kawan-kawannya: ”Kami mencintaimu, kami mencintaimu….”

Yos Rizal Suriaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus