Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melati Suryodarmo berduka. Ia berbicara kepada kain hitam yang ia jahit. Perempuan bertubuh gempal itu seperti merapalkan mantra, mengulang kalimat "I'm sorry" dengan bermacam intonasi. Kadang terbata-bata, pendek, dan panjang. Melati mengenakan sepatu hitam serta setelan baju dan celana merah.
Kain hitam yang ia jahit itu kemudian ia kenakan. Ia lalu menuju dinding Ark Galerie, Yogyakarta, yang bercat hitam. Ia menggenggam kapur dan menulis di dinding deretan turus hitungan seperti orang melakukan penghitungan suara secara manual entah dalam pemilihan Umum entah pemilihan ketua partai politik.
Melati melakukan gerakan ini berulang-ulang selama lima jam pada Rabu, 25 Mei 2016. Besoknya, Melati mengulangnya selama lima jam di tempat yang sama. Seusai pertunjukan, semua benda yang ia gunakan untuk pentas dipajang sebagai karya instalasi dalam pameran seni rupa hingga 18 Juli mendatang.
Melati banyak menggunakan benda berwarna hitam sebagai simbol duka atau kegelapan dalam performance art berjudul Amnesia itu. Kain hitam yang ia jahit berjumlah 18. Ketika menjahit, menurut Melati, sejatinya ia sedang menyambung sesuatu yang terbelah. Saat itu ia seolah-olah menjahit memori kegelapan yang berserakan. Memori itu ia satukan dengan jahitan sederhana. Setiap baju hitam hasil jahitan itu ia pakai, lalu ia copot, ia letakkan di lantai.
Adegan menulis pada dinding hitam itu menggambarkan bagaimana manusia menghitung ke belakang atau masa lalunya. Semua gerakan tubuh Melati diulang-ulang seperti orang berzikir. Pentas itu menyajikan bagaimana seseorang menyikapi sejarah di masa lampau yang memakan korban dalam jumlah besar dan menyakitkan. Tragedi kemanusiaan itu tak hanya menimpa bangsa Indonesia, tapi juga sejumlah bangsa di negara lain.
Melati, yang lama tinggal di Jerman, merasakan hal itu. Rasa penyesalan dan bersalah terhadap kejahatan Nazi, menurut dia, selalu muncul di Jerman. Bahkan di kalangan anak muda kini. Anaknya yang tinggal di Jerman dan telah lulus sekolah menengah juga pernah mempertanyakan tragedi masa lalu itu. Yang menarik, Melati melihat pemerintah Jerman memutuskan menanggung segala konsekuensi atas sejarah gelap itu. Hingga sekarang, banyak kebijakan negara yang mendasarkan pada rasa bersalah atau rasa penyesalan atas Holocaust. Bagi Melati, terhadap tragedi kemanusiaan, negara harus bersikap tegas betapapun beratnya. Ia mencontohkan bagaimana di sini negara masih terombang-ambing atas tuntutan permintaan maaf untuk peristiwa 1965.
Pentas Melati kali ini seperti kebalikan dengan performance I Love You yang telah dipentaskannya di sejumlah negara. Dalam pertunjukan itu, Melati menyunggi potongan kaca besar. Badannya harus sampai membungkuk saat punggungnya menanggung beban kaca yang berat itu. Ia berjalan ke sana-kemari berjam-jam dengan posisi demikian. Sekali ia terpeleset, kaca itu pecah dan melukainya. Dalam kondisi menahan beban yang berat dan berbahaya itu, ia mendaras kalimat: I love you. Kata itu terus-menerus diucapkannya berjam-jam, diucapkan sampai ia kelelahan.
Dan, malam itu, ia menyampaikan permintaan maaf berulang-ulang: I'm sorry, I'm sorry....
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo