Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Madonna dalam Sastra Indonesia

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AYU Utami melesat membelah langit sastra Indonesia bak sebuah meteor. Ketika novel Saman diumumkan sebagai pemenang roman sastra Dewan Kesenian Jakarta, hidup Ayu dilanda gunjingan yang mempertanyakan benarkah novel ini lahir dari tangannya. Namun, novel keduanya, Larung, tampaknya mengakhiri gunjingan itu sekaligus ”mengukuhkan otoritas kepengarangan Ayu,” demikitan tulis kritikus sastra Melani Budianta. Karena itu, penghargaan Prince Claus Award 2000 atas karya Saman itu memang tak berlebihan. Adalah Ayu yang juga menggebrak mitos bahwa karya sastra tak akan laku. Novel Saman ludes sebanyak 55 ribu eksemplar. Di tangan Ayu, sastra bukan kisah perjalanan fisik. Tak banyak tindakan jasmani tokohnya yang mengagetkan pembaca. Tokoh-tokoh Ayu adalah mereka yang tenggelam dalam pemikiran, perasaan, dan bergulat dalam diskusi, baik melalui surat elektronik maupun di sebuah ruang. Di dalam deskripsi dialog itu, Ayu selalu menyajikan kemampuannya mengolah metafor. Kalimat-kalimatnya puitis, terkendali, tanpa kemubaziran, dan detail hingga mampu menghidupkan pengindraan pembaca pada hal-hal kecil. Tema Saman dan Larung adalah sosial, politik, religius, dan cinta. Saman berkisah seputar aktivis LSM di perkebunan Sumatra dan persahabatan empat sekawan Laila, Yasmin, Cok, dan Shakuntala. Di dalam pemikiran dan dialog para sosoknya, terlihat sikap sang penulis—yang diwakili oleh Saman dan Yasmin—yang mempertanyakan dogma-dogma Nasrani yang mengingatkan pada pemberontakan sastrawan Jeanette Winterson terhadap Gereja Katolik. ”Saya menyukai karyanya,” demikian Ayu ketika ditanya soal pengaruh Winterson pada karyanya. ”Saya suka dengan lirik dan imajinya. Bab Shakuntala memang dipengaruhi novel Jeanette Winterson, Written on the Body,” tutur Ayu jujur. Novel lanjutan Saman berjudul Larung berlatar pembantaian massal Gerakan 30 September di Bali dan penyerbuan kantor PDI, 1996. Anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Sutaryo-Sugartinah ini toh tak tergoda untuk ”terjerumus” menampilkan aktivitas politik. Sebaliknya, ia memilih sudut yang menantang untuk diolah secara bahasa. Bagian pertama novel Larung, yang menceritakan pembunuhan (euthanasia) tokoh Nenek, adalah contoh deskripsi yang cerdas dan indah. Nenek ini, dikisahkan, adalah seorang perempuan dari Bali yang dulu menyelamatkan anak-anaknya lari ke Jawa dari pembantaian tentara. Ditulis dengan gaya narasi orang pertama, Ayu menghindar untuk menjadi klise. Dia tak berkisah soal pembantaian itu. Sebagian besar halamannya diisi oleh uraian anatomi Nenek. Halamannya penuh dengan pemikiran Larung saat memandikan neneknya yang telanjang, cara membedah tubuh tua kisutnya, mengambil gotri di dalamnya, deskripsi baunya. Kita tercekam secara imajinasi, antara realis dan surealis. Pertanyaan tentang tubuh menjadi sebuah kekuatan dalam pemikiran novel Ayu Utami. Dalam Saman ia memperlihatkan pertanyaan dan gugatan para tokoh perempuan memaknai tubuhnya sendiri. Untuk pertama kalinya pembaca Indonesia melihat ada seorang perempuan yang jujur mengatakan ingin mencapai orgasme atau melakukan masturbasi. Bagian-bagian paling pribadi dari tubuh untuk Ayu dibicarakan dengan wajar—seperti halnya mendiskusikan hidung atau kuping. Pertanyaan dan gugatan tentang makna tubuh perempuan ini sesungguhnya adalah gugatan banyak feminis Barat, dari sastrawan macam Simone de Beauvoir hingga ikon pop macam Madonna melalui lirik lagunya. Gugatan Ayu tentang tubuh belum tentu akan fasih jika ditulis oleh seorang sastrawan pria. Lahir di Bogor, 21 November 1968, Ayu adalah seorang madona, seorang perempuan yang menyadari tubuhnya. Banyak novelis dunia mengolah problem perempuan atau laki-laki yang kehilangan perspektif untuk mengidentifikasi tubuhnya sendiri. Tubuh hanya ibarat kurungan yang tak berjiwa. Orang-orang ini rindu untuk mencari tubuh sebenarnya karena tubuhnya yang berjiwa ”dilenyapkan” oleh kehidupan mekanik sehari-hari. Ayu mengusut tubuh sebatas raga, tak mencapai roh. Tapi, karena dia profan, karyanya menjadi kuat dan jujur. Barangkali benar, Ayu Utami adalah seorang Madonna dalam Sastra Indonesia. Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus