Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pintu Belakang Rumah Jawa

12 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Back Door Java
Pengarang: Jan Newberry
Penerbit: KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Terbit: Maret 2013
Tebal: 284 halaman

Misteri peran pintu belakang rumah Jawa telah mengubah tema penelitian Jan Newberry, peneliti asal Universitas Leithbridge, Alberta, Kanada, yang melakukan penelitian lapangan etnografi di Indonesia sejak 1992. Awalnya ia bermaksud mengkaji kaitan antara masyarakat pertanian dan negara. Namun situasi yang dihadapinya sehari-hari di sebuah rumah kontrakan di Kampung Rumah Putri, di pusat Kota Yogyakarta, memaksanya menghabiskan waktu penelitian di dapur orang Jawa perkotaan.

Ketiadaan pintu belakang di rumahnya memberi pengalaman berkesan bagi Newberry. Suatu kali ia kedatangan tamu dan meminta seorang anak tetangganya membeli gula. Karena tak ada pintu belakang, sang anak kembali dengan membawa gula yang disembunyikan di balik bajunya. Dari situ ia menyadari pintu belakang memiliki peran penting bagi masyarakat Jawa. Ketiadaan pintu belakang juga telah menjadi penghambat besar ketika Newberry dan suaminya menjadi tuan rumah dalam sebuah acara slametan. Tanpa pintu belakang, ia harus bergantung pada dapur tetangganya dan tidak memiliki kontrol penuh atas acara slametan.

"Melalui pintu (belakang) inilah, dan peran penting yang dimainkannya, saya dapat memperoleh gambaran penting mengenai masyarakat kampung dan kehidupan keluarga," ujarnya.

Catatan Guru Muda dari Pelosok

Catatan Kecil Pengajar Muda
Pengarang: Tim Indonesia Mengajar
Penerbit: GagasMedia
Terbit: 2013
Tebal: 421 halaman

Maisya Farhati dan lima pengajar muda itu tiba Pulau Bawean di tengah Laut Jawa pada pertengahan Juni 2011. Mereka tiga jam naik kapal dari Gresik, lalu satu setengah jam masuk hutan, sebelum menemukan Dusun Pinang Gunung, tempat mereka mengajar. Inilah pengalaman yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Di dusun itu, Maisya harus menyaksikan bangunan sekolah dengan kayu bolong-bolong, beralas tanah berdebu, serta beratap seng yang bocor dan hampir roboh. Di situlah proses belajar kelas I-IV. Satu bangunan sekolah lainnya disulap menjadi tiga ruangan dengan sekat lemari dan papan. Tiga ruangan itu adalah ruangan kepala sekolah sekaligus guru, ruang kelas V, dan ruang kelas VI.

"Memenuhi setahun mengajar di Bawean, aku akan belajar banyak dari mereka," lulusan studi Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada itu bertekad.

Kisah Maisya itu merupakan salah satu dari kisah 28 pengajar muda di pelosok-pelosok Indonesia yang tergabung dalam program Indonesia Mengajar. Mereka yang memiliki berbagai latar belakang ilmu itu menetap selama setahun penuh. Mereka menghadapi kerumitan tantangan pendidikan dan masyarakat sekaligus.

Dalam pengantarnya, Anies Baswedan, pendiri Indonesia Mengajar, menyebutkan kehadiran para pengajar muda di pelosok Indonesia dengan sepenuh hati itu menjadi saksi hidup semangat dan kesungguhan anak-anak desa yang miskin prasarana. "Di desa-desa itu mereka menemukan mutiara cemerlang yang terbungkus oleh hutan, gunung, atau laut," ujarnya.

Tahun-tahun Berdarah di Papua

Hidup atau Mati: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua
Pengarang: Markus Haluk
Penerbit: Honai Center dan Penerbit Deiyai
Terbit: Maret 2013
Tebal: 330 halaman

Konflik di tanah Papua tak kunjung mereda dalam lima tahun terakhir. Dari tahun ke tahun selalu muncul peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Laporan dokumentasi hak asasi manusia di Papua dalam empat tahun terakhir, yaitu dari 2008 hingga 2012, dihimpun dalam buku Hidup atau Mati: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua.

Penulis buku, Markus Haluk, seorang aktivis hak asasi manusia dan terlibat dalam advokasi korban kekerasan di Tanah Papua. Ia menulis laporannya berdasar peristiwa yang ia temui di lapangan. Ia juga melengkapi data dengan menggunakan sumber dari publikasi media terbitan Papua ataupun Jakarta.

Buku ini memaparkan bagaimana selama kurun 2008-2012 pemerintah RI telah melakukan pelanggaran hak asasi, baik dalam hak sipil politik maupun hak ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya, terhadap rakyat Papua. Penulis juga menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dalam berbagai kesempatan mengungkapkan niatnya menyelesaikan masalah Papua secara damai. "Meski masa kepemimpinan Presiden SBY memasuki tahun kedelapan, komitmen penyelesaian dengan cara damai belum dilakukan juga di Papua," ujarnya.

Erwin Zachri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus