Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Manga Rasa Lain

Manga arus tepi berbeda dengan manga arus utama. Lebih kaya dari segi keanekaan gaya.

27 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHKAN bagi yang sedari kecil menggemari manga, datang pertama kali ke jantung budaya populer Jepang di Tokyo akan tetap merasa kagum. Apalagi saya, yang lebih banyak dibesarkan oleh komik Amerika, seri Tintin, dan komik silat serta superhero dagelan ala Indonesia.

Setelah mengatasi ketakjuban karena mengalami langsung keraksasaan skala industri manga di Tokyo (toko buku yang mengkhususkan satu hingga tiga lantainya untuk manga adalah lazim di Tokyo) dan Kyoto plus Hiroshima, saya mengalami kejutan lanjutan. Di Kinokuniya Shinjuku, Takashimaya Square, saya menemukan beberapa manga yang sangat dekat dengan ciri ”novel grafis” seperti yang sekarang mapan di AS dan Eropa Barat.

Rasa kaget saya bukan karena jenis itu ada, karena toh saya sudah membaca soal ini di beberapa buku acuan tentang komik Jepang. Kekagetan saya lebih karena betapa masih banyak yang belum tercakup oleh radar buku teks tentang novel grafis di Jepang yang pernah saya baca. Maklum, rata-rata buku acuan itu memang berbahasa Inggris.

Tapi itu tak seberapa mengejutkan ketika saya pergi ke sebuah toko buku di Roppongi, yang berfokus pada buku desain, menemukan beberapa manga yang praktis adalah album senigrafis. Di antaranya, dua karya Koji Aihara, yang memaparkan dunia bersosok nyaris nonfiguratif. Koji ini, kemudian saya tahu, memang ”anak nakal” manga—terkenal dengan parodi Yokoma Manga (manga empat panel), seperti terkumpul dalam Manka, juga parodi ”how to” berjudul Even Monkey Can Draw Manga.

Lalu saya berkunjung ke tiga cabang Mandarake di Nakano Broadway, Shibuya, dan Akihabara. Juga ke pojok-pojok ”distrik buku” Jinbocho. Semua masih di Tokyo. Berjumpa dengan aneka rasa manga, yang vintage hingga yang kiwari. Hampir setiap hari saya mendatangi Book-Off, jaringan buku bekas terbesar di dunia (lebih dari 10 cabang di Tokyo saya kunjungi selama dua bulan, terlalu sedikit untuk lebih dari 1.000 cabangnya di Jepang!), dan selalu menemukan kejutan kecil.

Jadi, sederhananya, ada manga arus utama (mainstream) dan ada manga arus tepi (sidestream). Manga arus utama melimpah dari segi jumlah (bisa mencapai jutaan eksemplar per volume), terbatas dari segi gaya. Manga arus tepi, sebaliknya, terbatas dari segi jumlah (mulai yang dicetak fotokopian hingga terbit dengan oplah 50 ribuan), tapi melimpah dari segi keanekaan gaya.

l l l

Sementara manga praktis jadi bagian dari gaya hidup masyarakat Jepang, kenapakah otaku adalah sebuah kata kotor bagi kebanyakan orang di Jepang? Mengapa otaku lebih banyak dianggap sebagai masalah sosial?

Tak ada yang bisa memastikan dari mana istilah otaku berasal. Hanya bisa dirujuk, misalnya dalam The Otaku Encyclopedia (Patrick W. Galbraith, 2009) bahwa istilah ini mulai banyak dipakai di Jepang pada 1980-an. Sebermula, kata ini adalah sebutan sopan (formal) untuk ”rumah Anda” dalam bahasa Jepang.

Salah satu penjelasan umum kenapa kata ini dipakai untuk para ”nerd” di Jepang adalah karena kelompok ini cenderung tak pernah ke luar rumah, sukar berhubungan dengan orang lain, hanya terbenam dalam hobinya, dan ke luar rumah hanya untuk hobinya. Stereotipe ini sudah cukup buruk, tapi muncul insiden yang memperburuk citra ini.

Pada 1989, Tsutomu Miyazaki membunuh, memutilasi, memerkosa mayat, dan memakan sebagian organ tubuh empat anak perempuan di Tokyo. Liputan media merekam kamarnya: sarang koleksi 5.763 buah anime, termasuk film dan animasi porno (hentai), video, juga manga. Inilah kamar otaku, kata media. Maka gelaplah citra otaku sejak itu.

Insiden ini membuat Makuhari Messe, gelanggang raksasa di Teluk Tokyo, menolak jadi tempat berlangsungnya konvensi Comiket. Pihak berwenang di sana menganggap bahwa para fan manga dan anime identik dengan otaku. Berbagai upaya untuk membersihkan citra otaku, seperti rangkaian kuliah Okada ”Otaking” Toshio di Universitas Tokyo, gencar diudar.

Namun pada 1995 terjadi kegegeran lagi di Jepang. Kelompok okultisme Aum Shinrikyo melakukan teror gas beracun di subway Tokyo. Kelompok yang terobsesi pada kehancuran dunia ini ternyata sangat dipengaruhi anime. Mereka juga menyebarkan ajaran melalui manga yang mereka cipta. Stereotipe gelap otaku di Jepang pun tetap kental, gara-gara mereka. Walau, pada saat yang sama, di AS dan Eropa, istilah otaku mulai merasuki gaya hidup sebagian youth culture di sana, akibat popularitas anime macam Evengalion dan Ghost in The Shell.

Pada 2000-an, subkultur otaku tetaplah arus bawah yang masih dicurigai di Jepang sendiri. Tapi kemunculan Akihabara pada era ini sebagai kota hobi dan ”ibu kota otaku dunia” di luar rencana pemerintah kota, jadi ilustrasi pentingnya subkultur ini. Mau tak mau, tempat semacam Akihabara atau toko hobi Mandarake jadi atraksi wisata penting di Tokyo saat ini.

Begitu juga ajang temu Doujinshi yang mendebarkan: Comiket, di Tokyo Big Sight. Comiket musim panas ini, yang ke-78, dilaksanakan pada 13 Agustus (pembukaan) dan dibuka untuk umum pada 14-15 Agustus 2010, pukul 10.

Inilah ajang manga buatan nonprofesional. Di sini dijual aneka manga buatan para fan manga yang terobsesi membuat cerita mereka sendiri berdasarkan karakter-karakter yang mereka sukai. Tak pelak, genre yang biasa disebut doujinshi ini sering dipadankan dengan genre fan fiction—fiksi ”tak resmi”.

Lebih dari 500 ribu orang antre di ajang yang digelar di arena Tokyo Big Sight, Odaiba (pantai reklamasi Tokyo) dari pagi hingga siang, rela menanggung terik yang bisa mencapai 38 derajat Celsius. Dalam dua hari, mereka bersicepat membeli manga-manga tak resmi ini. Kebanyakan manga doujinshi ini dicetak secara swadaya, terbatas, dan karena itu terasa barang koleksian yang bakal jarang ditemui. Lingkaran doujinshi ini selalu jadi wahana pencarian bakat penerbit resmi untuk mendapatkan komikus baru. Memang, bermula dari praktek membuat karya pelesetan, banyak yang tumbuh jadi bintang manga.

l l l

Setiap kali saya bertanya pada awal mukim saya di Tokyo, di manakah mencari ”manga alternatif”, selalu jawabnya adalah tatap bingung. Begitu saya sebut ”manga avant garde”, baru muncul tatapan ”Aha!”, dan dengan segera saya diberi tahu. Antara lain, harap mampir ke Galeri TrancePop di Kyoto.

Yang saya temui kemudian adalah eksperimentasi manga dari, kebanyakan, para komikus alumni Garo dan AX. Garo (harfiah berarti ”galeri seni”) adalah majalah yang diterbitkan editor komik Katsuichi Nagai pada 1964.

Garo menjadi rumah pertama aliran gekiga (”komik dramatis”). Inilah jenis manga yang ingin merekam kisah-kisah dramatik manusia secara dewasa. Dalam perkembangannya, gekiga jadi genre sendiri, yang lebih dikenal sebagai manga petualangan bagi orang dewasa. Serial Sanpei Shirato di Garo, Kamuiden, yang mengisahkan hidup samurai penuh kekerasan, jadi karya klasik.

Nagai lebih lanjut ingin membebaskan ekspresi manga selayaknya seni rupa kontemporer. Perlahan, para manga-ka memanfaatkan Garo untuk karya eksperimental. Paling menonjol pada masa awal Garo adalah karya-karya Tsuge, yang semakin lama semakin individualistik. Muna no Hito (”Manusia tanpa Keterampilan”) dipandang sebagai kritik menohok atas arus industrialisasi Jepang yang serba bergegas dan penuh ”bisnis”.

Walau oplahnya hanya ribuan eksemplar (tak seperti Shonen Weekly yang bisa jutaan), Garo dianggap rahim bagi manga alternatif di Jepang. Pada 1990-an, Garo dikenal sebagai majalah manga ”avant garde”. Ketika Nagai wafat pada 1996, Garo jatuh ke tangan pemilik baru yang lebih ingin berbisnis. Para editor dan seniman Garo yang lama berhenti ramai-ramai. Mereka mendirikan penerbit manga alternatif, Seirin-Kogeisha. Penerbit itu kemudian meluncurkan jurnal AX, yang lebih tegas lagi membawa panji ”avant garde” dalam manga. AX nomor satu meluncur pada Februari 1998, masih terbit dua bulanan hingga kini.

Pada September ini, Galeri TrancePop, misalnya, memamerkan karya lukis dan halaman komik asli, plus mainan-mainan, dari Imiri Sakabashira. Sementara di Toko Taco Che, lantai tiga Nakano Broadway, saya jumpai manga fotokopian karya Jiro Ishikawa. Salah satunya, Marriage, dicetak setinggi jempol. Format-format fotokopian ini bukan sekadar cermin keterpaksaan, agaknya, melainkan sebuah pernyataan sendiri. Jiro menyebut komik-komiknya ”pocket sike manga”. Kata ”sike” adalah dari cerapan Jepang untuk kata ”psychedelic”, gerakan musik dan seni rupa AS yang diilhami keadaan fly karena LSD.

Dari istilah ”avant garde” dan ”sike” itu jelas bahwa para manga-ka alternatif ini melekatkan diri lebih pada komunitas seni selain manga. Musik alternatif, desain grafis, juga seni kontemporer, adalah habitat manga jenis ini.

Penerbit besar dan menengah pun melihat peluang dalam manga alternatif. Majalah Morning Magazine, misalnya, yang punya editor nyentrik Yoshiyuki Kurihara, melahirkan sekumpulan manga alternatif bergaya pop art, retro, atau world comic, yang kemudian diterbitkan oleh Enterbrain, Comic Beam.

Gaya pop art bisa dilacak jejak pengaruhnya dari kegandrungan banyak orang Jepang terhadap budaya vintage Americana. Dalam gaya ini, karya pulp bersama gaya Andy Warhol diadaptasi jadi manga berkisah fantastik. Terutama, ini terlihat dalam karya Atsushi Kaneko (Bambi, BQ, Soil) dan Kato Shinkichi (Ranman).

Gaya Retro adalah konsekuensi semakin populernya karya klasik manga Jepang dari Tezuka, Shirato, dan yang sangat populer di Jepang saat ini: Shigeru Mizuki (Gegege No Kitaro). Salah satu manga-ka generasi baru yang mensubversi gaya visual klasik adalah Suehiro Maruo, dengan karya-karya erotiknya yang grotesk (Adam Stephanides, dalam The Comics Journal Special Edition Volume 5, 2005).

Akan halnya ”world comic” adalah gaya manga yang menyimpan pengaruh komik dunia. Jiro Taniguchi, misalnya, adalah manga-ka pertama yang mendapat penghargaan komik terbaik di Prancis, Angouleme. Karyanya mengolah pengaruh komik Prancis, khususnya dari Moebius, untuk menekuri alam batin kota-kota Jepang, seperti dalam Aruku Hito (The Man Walking)

Di hadapan keanekaan manga alternatif ini, saya merasa hanya menemukan mosaik-mosaik yang sama sekali belum menangkap utuh keseluruhan manga kontemporer di Jepang. Tapi saya merasakan arus tepi itu terus bergerak. Ia tak lagi sekadar arus tepi yang hanya sampingan, tapi agaknya sedang mulai jadi arus bawah, yang diam-diam menghanyutkan. Atau mengejutkan.

Sampai beberapa saat sebelum menuliskan akhir artikel ini pun, saya masih menemukan kejutan di dunia manga. Pernah lihat adaptasi manga untuk karya laris Dave Pelzer, A Child Called ”It”? Nah, saya menemukannya di toko Book-Off Ikebukuro, Tokyo. Jangan tanya manga apa lagi yang saya temukan bersama ”It” itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus