Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGAIMANA gambaran mutakhir manga (komik Jepang) kini? Salah satu gambaran jitu tentang keadaan tergres manga justru bisa dibaca di Kecamatan San Bernardino, Los Angeles, Amerika Serikat.
Pada awal 2006, seorang ibu yang punya anak 16 tahun mengajukan keluhan ada buku yang tak patut ada di perpustakaan San Bernardino County. Si ibu menggugat, buku itu cabul, penuh adegan seks menyimpang. Pejabat tinggi setempat, Bill Postmust, segera memerintahkan pencabutan buku itu dari perpustakaan karena ”mengandung gambaran seks dengan binatang”.
Buku yang diributkan itu padahal adalah Manga: Sixty Years of Japanese Comics, buku acuan sejarah manga, karya Paul Gravett, sarjana komik dari Inggris yang dipuji oleh The Times sebagai ”studi yang diriset secara solid”. Buku terbitan Taschen (2004) itu menampilkan banyak gambar cuplikan manga kontemporer.
Kejadian San Bernardino menegaskan bahwa, bagi sebagian orang, manga—terutama yang avant garde—masihlah selalu ganjil, ”menyimpang”, dan ”tak patut”. Buku Gravett itu dibuka dengan catatan banyaknya prasangka orang Barat terhadap manga, yang sering terkait dengan prasangka Barat terhadap Jepang itu sendiri. Imaji banyak orang Amerika dan Eropa Barat atas komik Jepang tak beranjak jauh dari rasa ”jijik” Paul Theroux, misalnya, dalam The Great Railway Bazaar melihat sebuah komik Jepang yang ditinggalkan seorang gadis pelajar Jepang di kereta.
Theroux, mantan murid V.S. Naipaul dalam sastra pelancongan, memandang komik Jepang di kereta itu, pada 1975, berisi ”penuh pemenggalan kepala, kanibalisme”. Tapi prasangka itu tak hanya ada di Barat. Di Jepang sendiri, ternyata, manga dan subkultur turunannya seperti otaku dan cosplayer, tak selalu diterima dengan baik.
Ambillah contoh Comiket, sebuah ajang festival komik jenis doujinshi (kurang-lebih: fans fiction) setiap Agustus dan Desember. Ajang selama dua hari itu dihadiri hingga setengah juta pengunjung, di Tokyo Big Sight, yang areanya seluas beberapa hanggar pesawat. Tak pelak, ini acara komik terbesar di dunia.
Bila Anda lihat situs resminya, comiket.co.jp, tercantum peringatan bagi para cosplayer atau pemain kostum yang selalu jadi atraksi utama di Comiket ke-78, musim panas ini: Please be aware that cosplay and masquerading have yet to be widely accepted in mainstream Japanese society. Do not come to or leave the Comiket wearing a costume.
Petunjuk bagi calon peserta Comiket itu dipenuhi instruksi dan larangan. Acara besar dan salah satu tonggak subkultur manga dan cosplay yang saat ini jadi salah satu atraksi wisatawan dari berbagai penjuru dunia ke Jepang tersebut, seolah jadi festival dengan semacam rasa bersalah.
Juga apabila kita mengamati buku manga yang bergenre: otaku. Di toko-toko buku Tokyo, Kyoto, juga Hiroshima yang sempat saya kunjungi, di rak buku buat pembaca berbahasa Inggris, sering nyempil buku Otacool 1 & 2 susunan Danny Choo, yakni berupa album foto kamar para otaku di seluruh dunia. Buku Otacool menyarankan secara agresif sebuah paham bahwa menjadi otaku adalah ”cool” atau ”keren”.
Kenyataannya, kata otaku masih dianggap kebanyakan orang Jepang sebagai kata kotor. Patrick W. Galbraith, dalam pengantar bukunya, The Otaku Encyclopedia (Kondansha International, 2009), bercerita betapa saat ibu semangnya di Tokyo mendengar Patrick mengaku diri sebagai ”otaku”, wajahnya memucat, lalu mengingatkan Patrick jangan sekali-kali mengucapkan kata itu di tempat umum. Beberapa bulan kemudian, kontrak rumahnya diputus sang semang.
Patrick mengaku, sesudah itu, ia sempat pacaran dengan seorang model kimono, yang menggetok kepala Patrick dengan payung saat mendengarnya bicara otaku di tempat umum. Katakan otaku dengan keras dan penuh gembira di tempat umum di Tokyo, bisa jadi Anda akan dipandangi dengan tajam oleh satu atau dua bapak-bapak Jepang.
Bahkan pejabat yang membaca otaku bisa menjadi bulan-bulanan media masa. Taro Aso, Perdana Menteri Jepang 2008-2009, yang terkenal karena mendaku sebagai otaku, misalnya, diledek media sebagai ”Yang Mulia Rozen” karena konon kepergok membaca manga porno berjudul Rozen Maiden. Sejak ia jadi Menteri Luar Negeri Jepang, 2005-2007, Aso secara terbuka dan agresif mendorong ekspor budaya pop Jepang.
Setiap beberapa puluh meter, di Tokyo, Anda pasti berpapasan dengan manga. Entah dengan orang yang sedang membacanya, entah manga di tempat sampah, manga di rak Family Mart atau 7-Eleven, hingga toko-toko buku 4-9 lantai dengan lantai khusus manga.
Toko yang menyajikan manga itu tetap bejibun, meskipun semenjak 2000-an terdapat perubahan gaya membaca manga di kalangan anak muda Jepang. Manga kini—dari yang konvensional sampai otaku, lebih banyak dibaca di Internet. Hiro Nagaike, seorang pembuat film muda, yang beraliran ”magic realism” dalam sebuah obrolan ringan dengan saya di Freshness Burger, Akasaka, Tokyo, mengatakan: mangascan dan scanlation—fenomena anak muda mengunggah manga ke Internet, untuk dibaca secara online dan gratis, adalah penyebabnya.
Banyak orang atau komunitas (sering ”komunitas” ini tak lebih dari komunitas maya yang tak pernah berjumpa) mengunggah berjilid-jilid seri manga tanpa bayaran, di luar izin penerbit. Bila satu buku manga biasanya setebal 120-400-an halaman, dan satu seri bisa mencapai lebih dari 20 volume, bisa kita bayangkan tingkat dedikasi para pemindai ini. Betapapun ilegal, mangascan ini sering membantu pembaca manga selalu up to date dalam soal manga, termasuk menerima informasi tentang perkembangan subkultur manga.
Yang menarik bagi saya, penerbit Jepang sendiri untuk waktu lama mentoleransi praktek pembajakan online ini. Menurut Hafiz Ahmad, dosen ITB yang sedang meneliti komik untuk meraih gelar doktoral desain-psikologi di Universitas Chiba, Tokyo, para penerbit manga di Jepang baru memberikan peringatan di forum scanlation jika edisi terjemahan bahasa Inggris sebuah manga akan terbit.
Para penerbit terjemahan manga di AS memang yang selalu rewel dalam hal ini. Mereka menggalang kampanye antipembajakan manga di Internet, dan setengah memaksa para penerbit Jepang agar lebih ”tegas”. Pada Juni 2010, 36 penerbit manga di Amerika dan Jepang bersatu dalam kelompok Japanese Comic Digital Association, untuk memerangi praktek scanlation. Para penerbit yang dulu percaya bahwa scanlation adalah kegiatan sehat untuk mendorong pengenalan manga ke publik luas kini menjadikannya sebagai kambing hitam penurunan pasar manga di AS.
Komunitas maya pengguna maupun aktivis mangascanlation segera ramai menampik tuduhan itu. Dave Baxter, aktivis penerbitan digital, mengomel dalam blognya, sonofhowell.com: ”Free is not the point. Location!, location!, location!, is.” Poin scanlation dan mangascan, menurut dia, bukan soal dapat komik gratisan, tapi soal lokasi. Dengan diunduh di Internet, ribuan manga bisa dibaca di laptop, ponsel, dan e-Book reader yang tak terjangkau pembaca konvensional.
Tomoyuki Omote, salah seorang peneliti utama di Kyoto International Manga Museum, yang saya jumpai, menyatakan sesungguhnya sebelum pemakaian Internet meluas krisis industri manga di Jepang telah terjadi sejak 1990-an. ”Puncak penjualan manga adalah pada 1995. Setelah itu, pasar manga mengalami penurunan,” katanya.
”Bagaimana bisa?” tanya saya. Omote memberikan jawaban yang tak saya duga, ”Seri Dragon Ball dan Slam Dunk berakhir.” Omote lalu menjelaskan, seri Dragon Ball karya Akira Toriyama dan Slam Dunk karya Takehiko Inoue adalah megahit terakhir manga dalam format serial di majalah. Format majalah adalah lokomotif utama industri manga di Jepang. Serial laris di majalah seperti Dragon Ball dan Slam Dunk akan membawa efek berantai penjualan komik dalam bentuk buku, anime, bisa juga hingga film, dan segala rupa merchandise turunannya.
”Sementara Dragon Ball dan Slam Dunk adalah megahit dalam magazines, One Piece dan Naruto menjadi megahit sebagai tankobon,” tutur Omote. Format tankobon adalah berupa buku manga seperti yang biasa kita kenal di Indonesia. Tepatnya, buku itu adalah semacam album, biasanya mengumpulkan sejumlah episode manga yang pernah terbit di magazine.
Saya teringat minggu pertama di Jepang, Juli lalu, datang ke ”distrik buku” Tokyo, Jimbocho. Juli lalu itu, di area dengan 160-an toko buku independen, dicanangkan sebagai ”Bulan One Piece”. One Piece adalah serial manga dan anime karya Eiichiro Oda. Dan seri Naruto karya Masashi Kishimoto seolah ada di mana-mana.
Tak syak lagi, manga kini adalah salah satu budaya pop Jepang yang menjajah dunia. Boleh dibilang manga adalah ”soft power” Jepang. Pemerintah Jepang mulai menanam sejumlah besar uang untuk kebijakan budaya, khususnya budaya pop Jepang.
Pada saat berkuasa, Perdana Menteri Taro Aso, misalnya, memiliki kebijakan menganakemaskan manga dan J-Pop sendiri. Tapi, menariknya, tak semua orang di Jepang nyaman dengan kebijakan agresif ini. Yuji Yamada, salah seorang pemilik PressPop, Inc., yang banyak mengenalkan manga bergaya avantgarde ke AS, Kanada, dan Eropa Barat, agak sinis. Menurut dia, dulu manga dianggap rendah dan tak dipedulikan. Kini manga dianggap segalanya. Yuji menganggap itu bodoh (baca wawancara Yuji Yamada).
Bahkan sebagian orang Jepang yang kebanyakan sejak kecil membaca manga melihat penerimaan dunia pada manga bisa cukup membingungkan. Ayumi Nakayama, penulis teater yang menjaga sekaligus mengampu sebuah toko manga alternatif di Nakano Broadway, Tokyo, ketika saya temui, mengaku heran sewaktu ke Prancis. ”Saya membaca manga selama 30 tahun. Di Paris, segala macam manga yang ada selama 30 tahun itu ada sekaligus!”
Ayumi bertanya-tanya, tidakkah orang luar Jepang yang menerima manga aneka rupa secara serentak itu tak akan kewalahan. Kasus ibu di San Bernardino di atas, yang kaget mengetahui ada hal cabul di manga, mungkin adalah salah satu efek yang dimaksud Ayumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo