Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Perihal Klik dan Air Mata Sejarah

Salah satu karyanya menjadi ikon spiritual saat melawan Orde Baru. Foto-foto Julian Sihombing menangkap sisi manusiawi tokoh-tokoh kontemporer.

27 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selasa, 12 Mei 1998.

SEPENGGAL petang yang menegangkan di Jalan Kiai Tapa, Grogol. Suasana makin mencekam saat gerimis mulai berguguran. Awan buram menjelmakan tameng-tameng para serdadu antihuru-hara Orde Baru tampak seperti siluet segerombolan Darth Vader yang tengah bergerak membentuk formasi mengepung mahasiswa. Sejak siang mahasiswa berjaket biru itu menggelar unjuk rasa menentang rezim Soeharto di kawasan kampus mereka, Trisakti. Beberapa saat ke depan sejarah baru akan terbentang, karena waktu dan hasrat pada perubahan menginginkannya. Berdetak dalam hardik kasar dan desing bising selongsong-selongsong timah panas yang berhamburan dari bedil orang-orang bengis bertameng itu.

Julian Sihombing di usia kematangannya (lahir di Jakarta, 15 Januari 1959) sebagai pewarta foto hadir di sana menyimpulkan peristiwa itu dengan meng-”klik” citra pada saat yang ditetapkannya. Tak lama kemudian momentum itu berdentang, ketika konflik bak mawar melawan bedil itu akhirnya benar-benar pecah. Imaji yang dipetik Julian mengarah pada seorang mahasiswi berkacamata yang tak berdaya tersungkur dengan mata mendelik. Tubuhnya menindih spanduk perlawanan yang kusut berantakan di aspal pekat jalan raya di bilangan Jakarta Barat tersebut. Julian baru saja mencuplikkan penggalan citra sejarah terpenting perihal panggung politik Indonesia untuk kita.

Foto sepenting itu layaknya berada di halaman depan, tapi ia hanya naik cetak selebar empat kolom, pada esok paginya, di halaman dalam harian Kompas, tempat Julian bekerja. Meskipun begitu, seperti mutiara dalam lumpur, walaupun tersembunyi di halaman belakang, pemuatan foto berkarakter tetaplah mampu mencuatkan atmosfer peristiwa, merambahkan dramanya, dan menyuarakan pembelaan kepada mereka yang tertindas. Teks foto yang tidak menegaskan kondisi mahasiswi, yang kemudian diketahui bernama Kiki dan ternyata sehat walafiat, setelah klik itu justru merekahkan simpati pada gerakan mahasiswa. Apalagi pembaca, ketika itu, mungkin mengira mata Kiki yang mendelik karena tercerabut nyawanya oleh kekerasan aparat.

Citra tersebut kini menjadi ikon spiritual yang menyertai siapa pun saat melawan emporium Orde Baru. Dalam buku fotografi pertama Julian Sihombing, Split Second, Split Moment, ini foto tersebut dimuat satu setengah halaman. Dapat lebih elok jika rangkaian foto, yang diabadikan Julian dalam sekelebatan momen penting yang melintas saat itu, juga ikut naik cetak demi melengkapi serial momentum penting sejarah kita dalam buku kukuh berwarna gelap yang diterbitkan dalam format panorama tersebut.

Dalam buku ini, terdapat beberapa materi foto berangkai yang tetap menarik, meski nilai beritanya tak sebesar peristiwa Trisakti, misalnya ricuh di arena taekwondo Surabaya; tandu yang jatuh di stadion utama Senayan; serta motor dan anjing di Pontianak. Sejarah selalu membutuhkan bukti-bukti visual yang penting ketimbang hanya teronggok dalam jaring-jaring laci arsip. Hanya ada dua penanda visual dari representasi ”pekan terakhir” Soeharto. Dimulai dengan foto Trisakti karya Julian dan diakhiri dengan foto Lengser Keprabon, 21 Mei 1998, karya Saptono, pewarta foto Antara, yang memperlihatkan histeria mahasiswa di lobi Gedung MPR/DPR saat menonton televisi yang tengah menayangkan detik-detik pegunduran diri Soeharto.

Soeharto adalah mimpi buruk bagi pers. Suatu pagi Julian menanti saat yang tepat untuk merepresentasikan hal itu ketika Wakil Pemimpin Redaksi Tempo Fikri Jufri melirik arlojinya (Juni 1994, halaman 72-73). Dan ”klik”, karena sekonyong-konyong dia melihat bayangan lampu video dari kru TV yang merefleksikan cahaya sehingga bayangan Fikri menjadi atmosfer kelam yang dramatis. Sebentar lagi majalah berita mingguan yang mereka kelola bakal dibredel oleh pemerintah Orde Baru. Foto tersebut kemudian disandingkan dengan imaji candid Goenawan Mohamad yang tengah berbicara kepada pers di ruang redaksi Tempo di kawasan Kuningan.

Di halaman berikutnya tertera foto close-up Soeharto yang tengah menyeka air matanya (April 1996, hlm. 74) ketika orang kuat Republik ini tak kuasa menahan kesedihannya atas kematian istrinya, Tien Soeharto, di Ndalem Kalitan. Sebagai fotografer yang punya akses ke Istana, Julian hadir pada saat perkabungan dan mengamati Soeharto yang kerap menyeka air matanya dengan saputangan. Tapi tak ada suara ”klik” dan kamera televisi yang mengarah kepada sang Presiden yang tengah berurai air mata. Pengawal Presiden yang mengawasi dengan ketat pers visual terlihat menjaga betul agar jangan ada yang merekam Presiden yang tengah menyeka air matanya.

Namun, diam-diam, Julian menyiapkan arah kamera, dan saat mata sang Presiden berkaca-kaca, secepat kilat dia mengabadikan peristiwa itu. Tak lama setelah itu, seorang petugas Pampres mendatanginya, menarik lengannya, dan menghardik dengan keras tapi dengan suara tertahan agar Julian segera menghentikan kegiatannya memotret adegan air mata itu dengan alasan yang tak jelas. Padahal foto itu memperlihatkan betapa manusiawinya seorang suami yang berduka ditinggal istrinya.

Sayang, nasib foto lenso dan air mata Soeharto tak seberuntung imaji Trisakti. Ia tak pernah disiarkan oleh harian Kompas yang memang sangat terkenal kehati-hatiannya dalam pemberitaan. Pemuatannya dalam buku ini tentu menarik sebagai catatan sejarah kelam kebijakan Soeharto yang gemar melakukan bredel terhadap media yang mempunyai sikap kritis dalam pemberitaan.

Buku ini pada hakikatnya merupakan himpunan catatan visual perjalanan politik negeri ini versi pandangan Julian Sihombing. Mari amati foto Iwan Fals pada perkabungan putranya, Rambu Galang Anarki (April 1997, hlm. 86), Adnan Buyung Nasution (Mei 1998, hlm. 179), Presiden Megawati dan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono serta Taufiq Kiemas (April 2003, hlm. 60-61), Billy Judono (Juli 1994, hlm. 164), salat di penjara Cipinang (November 2004, hlm. 195), dan tahanan politik (Soebandrio-Oemar Dhani beserta keluarga) di Cipinang (Juli 1995, hlm. 160).

Buku ini mengutamakan komposisi berdasarkan ritme artistik dan timbre ketimbang kronologi yang barangkali akan membosankan. Maka Split adalah suatu pencapaian yang perlu ditindaklanjuti oleh para pewarta foto muda demi eksistensi mereka secara mandiri. Tanpa Split, Julian tetaplah sosok penuh integritas yang penting dalam peta pers visual kita. Dia adalah pewarta foto terbaik pada zamannya.

Split dibuka dengan foto sampul tatapan sepasang mata penumpang yang mengintip di antara celah kaca jendela kereta api yang pecah akibat ulah para bonek Indonesia, yang sekaligus dapat dibaca sebagai representasi kekerasan secara luas akibat lemahnya penegakan hukum penguasa kita. Maka biarlah melalui mata desainer tekstil Obin Komara di pengujung buku (hlm. 220-221), kita menitipkan pandangan ke cakrawala Nusantara. Masih adakah semangat perubahan demi peradaban majemuk yang lebih baik seperti yang dititipkan oleh gerakan reformasi pada pemerintahan republik ini?

Oscar Motuloh, Fotografer dan kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus