Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
DARI balik kamar-kamar sewa murahan di Swiss, Prancis, dan Italia, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) tiada henti menuangkan isi pikiran. Hidup sendiri, jauh dari keluarga, dengan kesehatan yang tidak beres ditambah terjangkit gangguan mental, ia terus melayangkan surat kepada sobat-sobatnya. Di dalam bilik-bilik senyap yang cukup buat menulis dan tidur itu, ia mencipta pelbagai gagasan lewat peribahasa pendek. Fisik yang rapuh, jiwa yang lapuk, dan penglihatan yang memudar tak memungkinkan ia menuliskan pikiran secara panjang-lebar. Maka, ia mengalihkannya ke dalam bentuk aforisme (pepatah) untuk melontarkan ide-ide itu.
Namun, siapa nyana, justru melalui percikan pendek inilah di kemudian hari, ia menjadi refleksi Nietzsche yang amat menggetarkan dan diminati publik. Nietzsche memang pandai memilih kalimat yang tepat untuk mengemukakan pikiran. Semua ini berkat keahliannya dalam bidang filologi.
Pada usia muda, Nietzsche sudah bernegasi dengan Tuhan dan agama. Dia itu meninggalkan agamanya (Kristen) sembari melancarkan serangan pada teisme. Menurut dia, filsafat tidak akan merdeka jika kita masih dibelenggu oleh teologi. Bagi Nietzsche, kepercayaan kepada Tuhan cuma bikin manusia jadi lemah. Selama berabad-abad, agama menjadi suatu keyakinan yang harus dijalani manusia, dengan Tuhan sebagai pelindung. Hal ini melahirkan ungkapan khas Nietzsche tentang "kematian Tuhan". Kata dia: "Tuhan sudah mati, dan kitalah yang membunuhnya."
Gagasan untuk meracik pemikiran Nietzsche merupakan suatu kajian menarik. Ia adalah sosok unik, revolusioner, dan memiliki pergolakan jiwa penuh "warna". Tulisannya tajam, memukau, kontroversial, mendestruksikan pendapat yang mapan, mengungkapkan berbagai kebencian, sinis, sarkastis, dan penuh ironi. Fuad Hassan, dalam Berkenalan dengan Eksistensialisme (1973), mengatakan bahwa lewat Nietzsche, sejarah filsafat telah diperkaya dengan halaman-halaman baru: segar, ganas, gemilang, dan gilaseperti tecermin dalam aforisme yang mengawali naskah ini.
Satu bukti bahwa Nietzsche cukup diminati adalah perannya dikaitkan dengan pascamodernisme (postmodernism), yang marak beberapa tahun belakangan. Bahkan, Stephen Erickson dalam jurnal Philosophy Today (1990) menyebut Nietzsche sebagai "Bapak Pascamodern".
Nietzsche tak pernah belajar filsafat secara khusus. Gelar doktor diraih lewat bidang filologi klasik. Namun, kalam-kalamnya sarat dengan perenungan filosofis. Menurut Franz Magnis-Suseno, guru besar filsafat STF Driyarkara, Nietzsche bukan hanya filsuf, melainkan juga pujangga dan pengkritik kebudayaan. Karya-karyanya antara lain adalah Also Sprach Zarathustra (1883-5), Jenseits von Gut und Bose (1886), Zur Genealogie der Moral (1887), Der Wille zur Macht ( ] 884-8), Der Antichnst ( 1888), Die Gotzendammerung ( 1888), dan Ecce Homo (1889).
Buku Sabda Zarathustra ini diindonesiakan dari naskah Thus Spoke Zarathustra (berbahasa Inggris). Meski, menurut penerjemah, bagian-bagian yang meragukan dari buku itu diperiksa kembali lewat teks aslinya (bahasa Jerman), tidak diinformasikan dari siapa teks ini dialihbahasakan, apakah dari Walter Kaufmann (New York, 1954), R.J. Hollingdale (Middlesex, 1964)dua pemikir yang kerap disebut sebagai "ahli Nietzsche"atau dari sumber lain.
Yang jelas, penerbit buku ini cukup jeli. Sabda Zarathustra memang merupakan magnum opus Nietzsche. Lewat karya inilah ia diperbincangkan dan didiskusikan para peminat sastra dan filsafat. Apalagi, dalam karangan ini ia membicarakan persoalan "manusia unggul" (buku ini menggunakan istilah "adimanusia" sebagai terjemahan "ubermensch") dan mencanangkan "kematian Tuhan"dua hal yang, menurut Nietzsche, punya kaitan satu sama lain.
Dengan kematian Tuhan, manusia menjadi bebas. Tiada lagi hambatan bagi terciptanya "manusia unggul". Sebab, manusia akan memperoleh tantangan untuk berkreasi dari dirinya sendiritidak lewat bantuan orang lain, apalagi melalui kekuatan Tuhan. Daya cipta manusia bisa menghasilkan sesuatu yang baru.
Maka, manusia tanpa Tuhan menjelma menjadi manusia pencipta, karena ia telah mampu melepaskan semua ikatan, terutama moral dan agama. Ia mempunyai keberanian mengatakan secara jujur "kemauan untuk berkuasa" (Wille zur Macht). Dan hal inilah yang mendorong manusia mengekspresikan diri sebagai "manusia unggul".
Akhirnya, melalui karya ini Nietzsche mencoba mengajak kita membuka wawasan kita, menerawang agar memahami maksudnya: mengapa ia ingin menghancurkan mainstream sosial, budaya, dan agama dalam masyarakat, kendati ia menyadari pula bahwa kalamnya sulit dimengerti. "Mereka tidak memahamiku. Aku bukan mulut bagi telinga mereka. Waktuku belum tiba. Hanya esok-lusa milikku ."
Ricardo I. Yatim Alumni Fakultas Filsafat UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo