Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yerusalem: di sini Tuhan disebut tiap menit dan kebencian diteriakkan tiap hari. Mungkin di kota tua ini tiap lorong adalah jalan kesengsaraan, via dolorosa, dan tiap pejalan bergairah sebagai saksi kemahakuasaan. Di antara tembok batu yang menguning dan pohon zaitun, seakan-akan semua ini hadir: iman, kemutlakan, pengorbanan, kebengisan, rasa tergugah, juga sakit hati. Dan hasrat untuk abadi.
Beberapa puluh meter saja dari Masjid Al Aqsa yang asri, berdiri kukuh Tembok Ratapan yang ditatah musim sepanjang dua milenia lebih. Beberapa ratus meter dari tempat ibadah Yahudi itu, berdiri Gereja Jirat Suci yang menghitam oleh debu yang lewat beratus-ratus tahun. Saya pernah bertanya kenapa Tuhan menciptakan semua itu--sejumlah perbedaan yang tak diterima sebagai perbedaan--dan dunia jadi Yerusalem yang luas: tempat yang tak henti-hentinya menyaksikan pertumpahan darah. Seorang teman menjawab: "Kau sangka, Tuhan yang membuat semua ini?"
Tuhan menciptakan kebencian, ataukah sebaliknya, kebencian yang menciptakan Tuhan…. Itukah soalnya? Saya takut untuk berkesimpulan apa pun, takut jangan-jangan ada dwi-tunggal antara yang suci dan yang profan, dan ada yang mengerikan, mungkin pula menjijikkan, di dalam tiap kebenaran. Sebuah etsa Jerusalem karya William Blake bertuliskan sederet pertanyaan yang mengusik ini:
…What is a church and whatIs a theatre? are they two and not one? can they exist separate?Are not religion and politics the same thing? Brotherhood is religion,O demonstrations of reason dividing families in cruelty and pride!
Blake menuliskannya di abad ke-18, tapi di abad ke-21 ini kita pun masih bertanya sepersis apa sebenarnya garis pembatas itu: apa gerangan sebuah gereja, tempat Tuhan disembah, dan apa pula sebuah panggung, tempat tontonan yang memainkan ilusi? Benarkah mereka tak merupakan satu hal belaka? Tidakkah agama juga politik? Tidakkah agama--yang membuat orang merasa saling bersaudara--juga sesuatu yang "membagi keluarga-keluarga dalam kekejaman dan keangkuhan"?
Ada nada getir dalam pertanyaan Blake. Mungkin dia berlebihan mengharapkan perilaku religius yang 100 persen suci. Tapi mana mungkin? "Gereja" bertaut dengan "panggung", dan "agama" dengan "politik", karena manusia tak pernah menafsirkan Tuhannya bersendiri. Tak seorang pun hari ini yang "seperti Musa di pucuk Tursina", untuk memakai kalimat dari puisi Amir Hamzah. Di gunung itu hanya ada seorang manusia yang dihadapi sendiri oleh Tuhan, tapi kini kita tak hidup di ujung gunung dan gurun, melainkan dengan orang ramai, di suatu tempat, di suatu masa. Tuhan bersabda dan menjadi sejarah.
Ketika Tuhan menjadi sejarah, firman berjalan dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Ia menempuh apa yang beragam, ia menemukan apa yang tak terduga. Ia menjadi sebuah narrative, sebuah penceritaan kembali hasrat dan tindakan. Dan kita tahu tindakan itu selalu berlangsung dengan tubuh yang berani tapi tergantung-gantung pada batas. Tak ada yang bisa absolut lagi, tak ada yang jadi makna yang final lagi. Tapi dengan itu pula firman tak pernah sendirian; ia hidup dengan yang lain-lain, dan berbantah, bersahut-sahutan, tumbuh, bercabang-cabang.
Tapi ada masanya Tuhan menjadi sejarah, ada pula masanya ketika sejarah menjadi Tuhan. Apa yang dibentuk dan dilakukan manusia--dengan jasad, nasib, dan hari-hari yang beraneka ragam itu--berkembang menjadi Maha Tunggal. Perbuatan menjadi pengalaman, dan pengalaman dirumuskan menjadi ajaran. Ketika ajaran dipisahkan dari metaforanya, ia secara cepat atau lambat menjadi doktrin--sesuatu yang disembah.
Tragedi terjadi ketika Tuhan berhenti menjadi sejarah dan sejarah muncul menjadi Tuhan. Dengan kata lain, ketika keyakinan, yang tumbuh dari masa lalu, tak lagi berkaitan dengan rentannya perkara manusia di hari ini. Pada saat itulah yang kekal mengambil alih posisi yang fana.
Dalam lakon Sophocles, dewa-dewa mengambil alih nasib Oedipus. Ia ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan mengawini ibunya sendiri. Ia mencoba mengelak dari takdir itu, tapi gagal. Dan ia pun dihukum karena perbuatannya itu--atas nama keadilan. Dalam lakon Shakespeare, Hamlet yang bimbang akhirnya melakukan sesuatu yang memicu tragedi, ketika hantu sang ayah--yang datang dari alam barzah--berhasil mendorongnya untuk membalas dendam. Dalam Bhagawad Gita, Arjuna yang jeri karena harus membinasakan sanak saudaranya sendiri akhirnya turun perang, setelah Kresna, dengan wibawa dan pengetahuannya sebagai sang Wisnu, berhasil menguasai pikiran anak Pandu yang ragu itu. Dan perang antarkeluarga Bharata itu pun kian ganas, untuk akhirnya berakhir dengan kemenangan yang sia-sia.
Ada sesuatu yang luhur dan mengharukan dalam tindakan-tindakan itu, terutama jika kita mengabaikan kecamuk kebengisan dan kebencian dan orang-orang yang bergelimpangan mati. Mungkin itulah yang dirayakan di Yerusalem, dengan tragedi yang terjadi berkali-kali: manusia membunuh atau dibunuh sejak Perang Salib, baik untuk jadi syuhada ataupun karena ketakutan.
Kita tidak tahu sampai kapan. Ketika sejarah menjadi Tuhan, bahkan kebencian historis itu pun bisa dipertahankan jadi sesuatu yang kekal. Mungkin John Lennon benar: kita ukur rasa sakit kita dengan memakai Tuhan. "God is a concept by which we measure our pain".
Goenawan Mohamad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo