Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Bali, Pulau Seribu Judi

Judi kembali merebak di Bali. Bahkan sabung ayam, yang sudah dilarang, kini direstui lagi oleh yang mengaku tokoh masyarakat.

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALI, yang dijuluki "Pulau Seribu Pura", sekarang mungkin lebih tepat disebut sebagai "Pulau Seribu Judi". Segala jenis perjudian kini makin marak, dari yang tradisional sampai modern. Bahkan sabungan ayam, yang sudah dilarang, kembali ramai, dan ada tokoh masyarakat yang mengaku terus terang sebagai bebotoh (penjudi) tradisional di depan umum.

Masalah judi ini kembali jadi wacana ketika Senin pekan lalu ratusan bandar dan penjudi "bola adil" (menggelindingkan bola di papan yang bernomor) melakukan aksi unjuk rasa di DPRD II Buleleng, Bali Utara. Mereka memprotes razia polisi yang menahan beberapa bandar judi bola adil. Yang unik, mereka merasa diperlakukan tidak adil karena polisi tidak melarang perjudian tajen (sabung ayam). Judi tajen yang sudah dilarang itu memang kian marak di Bali. Polisi tak bisa berkutik, selain kurangnya wibawa hukum dan "ada main", sejumlah penjudi menyebutkan bahwa tajen berkaitan dengan agama Hindu, yakni upacara ritual tabuh rah (mengorbankan darah hewan untuk keharmonisan bumi). Tentu saja alasan terakhir ini sangat dicari-cari, karena pemerintah dan Kanwil Departemen Agama Bali sudah membuat penegasan sejak 1983 bahwa tajen itu tak ada kaitannya dengan tabuh rah. Bahkan, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sudah lama menegaskan bahwa tabuh rah itu bukan tajen, dan tajen jelas tergolong judi yang harus dijauhi oleh umat Hindu.

Meski begitu, Ngurah Pong Yudanegara, seorang tokoh masyarakat Bali yang juga pimpinan daerah Pemuda Pancasila, mengaku setuju adanya tajen. Ia bahkan terus terang mengatakan di depan "Sarasehan Menanggulangi Tajen", yang diselenggarakan Jumat pekan lalu, bahwa dirinya adalah bebotoh. Penggemar tinju ini menyebut tajen sebagai sarana hiburan untuk mempererat tali persaudaraan. "Rakyat kecil akan mendapat keuntungan. Mereka bisa membuka warung, jaga parkir, dan sebagainya di sekitar arena tajen," katanya. Ia setuju pemerintah mengatur keberadaan tajen ini dalam sebuah peraturan daerah.

Ketua PHDI Bali, Dr. I Made Titib, mengingatkan kembali masyarakat Bali bahwa telah terjadi penyimpangan dalam upacara tabuh rah di masa lalu. Tabuh rah, yang arti sebenarnya mengucurkan darah, dimaksudkan sebagai bentuk pengorbanan darah hewan agar hubungan antara Bhuwana Alit (manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta) menjadi harmonis.

Tabuh rah ini, demikian tutur Made Titib, memakai darah binatang seperti ayam, itik, dan babi. Caranya bisa dengan nyambleh (disembelih) langsung atau lebih dahulu melalui perang sata (pura-pura diadu dulu, lalu disembelih). Keberadaan upacara ini dijelaskan dalam lontar-lontar dan prasasti-prasasti kuno di Bali, seperti Prasasti Batur Abang A1 tahun 933 Caka (1011 M) dan Prasasti Batuan 944 Caka (1022 M) semasa pemerintahan Raja Udayana. Rupanya, dalam perkembangan kemudian, perang sata itu dilakukan dengan "sungguh-sungguh", apalagi kemudian kaki ayam diberi taji (pisau tajam), lalu berkembang lagi menjadi taruhan. "Ini penyimpangan, sehingga dikenal kata tajen yang berarti taji, seolah-olah tabuh rah sama dengan tajen. Tapi itu sudah diluruskan," kata Titib, yang juga Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Denpasar ini.

Ajaran agama Hindu, Titib melanjutkan, jelas melarang pemeluknya berjudi. Ini ditegaskan dalam kitab Veda X.34.13, yang intinya agar perjudian tidak dilakukan dan hendaknya setiap orang puas dengan hasil kerjanya. Sementara itu, dalam Veda X.34.3 digambarkan penderitaan yang akan dialami seorang penjudi. "Mertua membenci, istri menghindari, biarpun mengemis tak akan ada orang yang mengasihi," demikian Titib mengutip penggalan ayat tersebut.

Karena itulah Titib dan sejumlah tokoh agama Hindu di Bali merasa heran kenapa ada orang-orang yang ingin agar tajen diatur dalam perda, hanya karena tajen kembali marak dan polisi tak bisa menertibkannya. Apalagi ketidakberdayaan polisi memberangus tajen ini membuat sejumlah judi tradisional hidup lagi. Bahkan, jenis judi yang lebih "modern" seperti permainan bola adil, kuis bola, dan toto gelap bermunculan, dan penggemarnya berani melakukan aksi unjuk rasa ketika teman-temannya ditangkap. "Kalau ada tokoh masyarakat Bali yang juga menyebut dirinya tokoh agama setuju adanya tajen, apalagi jelas menyebut dirinya bebotoh, itu sudah keterlaluan," kata Agus, salah seorang pengurus Pimpinan Ashram Gandhi Bali.

Made Titib sendiri juga menyayangkan ketidaktegasan aparat hukum di Bali menertibkan tajen, hanya karena para penjudi itu berdalih mengadakan tabuh rah. Kepada umat Hindu yang masih suka berjudi, Made Titib mengimbau dengan sebuah seloka Veda: "Om ona bhadrah krattawo yantu wistawah" (Ya Tuhan, semoga pikiran baik datang dari segala arah).

Agus S. Riyanto dan Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus