Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mashuri menjawab kerisauan

Penjelasan menteri penerangan mashuri tentang pembinaan film nasional. penggabungan importir dalam 4 konsorsium. setiap impor 5 film harus membuat sebuah film. pembinaan dilakukan secara menyeluruh.(fl)

29 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERHATIAN Menteri Penerangan Mashuri SH akhir-akhir ini banyak tertuju pada perfilman Tahun silam, bersama dengan Menteri P dan K Syarif Thayeb dan Mendagri Amirmachmud, Mashuri membenahi peredaran film dengan mendirikan PT Pertamina dan wajib putar dua film nasional bagi setiap gedung bioskop Awal tahun ini secara berturut-turut Mashuri mengeluarkan tiga keputusan--SK 51, 52,53 --yang membenahi impor dan produksi tilm Para importir kabarnya tidak keberatan dengan putusan pemerintah itu, meskipun ada juga keributan di kalangan mereka. Pangkal soal keributan mereka terutama lantaran terjadinya penumpukan sejumlah film di gudang Halim Perdana Kusuma. "Mestinya putusan menteri itu berlaku setelah film-film kita di Halim itu beres", kata seorang importir. Tapi Menteri Penerangan Mashuri tidak merisaukan keluhan demikian. sebab film yang berjumlah 450 judul itu "bukan milik bangsa Indonesia", menurut menteri. "Lagi pula, itu toh knsekwensi dari tindakan spekulasi", tambah Mashuri pula. Merisaukan Akan halnya putusan penggabungan para importir dalam 4 kelompok (konsorsium), pemerintah memang punya pengalaman. Jauh sebelum surat putusan yang baru ini ditandatangani oleh Mashuri, di Jakarta sudah beroperasi Konsorsium Film Mandarin yang dipimpin oleh Sudwikatmono. Pengalaman dari sana itulah yang dimanfaatkan dalam membentuk 3 kaLi konsorsium, masing-masing konsorsium untuk film-film Asia bukan Mandarin, konsorsium untuk film-film Amerika dan satu lagi untuk film-film Eropa. Yang masih amat merisaukan kalangan perfilman adalah keputusan menteri untuk mewajibkan para importir itu untuk juga menjadi produser. Setiap memasukkan 5 film, harus diimbangi membuat sebuah film. Dengan perhitungan bahwa tahun ini kuota film impor ada 300, maka dari para iblpolfi saja akal dihasilkan 60 film buatan dalam negeri. "Apakah kita cukup punya tenaga untuk itu", tanya seorang sutradara. Ketakutan pada pengalaman bikin film asal jadi kini menghantui kalangan perfilman. Tapi Menteri Mashuri merasa yakin bahwa tidak ada yang patut ditakutkan. "Kita sudah melakukan penelitian sebelumnya". Katanya kepada wartawan TEMPO yang mewawancarainya, Menteri Mashuri tidak hanya berbicara tentang surat keputusan yang baru saja ditandatanganinya itu .Segala aspek perfilman menjadi bahan pembicaraan Mashuri dengan wartawan TEMPO, Salim Said, beberapa hari yang lalu di gedung Deppen Merdeka Barat, Jakarta. Berikut ini adalah bagian-bagian penting dari wawancara itu. AKAN SEPERTI INDIA Pembinaan film ini tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Dan dalam melaksanakan tugas itu, kita bekerja tidak secara sektoral. Dan semua ini bertujuan kepada menjadikan film nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Hal ini amat sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah untuk sedapat mungkin memproduksi sendiri barang yang kita perlukan dan tidak tergantung pada impor. Mobil, misalnya. Dulu kita impor bulat-bulat kini kita rakit di sini. Lambat laun akhirnya mobil-mobil kita bikin sendiri. Demikian juga dengan film. Sejak periode saya sebagai menteri penerangan, terus menerus kita melakukan pengurangan kwota film impor. Kebijaksanaan yang kita konsultasikan juga dengan organisasi perfilman ini bertujuan untuk tidak lagi mengimpor film pada akhir pelita II, kecuali beberapa film yang kita masukkan secara selektif. Ya, film yang menang festival sajalah, dan jumlahnya mungkin cuma 10 atau 15 buah. Jadi kita ini akan seperti India. Di sana juga tidak ada impor.Ide menciutkan film impor ini sebenarnya dalam rangka memberi kesempatan bagi pemasaran film nasional. Menurut sebuah penelitian, jumlah penonton film nasional naik dari tahun ke tahun, tapi ya kok di tahun 1975 yang lalu justru jumlah film buatan dalam negeri berkurang. Setelah diselidiki ternyata soalnya karena tahun ini kredit bank diperktat, lantaran para produser yang menanggung risiko besar tidak bisa secara teratur memenuhi kewajibannya. Ini mereka rasakan sejak tahun 1974. BROKER: POSISI KUNCI Risiko besar para produser itu disebabkan karena banyak terjepit oleh para broker. Broker ini memegang posisi kunci. Karena itulah maka keluar surat keputusan tiga menteri mengenai peredaran Maksud untuk memperlancar peredaran dengan keputusan bersama itu ternyata masih belum bisa dilaksanakan, sebab memang kuncinya bukan hanya dalam peredaran saja. Harus ada koordinasi dengan masaalah impor.Harus dilakukan penciutan impor dan Importir. Jauh-jauh hari sudah kita beritakan pada Giprodfin agar anggotanya siap-siap mengalihkan kegiatan mereka ke produksi. Ini adalah penjelasan mengenai kelahiran SK Menteri Penerangan no 51,52,dan 53 itu. Tiap tahun kwota impor yang dikeluarkan pada bulan Januari. Supaya gampang perhitungannya tahun ini kwota kita keluarkan pada awal tahun anggaran, April. Di kalangan para importir ada unsur spekulasi: kwota belum keluar mereka sudah giat. Dan terjadilah penumpukan film di (lapangan terbang ) Halim Perdana Kusuma. Tapi kalau kita teliti, film-film itu sebenarnya bukan milik orang Indonesia. Jadi tidak ada masalah yang patut diributkan Importir. Soal petisi para importir itu, Saya cuma dengar-dengar saja, belum terima. Tapi sikap mereka itu terang bertentangan dengan keputusan kita yang dicapai lewat konsultasi dengan mereka. Kalau Amerika tidak mau jual film pada kita, ya itu wewenang mereka. Kita toh tidak bisa memaksa mereka. Sebelum bikin keputusan ini saya sudah konsultasi dengan para importir. Kita tidak perlu terlalu banyak judul film. Justru kalau judul kurang masa putar bisa panjang. Akibat dari banyaknya film impor, masa putar jadi pendek. Lagi pula tidak semua film yang diimpor itu baik. Meskipun demikian toh ada intimidasi dari film asing terhadap film nasional, seolah-olah film impor itu selalu baik dan film nasional selalu jelek. Ini tidak betul. Film Indonesia yang baik juga ada. TAMBANG EMAS Kenapa konsorsium? Ya, itu pengelompokan. Soalnya karena kemarin kita Jadi korban permainan adu domba para distributor atau eksportir luar negeri. Film yang mestinya seratus ribu bisa dua kali lipat. Tentu saja harga karcis dalam negeri juga ikut terpengaruh. Konsorsiurm itu sistimnya macam koperasi.Menurut pendapat saya, pembinaan film nasional harus dengan prinsip yang kuat membantu yang lemah. Impor ini bisa disebut tambang emas, dan produksi itu tidak disenangi orang. Jadi sekarang ini bagaimana supaya yang lemah itu dirangsang oleh yang kuat. Dengan berproduksi yang ingin kita capai ialah kwantitas maupun kwalias yang lebih tinggi. Saya kira tidak beralasan ketakutan bahwa karena ada kewajiban berproduksi bagi importir, maka akan banyak film asal jadi yang dibuat. Kalau jumlah saja yang jadi sasaran mereka, sedangkan mutu merosot, tentu saja mereka akan rugi. Saya yakin tidak akan ada produser yang mempertaruhkan namanya dengan membuat film murahan. Dan untuk melayani jumlah film yang dibuat saya harapkan mencapai 100 judul dalam tahun anggaran ini (April 1976 hingga Maret 1977) -- tenaga artis dan karyawan yang ada cukup. Dengan dana yang ada, Deppen sejak lama ikut membantu berbagai kursus dan upgrading orang-orang film. TAK SEPERTI DPFN Pembinaan harus meliputi produksi, distribusi maupun impor dan ekspor. Pembinaan tidak bisa sektoral saja, seperti pengalaman kita dengan Dewan Produksi Film Nasional dulu. Tapi toh tidak tertutup kemungkinan bagi Deppen untuk misalnya membiayai sebuah film yang dibuat oleh seorang sutradara yang baik. Yang tidak akan kita lakukan adalah jadi bank dengan meminjamkan uang kepada para produser seperti kasus dana SK 71 itu. Yang saya lakukan sekarang adalah mendekati bank-bank pemerintah agar mau memberikan perlakuan khusus kepada dunia perfilman. Kalau perlu uang dana yang ada pada Deppen itulah yang jadi jaminannya. Sebagai menteri penerangan, saya tidak hanya bertanggung jawab pada lancar tidaknya produksi film, tapi juga mengenai bisa tidak film itu dinikmati secara meluas. Untuk peredaran ini kita punya PT Perfin . Sekarang ini memang masih periode transisi, organisasinya belum baik. Perfin nantinya harus kerja sama dengan konsorsium itu agar ada sinkronisasi. Dan kalau semuanya sudah jalan baik, istilah free booking macam yang ada sekarang ini otomatis akan hilang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus