Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Protes Diri Sendiri

Lewat karya-karyanya yang berbasis teknik cukil kayu, perupa Muhammad Yusuf melontarkan kritik. Tak lagi meledak-ledak.

13 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satire bertebaran di Tembi Contemporary Gallery, Bantul, Yogyakarta. Di ruang pameran galeri itu, perupa Muhammad Yusuf, 35 tahun, anggota Taring Padi, melontarkan protes. Hanya, protes Ucup—begitu panggilan akrabnya—tak lagi frontal seperti ketika ia dan rekan-rekannya mendirikan Lembaga Kesenian Rakyat Taring Padi pada 1998 dan membuat pos­ter-pos­ter ”propaganda” yang bertolak dari teknik cukil kayu. ”Saya memang tak lagi meledak-ledak seperti dulu, saat masih terpengaruh euforia reformasi,” katanya.

Ucup terlihat masih setia dengan teknik cukil kayu, meski kali ini ia sedang membuat lukisan dan drawing di atas kanvas. Dalam karya Seri Penyelewengan Sejarah yang terdiri atas tiga panel, misalnya, Ucup menampilkan dirinya sebagai sosok Pangeran Diponegoro, Presiden Soekarno, dan seorang aktivis mahasiswa seperti pada lukisan Maka Lahirlah Angkatan ’66 karya Sudjojono. Diponegoro tetap ditampilkan dalam pose menunggang kuda putih dengan tangan kanan mengacung ke atas. Namun kali ini Diponegoro tidak lagi memegang keris terhunus, tapi memegang kuas dengan goresan merah di langit.

Adapun sosok Soekarno ditampilkan dalam pose berpidato, tapi digambarkan bukan sedang memegang teks, melainkan sebuah batu dengan capit udang yang menyembul. Lalu sang aktivis mahasiswa masih digambarkan mengenakan jaket merah, tapi kali ini memegang print roller dan sebuah kaleng cat bertulisan ”Wood Cut Not Dead”.

Pesan yang hendak disampaikan Ucup melalui karya tersebut adalah, ketika sedang memegang kekuasaan, seseorang bisa membuat versi sejarahnya sendiri. Unsur humor mencuat kuat dalam karya berjudul Kamar 3 x 3 dan Alih Profesi. Dalam Kamar 3 x 3, Ucup menampilkan suasana rumah keluarga miskin. Seorang ayah harus rela tidur pisah ranjang dengan istrinya karena ranjang satunya sudah disesaki anak-anaknya. Di dekat ranjang sang ayah, ada ramalan-ramalan judi buntut. ”Lukisan ini mengingatkan pengalaman masa kecilku,” kata Ucup.

Pada 1980-an, saat Ucup masih duduk di bangku sekolah dasar, ia dan keluarganya menempati bedeng sempit di pasar Lumajang, Jawa Timur, selama sekitar lima tahun. ”Ayahku berdagang rombengan di pasar. Keuntungan dari berjualan rombengan habis untuk judi nomor buntut,” ujarnya.

Sedangkan dalam karya Alih Profesi, Ucup menyindir tren dakwah yang dinilainya cenderung mementingkan unsur infotainment dan entertainment. Ia menampilkan sosok lelaki berbaju koko, bersarung, dan berkopiah, dengan kain yang diselempangkan di pundak. Tangan kirinya memegang amplop, tangan kanannya memegang buku berisi koleksi foto dan daftar riwayat hidup.

Ucup juga sengaja menampilkan hiasan dinding berupa iklan kecap berhadiah umrah dan mobil mewah. Tampaknya, Ucup ingin menyindir perilaku masyarakat yang lebih gemar mengejar hadiah dibandingkan dengan rajin menabung. Ucup juga menghadirkan sebuah gambar tangan yang sedang menyodorkan pasfoto seorang gadis bertulisan ”Ulpa, 12 tahun, SMP” ke sosok ustad. ”Lukisan ini memang terinspirasi kasus Syekh Puji,” kata Ucup tertawa.

Dalam karya berjudul Tak Pernah Mati, Ucup menampilkan sosok seorang pelacur yang tengah menunggu pelanggan di ”ruang praktek”-nya. Ucup seolah sedang menegaskan bahwa dunia pelacuran tak akan pernah mati meski pelakunya digusur-gusur. Lalu, dalam karya Antara Aku, Pabrik-pabrik, dan Sawah Terakhir, Ucup hadir dalam sosok seorang petani dengan cangkul dan sabit di tangannya. Lewat karya tersebut, ia cemas terhadap sawah-sawah yang makin tergusur oleh permukiman dan industri.

Memang yang menarik, di hampir semua karya pameran bertajuk Aku dan You ini Ucup selalu terlihat memasukkan figur atau wajah dirinya sendiri. Ia terlihat ingin menyindir berbagai persoalan melalui sosoknya sendiri. ”Aku lebih mengenal diriku sendiri dibanding harus memahami orang lain. Karena lebih mengenal diri sendiri, mau diapakan saja tak ada masalah.”

Heru C. Nugroho, Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus